"Sa-saya dipecat, Pak?" Pak Hendri hanya mengaguk. "Pak, kenapa saya dipecat?""Kamu sudah sering tidak masuk kerja. Kamu pikir, ini perusahaan nenek moyangmu.""Tapi gak bisa langsung pecat gitu ajah dong, Pak. Saya minta kesempatan sekali lagi.""Maaf, Dam, tidak bisa. Saya hanya menjalankan keputusan atasan.""Pak, tolong berikan saya kesempatan sekali saja. Saya sangat butuh pekerjaan ini. Saya harus menanggung kebutuhan istri, calon anak, ibu dan adik saya.""Aduh, kamu ini bikin pusing saja. Malah curhat segala. Sesuai perintah atasan, kalau mau protes kamu suruh menghadap Pak Bumi.""Bumi?""Iya, dia itu anak pemilik perusahan ini. Kamu 'kan sahabatnya. Tahu saja bisa minta nego.""A-apa, anak pemilik perusahaan. Gak mungkin, Pak. Bumi itu cuman manajer. Tidak lebih.""Gimana sih, masa kamu tidak tahu kalau dia anak pemilik perusahaan. Bukannya dia yang masukin kamu ke sini? kalau tidak punya kekuasaan, mana mungkin dengan mudah kamu masuk sini. Sudah jangan banyak protes. Kal
"Bu, jangan begitu. Aku ini istri anakmu. Jadi, kamu harus menerima aku juga," ujar Diana membela diri."Siapa yang mengakui kamu sebagai menantu hah? tidak sudi. Gara-gara kamu, masa depan cerah anakku jadi hilang. Bisa-bisanya malah memeprtahanakan perempuan miskin kaya kamu.""Dijaga mulutnya, Bu. Anak ibu yang kegatelan sama aku. Enak saja aku yang disalahkan.""Terserah kamu mau ngomong apa. Cepat pergi dari rumahku!""Tidak!""Pergi!""Stop. Jangan bertengkar!""Mas, ngomong dong sama ibumu. Tega banget aku gak boleh tinggal di sini. Ya sudah, kalau aku gak boleh di sini, kamu pindah saja ke kontrakan sama aku.""Enak saja. Tidak boleh. Adam harus tetap di sini. Bisa-bisa kamu menguasai anakku. Pasti kamu sengaja ke sini karena mau kebagian duit jual mobil juga 'kan? dasar mata duitan.""Dijaga mulut julidnya, Bu. Aku memang berhak atas uang Mas Adam. Aku istrinya!"Dua perempuan di hadapanku terus adu mulut. Tidak ada yang mau mengalah. Dua-duanya sama-sama keras kepala. Bisany
Persidangan dimulai. Awalnya, semua berjalan sesuai kemauanku. Namun, saat pihak Mira menanyakan mobil, mereka marah dan tidak setuju atas tindakanku. Tanpa sepengetahuan Mira aku menjualnya. Maka dari itu, pihak Mira menolak membagi kekayaan lain atas nama kami berdua. Hanya rumah dan mobil yang termasuk harta Gono gini. Ternyata, perusahaan, dan mobil Mira yang satunya bukan termasuk harta gono gini. Ternyata, Mira memiliki harta tersebut sebelum menikah dariku.Sialan. Kenapa sejak dulu aku tidak paham soal perusahaan itu? Mira terlalu pintar menyembunyikan asetnya. "Mir, pokoknya rumah kita harus dijual, dan uangnya bagi dua," ujarku saat selesai persidangan."Bukannya kamu sudah mendapatkan uang dari penjualan mobil? Masih beruntung aku tidak menggugat soal itu. Tidak sopan, main jual aset sesuka hati.""Sudahlah, Mir, kamu ini banyak duitnya tapi pelit naudzubillah. Aku sudah dipecat dari perusahaan tempatku kerja. Harusnya kamu memberikan hakku, malah menahannya."“Hak apa ma
"Dam, apa kata dokter?" tanya ibu saat aku sudah kembali di sampingnya. "Ela harus menjalani operasi, Bu.""Emang aku sakit apa, Mas? kenapa kaki kananku gak bisa digerakkan. Sakit banget.""Tenang, La. Kaki kamu patah tulang. Masih bisa disembuhkan. Hanya saja, harus dioperasi.""Bu, pokoknya Ela harus sembuh, Bu. Ela malu, Bu," rengek Ela penuh air mata. "Iya, Sayang. Tenang, yah. Ibu pasti akan mengusahakan kesembuhan kamu.""Tapi, Bu, biayanya gede banget. Operasinya saja dua puluh juta. Belum lagi biaya rawat inapnya.""Dam, jangan bilang kaya gitu. Pokoknya kita harus mengusahakan kesehatan Ela. Kasihan adikmu. Kalau dia tidak bisa jalan lagi, pasti hidup Ela bakal menderita banget. Adikmu itu perempuan. Jadi, fisik sangat penting, Dam.""Iya, Mas. Pokoknya aku harus sembuh, Mas," rengek Ela. "Iya, iya. Kamu harus berjuang buat sembuh. Mas akan berusaha buat bayarin semuanya. Untuk beberapa bulan ini, mau tidak mau, untuk biaya makan, kita harus mengandalkan uang dari warung
POV Mira "Mir, itu siapa dah, ko, rumah lu kebuka?" tanya Tiara sesampainya kami di rumah."Jangan-jangan ada maling, Mir.""Ah, masa sih.""Ya iyalah, Mir. Mangkanya Lu jangan simpen kunci sembarangan.""Ya gimana, aku lupa, Mir. Biasanya emang suka disimpen di situ. Dulu kalau aku pulang kerja lama, takut Mas Adam pulang duluan, jadi kunci suka ditinggal.""Ya ampun, Mir. Lu belom bisa move on?""Ya bukan gitu. Soal perasaan sudah tidak ada. Tapi, soal kebiasaan ya, masih belum bisa lupa.""Ya udah, ayok turun. Bahaya tuh, takutnya ada maling."Aku dan Tiara turun dari mobil. Awalnya kami pulang ke sini hanya untuk mengambil beberapa berkas yang ketinggalan. Kebetulan, aku lupa membawa file penting. Jadi, mau tak mau harus pulang lagi ke rumah. "Mir, kita jangan gegabah. Kita harus hati-hati. Nih, lu pegang sapu. Biar gua pegang nih, pot bunga. Kalau di dalem ada penjahat, langsung gua timpuk pake nih, pot.""Jangan asal timpuk, Ra. Kita amati dulu, tahu ajah bukan maling.""Halah
"Mira!"Teriakan itu semakin kencang saja. Orang dibalik pintu terus berusaha membuka pintu. Aku berusaha mengumpulkan nyawa setelah bangun tidur. Perlahan beringsut dari tempat tidur. Ada sapu di dekat pintu. Aku ambil saja sebagai alat untuk mempertahankan keselamatan diri, jika orang dibalik pintu benar-benar orang jahat.Kunci pintu kamar aku buka. Aku persiapkan diri dan posisi untuk memukul maling."Arrgh!" teriakku berusaha memukul. Namun, orang itu malah bergerak cepat memelukku."Mir, syukurlah kamu tidak kenapa-kenapa."Suara itu aku sangat kenal. Bau parfum dan postur tubuh orang yang memeluku bisa aku kenali. Walaupun belum melihat wajahnya, aku tahu pria ini adalah Bumi."Mir, aku akan selalu ada di sampingmu. Jangan putus asa, apalagi sampai mau mengakhiri hidup.""Hah? mengakhiri hidup? maksudnya gimana?" tanyaku sambil melepaskan pelukan Bumi."Iya, Mir. Tiara bilang kamu dalam kondisi kacau karena dihina mantan suamimu. Lalu, kamu mengurung diri di rumah. Tiara takut
"Maaf, Mir. Aku hanya tidak mau kamu dihina kaya tadi," ujar Bumi tersenyum sambil melepaskan genggaman tangannya. "Makasih, Bumi," bisikku tepat di kuping Bumi. Dari belakang, Mas Adam terlihat kesal dengan kedekatanku dengan Bumi.Aku duduk di kursi panas dengan senyum mengembang. Menunggu hakim membacakan keputusan sidang. "Dengar, Mir, rumah tetap harus dijual," bisik Mas Adam ketika hakim membacakan putusan tentang harta gono gini. Hakim menerima permintaan Mas adam untuk membagi rata uang penjualan mobil dan rumah. Walaupun mobil sudah dijual, Mas Adam berjanji akan membayarnya. Akhirnya, hakim memutuskan rumah juga harus dibagi dua. Tidak bisa hanya untukku, karena harga mobil tidak sebanding dengan harga rumah. "Terima kasih, sidang kami tutup," ujar Hakim setelah hampir satu jam melakukan sidang. Menyimpulkam hasil persidangan kalau aku dan Mas Adam resmi berpisah. "Mira, jangan lupa secepatnya rumah itu akan dijual. Mangkanya jangan serakah, akhirnya kembali ke tangan p
"Dasar mata duitan," lirihku sedikit kesal."Kamu bilang apa, hah?""Enggak, Bu. Silakan duduk. Kita bicarakan di dalam.""Gitu, dong."Aku persilahkan mereka duduk di ruang tamu. Beruntung Diana tidak ada. Jika dia juga ikut, makin panas saja suasana pagiku. Dengan langkah sedikit malas, aku ambil catatan mutasi rekening yang sudah diberikan karyawanku. Membawanya di depan ibu dan Mas Adam. Berserta jumlah total, dan cek untuk pembayaran."Nih, Bu, silakan dibaca hasil rekapan pinjam ibu, Ela sama Mas Adam."Aku serahkan catatan dan dokumen bukti kepada ibu. Wajah ibu mendadak merengut. Gelombang kekesalan mulai terbentuk. Sepertinya, pagiku kali ini, akan berjalan menyebalkan karena ulahnya. "Ini gak salah? lima puluh juta. Banyak banget," ucapnya sambil geleng-geleng kepala. "Sesuai data mutasi dan rekening koran yang aku print, ibu bisa menjumlahkan sendiri kalau mau. Kalau enggak, coba ingat-ingat saja seberapa sering ibu minta uang sama aku.""Lah, gak mungkin sebanyak ini. I