Ponsel Sinta yang sempat dia lempar padaku, berdering nyaring."Tuh, kan! Jangan mengelak lagi. Kita ini memang sudah pasti jodoh. Sudahlah nggak usah malu-malu. Ayo kita pesan makanan. Pasti sudah pada lapar kan? Itu temannya, suruh pesan juga!"Kutu kupret! Memang Sinta keong racun! Aku jadi kejebak gara-gara ponselnya.Kuberikan tatapan membunuh pada teman lucnut satu ini. Tapi dia cuma cengengesan tak jelas._"Bang! Oy! Sini!" teriak Sinta pada salah satu pelayan warung bakso."Pesan apa, Mbak?" tanya Sang pelayan tak lupa melirik ke arah kakek tua itu.Mungkin dia berpikir kalau kami adalah perempuan nggak bener, karena jalan sama kakek-kakek. Hemmm, nasib. Punya temen, gampang banget dibohongi. "Saya mau bakso, tiga, sama jus jeruknya satu!?" jawab Sinta memesan makanan."Dek, Sinta ini, kerjanya apa ya?" tanya lelaki tua itu padaku.Bukannya menjawab, karena namanya yang disebut, Sinta malah jadi wanita pendiam. Padahal, biasanya dia kayak belatung. Lompat sana lompat sini ng
"Eh, ketemu lagi, sama manusia madesu!" celetuk seseorang, yang baru aja datang. Kami semua menoleh padanya.Huh, siapa lagi orangnya kalau bukan biang keladi!Nggak di kampung, nggak di luar, selalu aja ketemu. Mana kalau ketemu omongannya nyelekit lagi. Pengen deh retakkan ginjalnya."Eh, ya ampun! Ketemu lagi sama mantan calon Ibu mertua. Kok bisa ya, selalu kebetulan begini. Ah, Jangan-jangan kita berjodoh. Nggak di kampung, nggak di jalan, nggak di luar. Kok pas banget ya? Apa nanti di akhirat juga kita bertemu? Tapi kayaknya enggak deh. Soalnya, saya masuk surga, situ masuk neraka!" celetukku di iringi tawa ngakak dari Sinta. Ibu Bang Jali, hanya sendiri. Dengan dandanan seperti biasanya. Cetar membahana badai. Kalau sempat aja ada rampok, udah habis dia dirampok. Lagian, kok ya nekat banget cari masalah. Apa nggak. mikir, kalau pakai perhiasan begitu bisa ngundang kejahatan.Itu rantai di leher, kalau sempat ditarik jambret, pasti orangnya langsung ngikut. Kan kasihan aspalnya
"Tuh, kan. Makanya, jadi orang jangan sombong, Bu. Tuhan itu maha adil. Langsung deh kena karma. Udah ngerti dong, kalau karma sekarang, naik jet!" ejekku, mendekati Ibu Bang Jali, yang masih menangis."Memang si4lan, kamu! Udah jelas-jelas, liat orang kesusahan. Malah diem aja. Bukan ditolongin!" bentaknya.Udah kena karma, masih aja suka bentak-bentak orang. Begini lah, manusia yang tak sadar jika dirinya udah ditegur sama yang maha Kuasa."Minta tolong, ke kantor polisi lah, Bu. Jangan sama aku. Lagian, emas imitasi kok ditangisi!""Yang diambil, jambret, itu emas asli!" sungutnya."Lah, mana saya tau. Toh, semuanya kelihatan asli, tapi nyatanya palsu. Itu, buktinya dibuang sama jambretnya. Ya, wes. Jangan nangis, besok beli lagi. Aku mau pulang dulu, ya!" ucapku berpamitan. "Tunggu, aja. Nanti saya bakal lapor polisi. Dan kamu pasti keseret. Karena udah biarin orang tua kejambretan!" ancamnya, dengan wajah sinis.Seandainya, yang kejambretan bukan dia, pasti aku langsung menolong
Gagal Move on"Rani, tunggu!" Aku menghentikan laju sepeda motor saat suara seseorang memintaku berhenti. Dan ternyata, Bang Jali."Ada apa?" tanyaku jutek. Nggak biasanya dia berhentiin aku di jalan. Mana sepi lagi. Ini kali pertama dia ngajak aku ngobrol setelah kami putus. Biasanya juga, kalau ketemu wajahnya selalu kayak debcollektor nagih hutang. Nggak ada ramahnya."Ada yang mau abang omongin," jawabnya memegangi stang motorku.Hari ini, aku pulang kerja sendirian. Sinta bawa motor sendiri. Jadi, dia udah pulang lebih dulu tanpa menungguku. "Tinggal ngomong, nggak usah pegang-pegang!" Aku memukul tangannya yang sempat nangkring di stang.Kalau sampai ada orang yang melihat dia megang stang motorku, bisa-biaa mereka salah sangka. Terus aku dilabrak Ibunya sama calon mertuanya. Kan nggak banget!Apa kata tetangga? Bakal jadi kasus terviral kedua setelah mahar lima Milyar nanti. Diomongin tetangga dimana-mana. Bukannya peduli dengan omongan orang. Tapi, berisik aja gitu dengernya
"Ya, Allah. Kamu kenapa, Nduk? Kok jalannya pincang begitu?" tanya Ibu khawatir. Ia langsung berjalan cepat mendekatiku."Ini tadi, nggak sengaja nendang besi, Bu," jawabku berbohong. Nggak mungkin aku bilang kalau semua ini ulah Bang Jali yang udah mulai menggila. Bisa panjang nanti pertanyaan dari ibu. "Lah kok bisa toh, Nduk. Besi nggak bersalah ditendang? Apa ngerasa udah kuat kayak gatot kaca? Pengen ngetes ilmu gitu?" tanya ibu sewot."Bukan gitu loh, Bu. Tadi, Rani jalan nggak lihat-lihat. Saking terburu-buru tiang warung yang terbuat dari besi, langsung kena sambar," jawabku menambah kebohongan lainnya.Kalau udah sekali bohong, pasti akan ada ke dua dan ke tiga. Hanya gara-gara satu orang. Yang rasanya pengen ku sunat dua kali. Tapi sayang, diri ini bukan bidan."Owalah. Lah ngapain kamu buru-buru? Nggak akan lari jodoh dikejar," ucap Ibu melirikku."Gunung, Bu. Bukan jodoh," ralatku."Halah, sama aja itu. Pokoknya sama-sama nggak akan lari kalau dikejar.""Iya, lah. Suka ha
"Kamu kenapa tadi ribut sama Si Atun, Nduk?" tanya Ibu yang baru saja pulang dari acara Putri.Sudah jam lima sore. Dan aku dari tadi hanya duduk makan dan tiduran sambil menunggu ibu pulang. Setelah ribut dengan Bi Atun, aku tak lagi kembali ke acara. Karena malas bertemu dengan wanita berbisa itu."Iya, tadi Bi Atun udah keterlaluan, Bu. Ngomong yang nggak-nggak," jawabku, mengingat kejadian pagi tadi. Seandainya, meracuni orang tidak berdosa Udah kukasih, rac*n tikus dia. Biar sekalian berubah jadi tikus sawah. Jangan tikus negara. Susah soalnya, harus sekolah. "Lah, ngomong gimana emangnya?" tanya Ibu lagi, dan ikut duduk di depan TV."Gara-gara Bang Jali salah sebut nama. Bi Atun bilang kalau Rani yang ngedukuni. Makanya sampai salah dua kali. Ya, Rani nggak terima lah."Udah dibelain cuti kerja, demi datang ke acara. Eh, malah diomongin yang enggak-enggak. Kan emosi tingkat kecamatan. Udah rugi waktu, rugi duit juga, karena gaji dipotong. "Sabar, Nduk. Orang sabar jidatnya l
Dari ketiga parsel yang mereka bawa. Ada satu set emas, di dalamnya. Dan satunya lagi, tak kelihatan karena hanya hiasan saja yang nampak dari luar. Ibu Bang Juna, dan kedua ibu-ibu yang membawa parsel tersebut, duduk berdampingan."Ini semua, untuk Dek Rani. Uang 200juta, satu set emas seberat empat puluh gram sebagai mas kawin, serta sertifikat kebun kelapa sawit seluas dua hektare," ucap Bang Juna memberikan seserahan itu padaku satu persatu.Ibu sampai tak bisa berkata apa-apa. Melihat begitu banyak yang diberikan oleh Bang Juna. Tak ada yang menyangka, seorang petani yang selalu di rendahkan oleh Bu Jujuk, ternyata bisa memberikan lebih banyak ketimbang anaknya yang seorang PNS.Bukan sebanyak ini juga yang kuinginkan. Berapapun itu, pasti kuterima. Ini semua terasa berlebihan."Tutup itu mulut. Lihat itu, air liurmu sampai menetes!" celetuk salah seorang Ibu-ibu, melihat Ibu Bang Jali menganga sampai menjatuhkan air liurnya."Hish, apaan sih kamu!" sewot Ibu Bang Jali mengusap
"Maaf, ya Bu. Atas keributan yang barusan. Sebenarnya tadi saya udah menolak dia untuk ikut. Tapi dia memaksa," ujar Ibu Bang Juna, tak enak hati."Tidak apa, Bu. Sudah biasa lihat orang seperti dia. Nggak kaget lagi." ucap Ibu sambil tersenyum hangat.Entah sampai kapan Ibu Bang Jali itu tidak merendahkan orang lain. Usia udah tua, wajah udah keriput, kulit udah kendur, tapi masih aja memandang orang dengan sebelah mata. Seperti bajak laut. Mungkin yang namanya watak susah untuk dirubah. Setelah kepergian Ibu Bang Jali yang entah kemana. Kami semua melanjutkan acara yang sempat tertunda. Tak ada yang peduli juga dia kemana. Biarin aja, dari pada bikin rusuh. Nanti kalau tak ada orang yang mau mengantarkannya pulang, pasti dia kembali ke rumah ini lagi. "Ini semua apa nggak berlebihan, Bang?" tanyaku, saat semua sudah kembali fokus pada acara.Tak enak aja, diberi sebanyak ini. Bayangkan aja, dari uang, perhisan, sampai kebun kelapa sawit. Kalau di total, semua yang telah diberik