"Maaf, Mir. Aku hanya tidak mau kamu dihina kaya tadi," ujar Bumi tersenyum sambil melepaskan genggaman tangannya. "Makasih, Bumi," bisikku tepat di kuping Bumi. Dari belakang, Mas Adam terlihat kesal dengan kedekatanku dengan Bumi.Aku duduk di kursi panas dengan senyum mengembang. Menunggu hakim membacakan keputusan sidang. "Dengar, Mir, rumah tetap harus dijual," bisik Mas Adam ketika hakim membacakan putusan tentang harta gono gini. Hakim menerima permintaan Mas adam untuk membagi rata uang penjualan mobil dan rumah. Walaupun mobil sudah dijual, Mas Adam berjanji akan membayarnya. Akhirnya, hakim memutuskan rumah juga harus dibagi dua. Tidak bisa hanya untukku, karena harga mobil tidak sebanding dengan harga rumah. "Terima kasih, sidang kami tutup," ujar Hakim setelah hampir satu jam melakukan sidang. Menyimpulkam hasil persidangan kalau aku dan Mas Adam resmi berpisah. "Mira, jangan lupa secepatnya rumah itu akan dijual. Mangkanya jangan serakah, akhirnya kembali ke tangan p
"Dasar mata duitan," lirihku sedikit kesal."Kamu bilang apa, hah?""Enggak, Bu. Silakan duduk. Kita bicarakan di dalam.""Gitu, dong."Aku persilahkan mereka duduk di ruang tamu. Beruntung Diana tidak ada. Jika dia juga ikut, makin panas saja suasana pagiku. Dengan langkah sedikit malas, aku ambil catatan mutasi rekening yang sudah diberikan karyawanku. Membawanya di depan ibu dan Mas Adam. Berserta jumlah total, dan cek untuk pembayaran."Nih, Bu, silakan dibaca hasil rekapan pinjam ibu, Ela sama Mas Adam."Aku serahkan catatan dan dokumen bukti kepada ibu. Wajah ibu mendadak merengut. Gelombang kekesalan mulai terbentuk. Sepertinya, pagiku kali ini, akan berjalan menyebalkan karena ulahnya. "Ini gak salah? lima puluh juta. Banyak banget," ucapnya sambil geleng-geleng kepala. "Sesuai data mutasi dan rekening koran yang aku print, ibu bisa menjumlahkan sendiri kalau mau. Kalau enggak, coba ingat-ingat saja seberapa sering ibu minta uang sama aku.""Lah, gak mungkin sebanyak ini. I
POV Adam "Asyik, uang kita banyak, Dam," ujar ibu setelah kami mencairkan sekitar 50 juta di bank. Walaupun aku sedang memegang uang banyak, rasanya hatiku tidak bahagia. Apalagi, melihat Mira sangat dekat dengan Bumi. Sialan Si Penghianat. Bisa-bisanya dia bergerak cepat mencari perhatian Mira. "Wah, wah, dapat uang nih. Mana bagianku, Mas?" tanya Diana mendekat. Ibu langsung memeluk uang-uang di tangannya. Dia menatap tajam ke arah Diana. "Biasa ajah dong, Bu. Gak inget Mas Adam bisa dapet duit karena ide aku juga.""Halah, ide yang mana? ide kamu itu gagal. Bikin kacau saja.""Pinter banget yah, ngomongnya. Kalau udah dapet uangnya saja. Pura-pura lupa sama bantuanku.""Dam, kirim sisa uangnya sama ibu. Kalau ditangan kamu, nanti habis sama perempuan ini.""Jangan serakah dong, Bu. Aku sebagai istri Mas Adam juga berhak dapet uangnya. Buat keperluan lahiran, dan kebutuhan lainnya.""Biar ibu yang ngatur soal keperluan lahiran. Bisa minta bekas baju anak saudara. Gak usah beli.
"Gimana, Dam? ada gak ATM-nya?""Gak ada, Bu. Aduh, ke mana ATM aku, Bu."Diriku mulai panik. Aku banting dompet yang hanya berisi lima lembar warna merah. Frustasi, dan kesal. Siapa yang berani mengambil ATM milikku? tidak mungkin jatuh. Aku simpan di bagian dompet yang ada resletingnya. Tidak mungkin jatuh begitu saja. Pasti ada yang mengambil. "Aduh, ada-ada aja. Ibu mana tahu ATM kamu. Walaupun ibu butuh duit, tapi ibu gak berani buka-buka dompet kamu, Dam.""Ya, terus siapa, Bu. Mana uang Adam dipakai banyak banget. Hampir lima belas juta. Jangan-jangan selama ini uang Adam emang ada yang ambil diam-diam. Pantesan cepat habis," gerutuku kesal."Ibu mana tahu, Dam. Coba cari dikasur, atau di bengkel. Tahu aja jatuh atau keselip.""Gak mungkin, Bu. Adam simpennya di bagian paling rapih di dalam dompet. Arrgh, terus gimana ini, Bu."Ibu hanya terdiam sambil berusaha menenangkanku. Aku tarik rambut frustasi. Kemana duitku? sialan, aku terlalu lengah. Tidak teliti mengecek saldo. Mun
"Dam, buruan ke bagian pembayaran. Biar istrimu segera diberi tindakan," desak ibu panik. "I-iya, Bu," jawabku antara panik dan bingung. Mau tak mau, aku ikuti saja perintah suster, keranjang menuju ruang administrasi. Bagian Administrasi, memberikan kertas berisi rincian pembayaran. "Sus ini gak salah biayanya?" "Betul, Pak. Memang segitu untuk biaya operasi sesar." Aku terduduk di kursi dekat bagian administrasi. Membaca rincian harga yang tertera di kertas tersebut berulang kali. Nominalnya tidak sedikit, sekitar sepuluh juta, itupun khusus biaya operasinya saja. Aku menopang kepala dengan kedua tangan. Pusing, dan tak tahu harus mencari kekurangan biayanya di mana? siapa yang mau memberikan pinjaman sebanyak itu? "Dam, kamu malah melamun. Cepat tanda tangan, ibu disuruh dokter nyamperin kamu. Katanya, kamu harus segera memutuskan, sebelum kondisi Diana dan anaknya semakin memburuk." "Bu, biayanya lebih dari sepuluh juta, Adam bingung mau bayar pakai apa?" "Aduh, lagian i
"Ke mana, Mira? aduh, bagaimana ini. Aku sangat butuh pinjaman darinya," ujarku bicara sendirian. Lelah terus berteriak, aku duduk di lantai. Berusaha menghubungi Mira lewat nomer ponselnya. Namun, dia tak kunjung membalas. Saat merasa sudah tak ada harapan, tiba-tiba sebuah mobil yang sangat aku hapal plat nomernya masuk ke halaman rumah ini. Mendadak hatiku panas. Itu mobil Bumi. Jangan-jangan Mira sudah jalan bersamanya. "Sialan," dengusku kesal saat prediksiku terbukti benar.Mereka turun dari mobil dengan wajah berseri-seri. Namun, senyuman mereka pudar saat melihat kedatanganku. Kalau saja aku tak butuh pinjaman dari Mira, sudah aku hajar Si Bumi. Si Penghianat ini benar-benar tidak punya malu. Terus saja mengejar Mira. "Mas Adam, ada apa kamu ke sini? udah lupa sama perjanjian kita? aku sudah bilang setelah transaksi pembagian uang rumah, Mas gak usah ke sini lagi.""Mir, aku butuh bantuan kamu. Tolong aku, Mir.""Bantuan apa?""Diana sudah melahirkan secara sesar, Mir. Dia
"Percuma kamu mengomel, Diana. Sekarang ini, kita harus cari solusi biar kamu bisa pulang," jawab suamiku yang bisanya buat aku sengsara. "Ya, terus gimana, Mas? mikir dong. Aku gak mau ditahan di sini. Dasar gak bertanggung jawab!" sentakku kesal. Emosi sudah membumbung tinggi di atas ubun-ubun. Menyesal menikah dengan Mas Adam. Bukan bahagia malah sengsara. Kalau tahu begini, tidak akan aku pertahankan kehamilan ini. Punya anak malah nambah susah. Aku tidak bisa ke mana-mana. Sulit kerja. Sementara keluargaku di kampung juga butuh suntikan dana dariku. "Mas mau cari pinjaman dulu. Kamu tunggu dulu.""Dih, enak aja. Aku gak mau disini berduaan sama anakku doang, Mas. Mana ibumu main pulang aja. Dasar mertua gak bener. Menantunya lahiran bukan dimanjain, malah tetep julid.""Sudahlah, Diana. Jangan berdebat. Aku pasti kembali. Tunggu."Aku hanya bisa memanyunkan bibir kesal. Ditambah lagi menahan malu. Bisa jadi, percakapanku di dengar pasien lainnya. Aku hanya bisa pasrah membia
"Diana, buka pintunya!" teriak Mas Adam lagi-lagi terdengar. Padahal, baru satu jam aku bisa terlelap. "Apa sih, Mas?""Kamu lagi apa sih?""Aku lagi tidur, Mas. Cape tahu, semalem kamu gak ada, ibumu gak ke rumah sakit. Aku begadang jagain anak kita.""Aku paham, Na, tapi susui dulu putri kita. Kasihan, dia belum mau minum susu formula.""Iya, nih, berisik terus bayinya nangis. Jadi ibu gak becus banget sih," ujar adik ipar tidak tahu diri. Aku juga terganggu kalau anakku terus menangis. Jadi, mau tak mau aku bawa dia ke kamar. Menidurkannya di dalam kamar. Tak lama kemudian, dia bisa terlelap. Syukurlah, anak ini bisa diajak kompromi. Bagus, dia paham kalau ibunya sedang cape fisik dan batin.*****Dua bulan berlalu. Sungguh tidak enak punya anak. Jam tidur berkurang. Wajah dan badanku tidak terurus. Aku tidak bisa begini terus. Biar Mas Adam saja yang mengurus anak kami. Sebagai pencari nafkah, dia tidak bisa mencukupi kebutuhanku. Menambah kepala makin pusing saja."Kamu mau ke