Para pekerja sudah berdatangan dan mereka sangat senang saat aku datang dengan membawa kan berbagai macam cemilan yang enak-enak. Mereka saling bercanda gurau dan melemparkan pertanyaan pertanyaan konyol khas kaum bapak-bapak beranak banyak yang masih senang melihat wanita cantik. "Mad, Isteri kamu pandai sekali memasak semua makanan ini. Rasanya begitu enak dan lezat," Ucap salah 1 pegawai yang bekerja di sana bernama Santo."Tentu saja masakan yang enak makanya Ahmad betah tinggal bersama dengan Nina, isteri yang pandai memasak itu. Seharusnya mencari isteri itu yang seperti Nina. Jadinya kita anggap perlu makan diluar untuk bisa membuat perut kenyang," Ucap lelaki yang memakai baju hijau namanya Kino."Alhamdulillah kalau memang masakan istri saya cocok dengan lidah bapak-bapak semua. Setiap ada kekurangan pasti ada kelebihan, sebagai suami kita harus tetap menghargai apapun yang sudah istri kita suguhkan setiap hari," ucap Mas Ahmad yang terdengar sangat lembut dan menyejukkan ha
"Tunggu!" cegah ku."Aku merasa tidak pernah ikut arisan apapun dan tidak pernah memasukkan ke dalam kotak itu. Mungkin masnya salah orang," ucapku lagi."Alamat dan namanya betul sesuai dengan KTP." Petugas menjelaskan."Sudahlah Nina, rezeki jangan ditolak." Ibu terlihat tidak suka dengan caraku bertanya tentang mobil yang dijadikan hadiah itu."Iya, Mas. Kami merasa tidak pernah mengikuti arisan apapun dan mana mungkin mobil ini kamilah pemenang dari undian yang sama sekali tidak kami ikut sertakan," jawab Mas Ahmad."Ya kami hanya menyampaikan amanat saja, silakan tanda tangani dan saya akan laporkan ini pada atasan kami."Tetap saja rasanya masih janggal ketika mobil itu mentereng di depan rumah. Setelah kedua orang itu pergi aku dan yang lain pun melihat mobil yang baru dan masih dibungkus plastik semuanya. Mbak Mita begitu antusias mencobanya duduk di depan dan juga mengajak serta Minah untuk naik. "Kamu bisa memakainya nggak, Mad? Kalau nggak bisa kamu bisa belajar dari Mina
"Ini uang bayaran bebersih rumah saya, setelah ini datanglah tiga hari sekali saja untuk membersihkan rumput. Mbak Nina, bisa datang setiap hari untuk menyapu rumah anak saya ini. Saat ditempati nanti, silakan datang setiap hari. Anak saya yang akan menggajinya nanti," ucap Pak Darmuji.Proses renovasi sudah selesai dalam satu minggu ini dan rumah ini terlihat sangat mewah dan rapi setelah dicat ulang. "Mas Ahmad, setelah ini mau kerja di mana?" Tanya Pak Darmuji."Kalau nggak kerja di sini ya saya nganggur di rumah." Suamiku menjawabnya pelan, "Bagaimana kalau jadi kuli di toko bahan milik saya? ""Tokonya jauh nggak?" Tanyaku. Tentu aku harus memperhitungkan jarak karena suamiku tidak bisa kepergian jauh lantaran kakinya yang belum begitu pulih."Ya nggak begitu jauh, yang di dekat pasar Saliwangi itu."Saliwangi. Jarak dari desaku tentu harus memakan waktu 15 menit agar sampai di sana. Tentu saja, suamiku harus mengendarai sepeda motor agar bisa sampai di toko itu. "Sepertinya n
“Mas Ahmad, bisa kita bicara sebentar?” tanya Minah.“Nggak, ada sebentar sebentar. Jangankan sebentar, lama juga nggak boleh. Kamu ini udah aku kasih warning, jangan dekat dekat dengan suamiku. Apalagi ..”“Minah!” panggil Ibu dari depan.Aku menatap tajam wajah Minah, lalu membiarkan dia keluar dari dapur. Ibu tampak kembali dan menatap tajam padaku.“Kamu nggak izinkan Minah ngomong sama Ahmad, Nina? Dia itu mau pamitan.”“Pamitan? Udah akur lagi sama suaminya?” tanyaku senang.“Halah! Udah, kamu ke depan, Mad. Minah udah dijemput keluarganya. Ayamnya udah mateng belum?” tanya Ibu.“Udah, tuh!” Aku menunjuk ayam semur yang tadi dimasak.“Kok dimasak kecap? Digoreng, Nina. Allahu, kalau di semur basi kalau buat besok.”“Tinggal di angetin aja sih, memangnya mau buat siapa?”“Buat keluarga MInah. Kamu ini bikin malu saja! Ya sudah, kamu tempatkan di wadah kotak yang punya kamu itu, bawa ke depan.”“Yang tupperware itu, Bu? Nggak boleh. Itu Nina dapat dari kado teman pas nikahan Nina.
Entah perdebatan apa yang terjadi malam itu karena aku memutuskan untuk pergi ke kamar dan menyetel musik sedikit keras biar tidak mendengar percakapan mereka. Aku heran dengan keluarga ini yang justru membela sesuatu yang salah dan memperjuangkan mati-matian yang tidak sesuai dengan moral yang ada. Jika saja bukan karena mas Ahmad yang begitu sayang padaku tanpa aku menyayangiku meninggalkan rumah ini.Pintu terdengar dibuka dan suara musik nampak dipelankan, mungkin oleh Mas Ahmad. Aku masih berpura-pura tidur dengan selimut yang membungkus tubuh. “Aku tahu kamu pasti hanya berpura-pura tidur saja,” ucap Mas Ahmad.Aku bergeming. Aku tetap sedang malas berbicara apapun dan memilih untuk tiduran saja.“Minah sudah pergi, kamu tidak perlu khawatir lagi.”Aku membuka selimut dan menatap wajah suamiku. “Yakin?”“Ya. Tadi sempat terjadi bersitegang antara aku dan keluarga Minah bahkan ibu dan Mbak Mita pun kesal karena aku meminta Minah untuk ikut pulang bersama dengan mereka. Jadi, ka
"Bu, Tahu masak dua.""Dua? Dimakan sini?""Iya, Bu.""Duh, nggak salah, Mbak Nin?""Enggak, Bu. Mode laper belum sarapan, sudah harus kenyang makan kenyataan. Jadinya selera makan awut awutan," jawabku membuat Bu Hartati terkekeh."Mbak Nin ini, bisa aja. Pedes nggak nih?""Nggak usah, Bu. Nanti bukanya kenyang malah mencret. Juga minumnya yang anget ya, Mbak. Soalnya kalau dingin, cuma mertuaku."Lagi lagi mbak Hartati tertawa. Entah apa yang lucu, tapi yang jelas aku sedang dongkol. Rasanya malah sekali aku pulang ke rumah karena harus bertemu dengan ibu dan yang lain. Jika biasanya aku bersemangat karena ada mas Ahmad di rumah tetapi kali ini aku sedang kesal kepadanya sehingga rasanya pulang ke rumah pun kaki terasa tidak berdaya."Kenapa toh mbak Nin, mukanya kusut amat?" tanya Bu Hartati."Biasa, Bu, belum beli Kispray. Jadi masih kusut," jawabku asal."Loh? Itu muka atau gosokan baju," kekehnya. "Saya tanya serius Mbak Nina jawabnya selalu saja bikin saya sakit perut.""Habis
"Tumben hari ini pulangnya sampai sore, dek?" Mas Ahmad ternyata sudah menungguku di depan halaman dan dia sepertinya panik dan khawatir dengan aku yang tidak biasanya pulang sampai sore hari. Selepas dari sekolahan aku memang mampir ke pasar karena tidak berbelanja ke toko biasa. Sengaja hanya untuk berjalan-jalan dan menghabiskan uang untuk sekedar membeli hal-hal yang sepele dan ingin aku beli dengan uang hasil jualanku. Aku habiskan tanpa sisa dan tentu saja aku beli hal-hal yang aku anggap sebagai kebutuhan.Melihatku pulang dengan membawa belanjaan yang begitu banyak Mas Ahmad langsung membantuku, dia memang lelaki yang sangat peka dengan kesusahan istrinya tetapi tidak peka dengan perasaan istrinya. Hal yang tentu menjadi sebuah pertimbangan matang ketika aku sedang marah Aku pun tidak tega jika berlama-lama karena pasti dia harus di kode terlebih dahulu agar paham jika istrinya ini sedang kesal karena apa yang dia lakukan.Ibu dan Mbak Mita sedang duduk di kursi tamu dan di s
"Mas nggak sadar dan merasa kalau itu hanya Modus dia saja?" sungutku.Entah apa yang ada di pikiran Mas Ahmad kali ini, tidak biasanya dia membela wanita itu di depanku seolah-olah tidak mempunyai dosa karena sudah mengganggu rumah tanggaku. Aku benar-benar curiga dengan semua hal yang terjadi kali ini termasuk tentang keputusan suamiku yang mendadak seperti menyetujui wanita itu ada di sini."Insyaallah enggak, Mas tahu Minah dulu tidak sejahat itu. Dia tinggal di sini dengan cara memaksa karena dia takut dengan suaminya yang mungkin akan melakukan hal yang tidak tidak. Dia sangat senang saat suaminya memberikan uang kepada mas meskipun syaratnya cukup membuatku kata-kata dengan kamunya yang begini," jawab Mas Ahmad.Aku menangkup kedua pipi suamiku dan mengapa matanya dalam dalam. Mencari kebenaran dan kejujuran dari lelaki yang sudah aku nikahi 5 tahun ini. Selama ini susah dan senang kami jalani bersama-sama tanpa ada yang ditutup-tutupi tetapi kedatangan Wanita itu sungguh membu