Kutinggalkan Wanita tak tau diri itu diruang tengah. Aku biarkan dia terkejut dan berfikir dengan ketakutannya sendiri. Memikirkan aku yang memiliki stempel itu, pasti membuatnya tak bisa tidur nyenyak malam ini.Aku berjalan kedalam kamar, merebahkan sebentar tubuh ini di atas ranjang. Hari ini aku berfikir sangat keras. Terlebih aku masih belum tau juga dimana stempel itu berada. Ingin rasa memejamkan mata sejenak, namun tidak, tak sekarang. Aku tak mau lenggah sedikitpun.Aku berdiri, mengganti bajuku dengan yang bersih. Aku bawa tumpukan pakaian kotor itu kedalam plastik besar. Aku akan meminta pak Budi membawanya pulang kerumahku sendiri.Aku keluar kamar. Menyeret kantong plastik berukuran cukup besar dan sebuah tas koper kosong di tangan satunya."Mau kemana Wit?""Mau pergi bu""Pergi dari rumah ini?"Aku menggelengkan kepala. "Pergi kedepan. Supirku akan mengambil baju-baju kotor ini kerumahku."Ibu hanya menganggukkan kepala. Wanita itu sekarang tak terlalu banyak memberika
"Bu, Wita berangkat dulu bu"Aku berpamitan pada ibu yang sedang menyiram tanaman. Ibu tersenyum dan beralan kearahku. "Iya Wit, pergilah. Hati-hati yaa""Iya bu, ibu juga ya. Ingat yang sudah kira bicarakan tadi malam. Ibu harus fokus melihat kemana Lia bergerak dirumah ini.""Iya, tenang saja. Ibu akan awasi.""Jaga mas Erlan, Wita sudah pamit, dia tak akan mecari nanti. Pastikan Lia menganti popoknya dengan benar.""Iya, jangan khawatir yaa Wita"Aku tersenyum dan berjalan masuk kedalam mobil. Melambaikan tangan pada ibu dan mobilku melaju keluar gerbang.Berpura-pura baik pada orang yang sudah menghancurkan hidupmu itu penting. Karena aku tak akan membiarkan dia tenang dengan harta melimpah. Akan aku rampas segalanya, tak tersisa!"Kemantor bu?" Pak Budi bertanya. Membuatku melihat kearahnya."Iya... em, mungkin kebutik sebentar." Ucapku sembari memberi pesan pada Jeni untuk datang kebutik saja hari ini.Aku sandarkan tubuhku di kursi. Kemarin, aku dan ibu pulang larut malam. D
Aku kembali keluar rumah. Lebih tepatnya ke butikku sebentar. Setelah memastikan rekaman itu benar adanya. Aku tinggalkan rumah ibu mertuaku. Sekarang aku yakin, mas Erlan memang sudah bisa menggerakkan tubuh atasnya. Saat aku meletakkan tanganku dibawah telapaknya, dapat kurasakan dia memiliki tenaga. Telapak tangannya merespon telapak tanganku. Jika dia belum sembuh, harusnya hal itu tak bisa dia lakukan.Sampai di depan butik. Jeni menyambutku dan membuka buku agendanya hari ini. Gadis ini, tak pernah membiarkan aku istirahat barang sebentar!"Hari ini ibu ada agenda melihat hasil rancangan untuk fashion show nanti.""Apa sudah selesai?""Sudah, semua sudah selesai. Beberapa model akan datang juga untuk berlatih besok siang."Aku menganggukkan kepala. Bagaimanapun sibuknya aku, dengan urusan perusahaan mas Erlan, fashion adalah duniaku. Disinilah namaku besar dan berkembang.Aku masuk kedalam ruangan. Memeriksa beberapa dokumen. Dan teringat sesuatu. "Jen, sudah ada informasi tent
Melewati tanjakan terjal dan tikungan tajam. Aku baru menyadari, kami masuk kekawasan pegunungan. Jauh dari kota tempat kami tinggal. Perlahan kami masuk kedalam tempat pembuangan mobil kecelakaan."Jauh sekali Jen?""Iya bu, memang jauh sekali. Teman saya sudah bilang, jika tempatnya memang jauh. Dan lebih aman kita datang malam hari""Kenapa?""Jika siang, banyak orang disini. Orang kampung sini beternak kambing dan sapi. Dan mereka bisa saja membuat laporan kedatangan kita"Benar, rumput disini memang sangat gemuk. Jika aku sapi, aku juga suka ada disini!"Baiklah. Parkirkan dengan aman mobil ini Jeni""Disini sudah aman bu""Tidak! Jangan disini. Cari tempat yang lebih aman. Mungkin saja kita akan kedatangan orang lain." Meski agak terkejut dengan tempat ini, aku tetap keluar mobil.."Baik bu" Jeni kembali kedalam mobil. Lalu membawa mobil itu lebih kedalam. Bersembunyi diantara tumpukan mobil lain. Tempat ini benar-benar penuh mobil. Dengan suasana gelap dan banyak mobil bertum
Aku gunakan sarung tangan karet. Berjalan mengelilingi mobil. Memastikan seperti apa keadaan mobil ini sekarang. Bagian depan mobil sudah tak lagi berbentuk. Ringsek, hingga aku tak lagi bisa mengenali mobil ini. Jika tak kuperhatikan plat nomornya dengan baik.Satu sisi lain juga seperti terkena benturan, menyisakan cekungan menjorok yang cukup kentara. Kaca belakang pecah, bersih tak menyisakan serpihan. Aku berjalan kembali kesamping, mencoba membuka pintu depan.Glek..glek...Mobil ini terkunci atau mungkin macet karena karat. Entahlah, ia begitu sulit dibuka. Kuamati lagi dari beberapa sisi. Bahkan aku sempat menenggok kedalam untuk memastikan apa yang ada di sana. Masih sama, seperti mobil ini dulu. Gantungan kunci lambang perusahaan mas Erlanpun, masih menggantung dikaca depan. Aku berjalan kebelakang. Mencoba mencari jalan masuk.Mungkin aku bisa masuk lewat jendela disisi belakang.Aku Naik, berpegang pada ujung-ujung jendela. Ngik... kek...kek...Setiap kali aku bergerak b
Srook... Srook!Ranting pohon kudengar patah terhantam badan mobil ini. Kami masih meluncur turun semakin kebawah.BRAAK!Hantaman keras. Membuatku terbanting juga di atas kursi. Untungnya sabuk pengaman masih terpasang dengan baik. Andai tidak, aku sudah terlempar kedepan menubruk kaca yang mulai retak.Saat kusadari kini mobil berhenti. Kami jauh di dalam jurang. Mobil ini miring 45 derajat. Aku terdiam menatap keatas dari kaca depan. Tak terlihat apapun. Entah berapa meter jarak kami dari tepian tebing, tempat kami terjatuh tadi.Kuatur nafas beberapa kali. Saat ini aku takut mobil akan kembali meluncur kebawah."Jen, Jeni!" Kuguncang tubuhnya pelan. Dia tak bereaksi. Aku periksa nadinya. Dia masih hidup! Syukurlah."Bangun Jen? Jeni..."Ini anak pingsan atau tidur sih? Heran aku!Aku periksa tubuhku sendiri. Memastikan tak ada luka patah atau terkilir setelah beberapa kali terbentur dan meluncur ke punggung lembah.Aman, semua terlihat baik dan aku tak merasakan sakit.Perlahan k
Pov JeniAku terbangun, terdampar di tepian sungai. Tanganku begitu sakit, aku mencoba menggenali tempatku terduduk, namun aku tak mengingat apapun yang terjadi.Kuangkat tangan kananku. Berat, seperti ada yang menariknya. Saat kulihat lebih dekat, ada tangan mengantung dengan tali tas ditanganku."Bu Wita!" Aku dekati wanita yang sudah seperti kakak bagiku. "Bu, bangun bu!"Tubuhnya dingin, dan dia tak merespon saat berkali-kali kuguncangkan tubuhnya. Kini aku merasa khawatir, bagaimana jika terjadi sesuatu padanya. Kulepas jaket kulit yang kukenakan, dingin menjalar menembus tulang.Aku duduk sebentar. Mengingat bagaimana kami berada disini sekarang. Saat terakhir aku masih sadar, bu Wita masih mengemudikan mobilnya bersamaku.Apakah kami mengalami kecelakaan?Ah, kupukul berkali-kali kepalaku. Namun tak juga menemukan potongan cerita kami yang hilang dari alurnya.Bodohnya kamu Jen!Keadaan terlalu gelap saat aku mencoba melihat kesekitar. Aku tak menemukan apapun sebagai penerang
Assalamualaikum. Jangan lupa berikan bintang dan subbscribe ya teman-teman. Maaf off dua hari, semoga kedepannya bisa up cerita setiap hari. Selamat membaca.*** Aku keluar rumah. Setelah membantu gadis itu membersihkan piring bekas makanan kami. Terlalu tak tau diri jika sudah di kenyangkan, namun tak bisa meringankan sedikir saja kerjanya.Melangkah dari dalam rumah, terbentang punggung bukit yang kehijauan. Bila saja terjadi longsor, rumah ini pastilah terhantam lebih dulu.Astaqfirullah. Apa yang aku fikirkan!Aku turuni anak tangga dari bebatuan. Berjalan kepelataran. Ternyata hanya rumah ini yang berada dibawah. Selebihnya ada beberapa rumah dipunggung bukit." kita jadi kepuskesmas mbak?" Mega, gadis yang kutaksir berusia sekitar empat belas tahun itu bertanya."Jadi. Ayo, kemana arah puskesmasnya?""Kesana mbak"Mataku membulat, di menunjuk bukit didepan kami. Mendadak kakiku terasa berat. Bagaimana kami akan kesana? Panjat tebing?"Ada jalan setapak kecil mbk, ayo ikut say