"Kalau salah, aku minta maaf, Tun. Mungkin omonganku nyakiti hatimu," ucap Bu Samini penuh sesal. Wajahnya masih nampak sangat sedih."Lah, memang salah. Bukan cuma mungkin!" jawab Bi Atun ketus. "Ya, wes, aku minta maaf," ucap Bu Za Samini lagi. "Halah, males aku maafin. Lagian sampean itu, nggak penting juga. Udah males aku bekawan sama sampean. Nggak ada untungnya juga. Yang ada nanti malah mau ngutang lagi!" celetuknya sinis."Terserahmu Tun. Mau berkawan atau enggak sama aku. Yang penting aku udah minta maaf,""Ya, iyalah terserahku. Masa terserah sampean!" ucap Bi Atun nyolot. "Oalah, Bi Atun. Mulut sampean itu, kok ya nggak pernah berubah. Nggak selamanya loh kita berada di atas. Tunggu aja, cepat atau lambat, sampean pasti ngerasain apa yang Bu Samnini rasain," celetukku yang baru aja datang dari persembunyian. Nggak tahan lihat mulut Bi Atun, yang udah keterlaluan itu."Koe arek cilik, nyumpahi aku?" tanya Bi Atun marah."Bukan nyumpahi. Cuma memperingati," jawabku, berd
"Jangan pernah mengatur aku. Orang tuaku pasti juga ngerti kok, kalau anaknya ini masih sibuk kerja dan sibuk dengan keluarga barunya. Kamu jadi orang luar, jangan ikut campur. Biarkan ini jadi masalahku dan keluargaku. Kamu nggak usah terlalu sibuk!" sambungnya, dengan mata memerah.Dia bilang aku terlalu sibuk? Hufftt. Mungkin orang akan salah sangka dan berpikir aku terlalu ikut campur. Padahal, niat hati hanya ingin membantu Bu Samini. "Oke, mungkin orang tuamu akan mengerti dengan keadaanmu yang sibuk. Tapi apa kamu tau kenapa aku datang ke sini? Itu semua karena ibumu yang udah nggak tau gimana caranya agar bisa datang ke sini dan memintamu untuk pulang menemui ayahmu, yang sedang sakit," ucapku, juga mulai tersulut emosi.Bisa-bisanya dia mengatakan kalau aku ikut campur. Padahal, semua ini juga karena orang tuanya yang sedang sakit. Aku cuma kasihan dengan mereka. Makanya, dengan suka rela aku menyampaikannya sama dia. Ehh, malah tanggapannya seperti itu."Apa kamu nggak kasi
"Assalamu'alaikum," ucapku di teras rumah Bu Samini. Malam. ini, aku akan memberikan uang yang sudah dititipkan oleh Sinta untuk kedua orang tuanya. Tentu saja dengan ditemani Murti. Kalau sendiri, aku mana berani. Takut diganggu makhluk halus di bambuan. Sebenarnya, Murti nggak mau ikut karena dia juga takut. Tapi karena ku paksa, dengan iming-iming ditraktir bakso, makanya dia mau. Kalau urusan makanan, pasti dia nomor satu."Waalaikumsalam," sahut Bu Samini.Lalu tak lama, pintu terbuka."Oh, Rani. Ayo, masuk." Bu Samini mempersilahkan kami masuk, dia sudah jalan terlebih dahulu ke dalam. Sebenarnya, rumah ini cukup mewah untuk ukuran rumah di kampung. Karena lantainya, sudah keramik, bahkan tempat duduk juga sudah ada sofa, yang aku yakin harganya sekitar 5 juta. Biasanya, rumah di kampung rata-rata sederhana. Hanya berlantai semen, dan duduk lesehan di lantai. Kalau sudah seperti rumah Bu Samini ini, ya pasti sudah bisa dikatakan bagus."Maaf, Bu. Mengganggu waktunya malam-ma
Pov Putri"Dari mana aja kamu? Kenapa baru pulang?" tanya Ibu mertua ketus saat aku baru saja masuk ke dalam rumah.Setelah bertemu Rani, aku langsung pulang. Tak mampir kemana-mana lagi. Tapi, entah lah. Mertuaku ini mungkin tidak suka. Menurutnya sebagai menantu, aku harus di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah. Tak boleh sekalipun sekedar duduk bersama tetangga. Padahal, ia sendiri setiap hari selalu keluar rumah, untuk bergabung bersama teman satu rumpiannya. Memang, aku tadi keluar juga nggak izin dengannya. Main langsung pergi aja, saat dia sedang di kamar mandi, dan suamiku masih di dalam kamar. Karena aku tau, kalau izin, juga nggak bakal dikasih."Dari warung," jawabku singkat tak peduli dengan dia yang sudah berdiri berkacak pinggang.Sudah seperti tersangaka saja aku ini."Ngapain ke warung? Bukankah sayuran sudah selesai dimasak?" tanyanya, masih dengan posisi yang sama."Emang kalau ke warung, ibu harus tau apa alasannya?" Aku balik bertanya.Sepertinya Bang Jali udah ber
"Putri! Buka pintunya!" teriak Bang Jali, sambil menggedor pintu kamar dengan tak sabaran. Selama menikah, tak pernah sekali pun dia memanggil dek, atau sayang, atau sebutan mesra yang lainnya. Pasti selalu memanggil namaku. Aku yang sedang tertidur lelap, tentu saja terganggu dengan kelakuannya. Tak bisakah dia membiarkanku istirahat sebentar saja?Padahal nanti sore aku harus bekerja dan pulang pagi. Huuft. Andai kesabaran bisa di isi ulang. "Putri! Cepat buka pintunya!" teriaknya sekali lagi dengan nada marah.Apa dia pikir, cuma dia aja yang bisa marah? Dasar suami nggak ada akhlak. "Iya, sebentar." Dengan terpaksa, aku bangkit dan membukakan pintu. Daripada telinga budeg mendengar teriakannya. Laki-laki tapi kok sukanya teriak-teriak kayak di hutan.Cklek! "Kenapa lama sekali? Cuma buka pintu aja, leletnya minta ampun!" cerocosnya berang. Ingin rasanya kusumpal mulut itu, pakai serbet kotor. Biar nggak nyerocos kayak kenalpot rusak."Aku tadi ketiduran. Makanya lama bukain p
Pov JaliBaru saja pulang kerja, sudah mendapat aduan yang kurang enak dari ibuku, tentang kelakuan istri yang tak tahu diri itu. Dari kemarin, dia selalu saja membuat ulah. Sudah dua hari ini dia tak mau membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Apa yang diucapkan oleh Ibu, dia selalu membantahnya, tak mau mendengarkan.Sudah lelah badan, lelah juga rasanya pikiran ini. Setelah kutegur, bukannya dia mengerti, ini malah juga membantah saja kerjanya. Apa yang buat dia jadi berani padaku? Padahal selama ini selalu menuruti semua yang kuucapkan tanpa banyak protes. Apa kemarin saat dia pergi tanpa izin, dia bertemu seseorang dan orang tersebut mencuci otaknya? Aku akan cari tau dengan siapa kemarin dia bertemu. Lihat saja, jika aku tau siapa orangnya. Maka akan kubuat perhitungan dengannya. Gara-gara dia istriku jadi pembangkang.Ahh, sungguh berat cobaan hidup ini. Hanya karena istri seperti Putri. Aku harus mencari cara, agar istriku itu kembali menurut dengan ucapanku."Mau kemana k
Pov Putri"Ah, fitnah itu. Jangan kamu dengarkan omongan orang yang tidak suka padaku. Pasti semua itu kamu dengar dari Rani, kan?" tebaknya.Kenapa tebakannya langsung tertuju pada Rani? Kan masih banyak orang lain yang bisa ia tuduh. Jika dia tidak melakukannya.Yakin sekali jika kejadian yang diceritakan oleh Rani adalah nyata. Mana mungkin dia memfitnah orang. Aku tau siapa Rani. Dia tidak suka mencampuri urusan orang lain. Apalagi sampai memfitnahnya.Lagian, kenapa juga tebakan Bang Jali langsung menuju ke Rani, kalau memang dia tidak melakukan hal yang terjadi pada saat itu. Di sana hanya ada Ibu, Rani, dan Bang Jali. Makanya dia tau siapa saja yang ada di sana dan langsung menuduh Rani.Huh, dasar!"Nah, pasti tebakan ku benar. Kamu kan tau, Rani adalah mantanku. Jadi, pasti dia tak suka padaku dan selalu mencari kesalahan aku. Seharusnya kamu lebih percaya padaku. Mana mungkin seorang menantu tak peduli dengan mertuanya," lanjut Bang Jali percaya diri, karena aku hanya terdia
Pov Putri"Ya, udah. Aku berangkat sekarang, Bang. Itu pakaian kotorku di kamar mandi. Jangan lupa dicuci," ucapku, lalu bangkit dari tempat duduk hendak berangkat."Pergilah!" serunya kesal. Baru diminta nyuci pakaian aja udah kesal. Gimana lagi dengan aku yang harus mengerjakan semuanya sendiri. Pastinya lebih kesal dari dia."Assalamu'alaikum," teriakku dari luar, berpamitan pada suami tercinta.Tak ada sahutan dari Bang Jali. Aku tetap melajukan motor meninggalkan rumah.Pokoknya tujuan awalku adalah rumah kedua orang tuaku. Masalah pekerjaan, aku bisa minta cuti, kalau sampai tak sempat masuk.Biar bagaimanapun, aku harus tau keadaan Ayah dan Ibu dengan mata dan kepalaku sendiri. -"Assalamu'alaikum, Bu," salamku saat sudah berada di teras.Jam segini, biasanya ibu di rumah. Apalagi kalau Ayah sakit, pasti Ibu tak akan kemana-mana."Waalaikumsalam," jawab suara wanita yang sudah sangat kurindukan."Akhirnya kamu pulang juga, Nak!" ucap Ibu saat ia sudah berada di teras. Matanya