10 Februari 2008
Malam ini setelah Tujuh bulan berlalu, aku kembali menginap di Rumah Nadine. Besok ia akan merayakan hari ulang tahunnya. Sebenarnya aku sudah menolak mati-matian, sejak memilih memutuskan Adnan dengan sepihak dan tanpa bertemu. Aku benar-benar ragu bahkan tak pernah siap untuk bertemu kembali dengan dirinya. Terlebih jika harus kembali berada di dalam satu atap dengannya.
Semua teman-teman sekolah Nadine akan datang, jangan di tanya tentang Adnan, sudah pasti dia datang. Dia bukan hanya sebatas teman sekolah bagi Nadine, tapi juga teman masa kecil dan tetangganya.
"Say, maaf, ya. Aku baru bilang sekarang. Kamu jangan kaget kalau besok Adnan tidak hanya akan datang bareng teman-teman sekolah yang lain, tapi ia juga akan datang dengan Sukma teman wanitanya yang lagi pedekate ke dia."
Deg!
Rasanya kayak luka yang perlahan akan sembuh, tapi tiba-tiba dengan sengaja di
Aku kabur menjauh dari semua yang berhubungan dengan Adnan. Tak ingin lagi bertemu atau sekedar mendengar tentang dirinya disebut. Semua yang berhubungan dengannya selalu mampu membuatku terseret arus rindu yang tak bisa kusahirkan dalam sebuah kata. "Assalamu alaikum, apa kabar, Om? Karina mana?" Suara Nadine tiba-tiba menggema di luar kamar. Kamarku yang berseblahan dengan ruang tamu membuatku bisa mendengar dengan jelas percakapan antara papa dan Nadine. "Waalaikumussalaam, kabar baik, cantik. Tuh, temanmu di dalam, tiba-tiba doyan jadi kutu busuk. Nyelinap di sela bantal dan kasur mulu tiap hari," canda papa pada Nadine yang terdengar jelas olehku. Karena hanya terhalang dinding triplek. "Hei, tumben loe betah banget jadi anak kamar-kamar!" seru Nadine, menjatuhkan tubuh di sampingku. "Papi, mana?" tanyaku menanyakan papa Nadine. Karena kutahu dia tak akan ke mana-mana kalau tak diantar.
Makassar 13 Mei 2008Akhirnya mau tak mau aku kembali lagi ke sini, tempat di mana aku akan selalu bertemu pria yang begitu aku cintai. Karena ia dan sahabatku tinggal di lingkungan yang sama, salat di Mesjid yang sama dan bernapas dalam lingkungan yang sama pula.Aku memilih duduk-duduk di teras belakang rumah Nadine. Berharap dengan duduk di sana, kami tak akan bertemu. Karena tempat itu jauh dari lalu lalang orang-orang yang lewat. Akan tetapi entah dari arah mana? Dia muncul di depanku dan melangkah mendekat.Tentu saja. Aku lupa kalau jalan menuju sumur Mesjid, tepat berada di sampingku. Dia ke sana jelas bukan untuk say hello, melainkan untuk wudhu. Aku mengangkat wajah dan tatapan kami bertemu, dia melemparkan senyumnya yang paling manis. Sementara aku, entah seperti apa reaksi wajahku tadi?"Doakan aku, ya!" Entah kekuatan dari mana? Aku juga tak mengerti. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirk
Makassar 21 Agustus 2008Diary ...!Tak bisakah aku bahagia dalam jangka waktu lama? Haruskah bahagiaku hanya sekejap ini? Entah Adnan dapat ide dari mana? Dia menawarkan padaku sebuah persahabatan palsu. Intinya hanya kami bertiga yang boleh tau hubungan kami yang sesungguhnya. Dengan alasan karena orang-orang taunya kita sudah putus, ya biarkan mereka tau itu saja.Sebuah persahabatan palsu yang akan menguntungkan dirinya, sementara merugikan diriku. Akan tetapi apalah dayaku yang tengah terperangkap dalam ketidak berdayaanku menentang perasaanku.Aku mengabdikan diriku sebagai budak cintanya. Meminum air mata sendiri, demi melihat senyumannya. Ya, itulah cinta ... kadang membuat seseorang yang terjebak di dalamnya tak mampu berpikir secara rasional.Dengan begitu dia bebas kemana saja, tanpa ada hak untuk aku melarangnya. Sebaliknya ketika dia rindu atau butuh teman berbagi, dia berha
Makassar 21 Agustus 2008 Diary, di sini aku masih separuh gamang ketika kejadian siang tadi terekam kembali seperti sebuah adegan film dalam benakku. Aku menggeleng frustasi, mengingat begitu banyak dosa yang harus kudapatkan karena cintaku yang bodoh ini. Aku meringis menahan sakit meski tak terlihat luka itu adanya dimana? Andai saja luka itu kasat mata, maka dengan mudah akan kucuci bersih, kubaluri obat lalu kuperban untuk mempermudah proses penyembuhannya. Luka ini sungguh tak terlihat, tapi sakit yang ditimbulkan sangat nyata terasa. "Karin, tadi Adnan ngapain ke kamar?" tanya Nadine yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamar. "Kamu dari mana?" aku balik bertanya, tanpa menjawab pertanyaanya. "Aku di sebelah, salat Maghrib di Masjid." "Aku kok nggak dipanggil?" tanyaku lagi, kali ini sambil memutar tubuh ke arahnya dan membelakangi kiblat.
Makassar 09 Oktober 2009Entah mengapa rasa sakit itu menghilang. Aku tidak cemburu pada Fatma meskipun akhirnya tau tentang penghianatan ini. Aku menelan pahitku, mengecap getirku. Ini bukan pertama kalinya kehidupan menyuguhiku dengan kepahitan. Aku sudah terbiasa hidup dalam kerangkeng ketidak adilan, akan kuikuti kemana pun arusnya akan membawaku.Diary, kutitipkan semua kepingan-kepingan luka ini padamu. Biarlah jadi rahasia kita hingga ke ujung masa. Kan kusimpan dan kujaga dirimu baik-baik, sama seperti engkau menjaga semua kepingan rahasia hati ini dengan baik pula.Sejak kejadian di pesta sepupu Kak Sandra waktu itu. Aku mencoba merelakan Adnan, mengikhlaskan dia pergi mencari kebahagiaannya. Jika memang kebahagiaan Adnan bukan padaku. Aku tak ingin lebih lama menyakiti dan mengikat ia bersamaku.Makassar 12 Oktober 2009Diary, aku mau menangis, bolehkah? Apa yang terjadi sore ini sem
Makassar 03 Februari 2010"Tumben banget si kamu ngajak aku ke kebun Nad?" tanyaku dengan langkah sempoyongan di belakangnya karena pematang yang kami lalui terlalu sempit. Salah melangkah sedikit saja, bisa bikin kami tercebur ke sawah.Sejak kejadian di arena balap waktu itu, aku sengaja menghindar dari Adnan. Cara terbaik adalah dengan tidak menginap atau sekedar berkunjung ke rumah Nadine. Tiap Nadine kangen, dia yang akan datang dan menginap ke rumah Papa.Kadang pula Ichal sengaja menjemput kami berdua di depan gerbang sekolahku. Lalu kami akan pergi bertiga ke pantai atau ke mana saja. Masih jelas dalam ingatan betapa tercekatnya aku. Saat Ichal tiba-tiba mempertanyakan ketidak hadiran Adnan dalam jalan-jalan kami kali itu. Meski Nadine selalu punya banyak alasan untuk menutupi yang tengah terjadi sebenarnya dari Ichal. Tetap saja, aku merasa ada yang terkoyak dengan sangat keras jauh di dalam sana. Ketika nama orang begitu aku
"Mau ngomong apa?" tanyaku memulai pembicaraan ketika aku sudah mendarat mulus di sampingnya. Dia menoleh dan tersenyum manis. Aku membalas dengan senyum yang tak kalah manis pula."Satu tes lagi dan selesai," adunya dengan wajah yang murung. Aku beranikan diri meraih dan memegang tangan Adnan, lalu menggenggamnya erat."Kali ini kamu pasti berhasil, aku bantu doa." Aku mencoba membangun semangatnya, meski semangatku sendiri runtuh setelah itu."Bagaimana kalau aku benar-benar berhasil?" tanyanya seperti mengambang."Bukankah itu cita-citamu sedari kecil? Harapan terbesar mamamu? Kejarlah selagi kau mampu! Cukup aku saja yang tak punya mimpi," ucapku bijak, meski setiap kalimatku seperti boomerang yang akan selalu berbalik menyakiti diriku sendiri."Menikahlah!" ucapnya tiba-tiba membuatku menoleh menatapnya dengan jantung berdebar tak karuan, "Menikahlah! jika nant
Aku seperti terbangun dari tidur yang amat panjang, dan ketika aku membuka mata. Kulihat diriku sudah berdiri di sisi tebing yang curam ... semua arahku gelap. Seolah setelah ini, tak akan pernah ada sinar matahari lagi dalam hidupku. ***Makassar 12 Juni 2010Diary, tusuklah aku dengan belati beracun yang bisa membunuhku sekarang juga! Hujamkan puluhan tombak tepat ke tengah-tengah jantungku, agar tak lagi merasakan sakit ini.Oh ... Tuhan, mengapa cinta ini harus tumbuh? Jika saat harumnya kunanti Engkau cabut ia dari hatiku. Tali temali harapan yang telah kuikat begitu kuat dengan napasku. Mengapa harus terurai dan berbalik arah merajamku dengan duka tak berujung ini."Adnan!!" Ingin kuteriakkan nama itu hingga suaraku habis. Apalah dayaku yang terkurung dalam tradisi dan rasa