Pov JaliBaru saja pulang kerja, sudah mendapat aduan yang kurang enak dari ibuku, tentang kelakuan istri yang tak tahu diri itu. Dari kemarin, dia selalu saja membuat ulah. Sudah dua hari ini dia tak mau membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Apa yang diucapkan oleh Ibu, dia selalu membantahnya, tak mau mendengarkan.Sudah lelah badan, lelah juga rasanya pikiran ini. Setelah kutegur, bukannya dia mengerti, ini malah juga membantah saja kerjanya. Apa yang buat dia jadi berani padaku? Padahal selama ini selalu menuruti semua yang kuucapkan tanpa banyak protes. Apa kemarin saat dia pergi tanpa izin, dia bertemu seseorang dan orang tersebut mencuci otaknya? Aku akan cari tau dengan siapa kemarin dia bertemu. Lihat saja, jika aku tau siapa orangnya. Maka akan kubuat perhitungan dengannya. Gara-gara dia istriku jadi pembangkang.Ahh, sungguh berat cobaan hidup ini. Hanya karena istri seperti Putri. Aku harus mencari cara, agar istriku itu kembali menurut dengan ucapanku."Mau kemana k
Pov Putri"Ah, fitnah itu. Jangan kamu dengarkan omongan orang yang tidak suka padaku. Pasti semua itu kamu dengar dari Rani, kan?" tebaknya.Kenapa tebakannya langsung tertuju pada Rani? Kan masih banyak orang lain yang bisa ia tuduh. Jika dia tidak melakukannya.Yakin sekali jika kejadian yang diceritakan oleh Rani adalah nyata. Mana mungkin dia memfitnah orang. Aku tau siapa Rani. Dia tidak suka mencampuri urusan orang lain. Apalagi sampai memfitnahnya.Lagian, kenapa juga tebakan Bang Jali langsung menuju ke Rani, kalau memang dia tidak melakukan hal yang terjadi pada saat itu. Di sana hanya ada Ibu, Rani, dan Bang Jali. Makanya dia tau siapa saja yang ada di sana dan langsung menuduh Rani.Huh, dasar!"Nah, pasti tebakan ku benar. Kamu kan tau, Rani adalah mantanku. Jadi, pasti dia tak suka padaku dan selalu mencari kesalahan aku. Seharusnya kamu lebih percaya padaku. Mana mungkin seorang menantu tak peduli dengan mertuanya," lanjut Bang Jali percaya diri, karena aku hanya terdia
Pov Putri"Ya, udah. Aku berangkat sekarang, Bang. Itu pakaian kotorku di kamar mandi. Jangan lupa dicuci," ucapku, lalu bangkit dari tempat duduk hendak berangkat."Pergilah!" serunya kesal. Baru diminta nyuci pakaian aja udah kesal. Gimana lagi dengan aku yang harus mengerjakan semuanya sendiri. Pastinya lebih kesal dari dia."Assalamu'alaikum," teriakku dari luar, berpamitan pada suami tercinta.Tak ada sahutan dari Bang Jali. Aku tetap melajukan motor meninggalkan rumah.Pokoknya tujuan awalku adalah rumah kedua orang tuaku. Masalah pekerjaan, aku bisa minta cuti, kalau sampai tak sempat masuk.Biar bagaimanapun, aku harus tau keadaan Ayah dan Ibu dengan mata dan kepalaku sendiri. -"Assalamu'alaikum, Bu," salamku saat sudah berada di teras.Jam segini, biasanya ibu di rumah. Apalagi kalau Ayah sakit, pasti Ibu tak akan kemana-mana."Waalaikumsalam," jawab suara wanita yang sudah sangat kurindukan."Akhirnya kamu pulang juga, Nak!" ucap Ibu saat ia sudah berada di teras. Matanya
Pov Putri"Terimakasih kamu sudah mau membantu Ibuku, Ran. Tanpa kamu, entah apa yang akan terjadi pada kedua orang tuaku," ucapku tulus pada Rani. Kami hanya duduk di ruang tamu berdua. Dari tadi Ibunya Rani, belum kelihatan. Mungkin sedang pergi.Setelah selesai maghrib, aku datang berkunjung ke rumah teman yang kuakui tidak terlalu akrab. Ya, kami memang agak sedikit jauh karena aku jarang di kampung, serta sibuk dengan urusanku sendiri. Sebelum menikah, aku hanya berteman dekat dengan yang satu sekolah serta satu profesi denganku.Bukannya sombong. Tapi, memang begitu lah aku dulu, yang tidak terlalu pandai bergaul.Hari ini, sesuai dengan rencanaku. Karena masih rindu pada Ayah dan Ibu, aku tidak masuk kerja. Tadi sekitar jam 5, aku sudah memberi tahu Rosita untuk meminta izin pada atasan kalau hari ini aku tidak masuk karena sedang ada keperluan, dan dia juga sudah menyampaikannya.Kalau urusan Bang Jali dan keluarganya, itu sih gampang. Yang mereka tau, aku pergi kerja. Dan tak
"Lagian, istrimu itu kemana sih? Udah siang gini kok belum pulang!" gerutu Ibu lagi.Mungkin mereka tak ada yang tau jika aku sudah pulang. Karena suara sepeda motorku tak terdengar. Ternyata, dibalik musibah ada berkah. Berkat mendorong motor, aku jadi bisa mencuri dengar obrolan mereka. Untung Ayah mertua juga tidak ada. Jadi aku leluasa menguping pembicaraan Ibu dan anak ini. Kalau adik ipar, aku yakin dia masih tidur pulas di kamarnya."Ya, dia kan kerja, Bu. Biar aja lah. Makin lama dia pulang, makin banyak pula uang lemburnya," ucap Bang Jali santai. Hanya uang saja yang ada di dalam ot*knya. Tidak kah dia khawatir jika aku pulang terlambat? Bisa saja kan, aku kenapa-napa di jalan.Ah, mana mungkin dia khawatir denganku. Karena baginya, aku tidak berarti apa-apa. Dia hanya butuh tenagaku dan uangku saja."Iya. Tapi Ibu capek, loh. Setidaknya, dia bisa bantu-bantu Ibu mengerjakan rumah, meskipun hanya sedikit. Jangan semuanya hanya Ibu yang ngerjain sendiri. Capek tau!" omel Ibu
Pov Rani"Kalau sudah mantan, sebaiknya jangan ikut campur atau mengurusi urusanku dong!" celetuk Bang Jali.Entah takdir atau apa, kami bertemu di lapangan bola kaki. Hari ini, ada pertandingan sepak bola yang diadakan di desaku. Banyak para warga yang ikut menyaksikan pertandingan, termasuk warga desa tetangga. Tak heran jika lelaki yang selalu kuhindari juga ada di sini.Gayanya yang songong, membuatku muak jika harus bertemu. "Apaan sih!" ucapku sambil berjalan menjauhinya. Malas, berbicara dengannya. Karena ujung-ujungnya pasti akan panjang. Jika masih bisa dihindari, maka akan aku hindari."Hey, jangan kabur, Kamu!" teriaknya, mengikuti langkahku.Aku tak menghiraukan teriakannya dan tetap terus berjalan ke arah parkiran. "Hey, tunggu!" serunya, lalu menghadang langkahku. Mungkin dia berlari, karena saat ini lelaki menyebalkan ini sudah berada tepat di depanku."Kalau ada orang ngomong, jangan main tinggal aja dong! Nggak sopan banget jadi orang!" gerutunya, tak lupa berkaca
Aku tidak boleh begitu saja percaya dengan ucapannya. Bisa saja dia hanya ingin merusak hubungan kami. Jika saling mencintai, tidak mungkin Bang Juna berani melamar gadis lain. Apalagi dengan pemberian yang lumayan banyak. Aku harus menenangkan hati. Meskipun sedikit terusik dengan pengakuannya. Nanti, aku akan cari tau sendiri soal hubungan mereka. Aku juga bisa bertanya langsung dengan calon suamiku atau ibu mertua.Kalau memang pada kenyataannya mereka saling mencintai, aku akan dengan ikhlas melepaskan pertunangan ini. Daripada akan menjadi duri nantinya di dalam rumah tangga kami."Oh, Mbak. Kalau memang kalian saling mencintai dan saling menunggu, Bang Juna tidak akan mungkin berani untuk melamar gadis lain. Dia pasti akan menunggu sampai kamu kembali. Tapi nyatanya, sekarang saya sudah bertunangan dengan Bang Juna. Berarti dia tidak akan kembali dengan, Kamu, karena sudah melilih saya sebagai pasangan hidupnya." Aku mencoba berbicara dengan tenang. "Kamu jangan senang dulu, k
Pagi hari, saat aku menghidupkan ponsel kembali. Tak ada satu pun pesan masuk dari Bang Juna. Sepertinya dia memang benar-benar lupa padaku, karena kehadiran Mimi. Apa aku perlu datang ke rumahnya dan meminta penjelasan padanya? Tapi, aku malu jika sampai jadi omongan orang karena mendatangi rumah laki-laki. Ya, walaupun lelaki itu adalah calon suami sendiri.Hari ini, rencananya aku dan Ibu akan pergi untuk menjahitkan baju pengantin. Kain bakal sudah kami beli, beberapa hari yang lalu. Warna kuning keemasan, sengaja aku pilih agar terlihat hidup di kulitku. Tapi, sekarang aku menjadi ragu karena sikap Bang Juna yang kurang peduli padaku. Padahal pernikahan kami akan dilaksanakan dua minggu lagi. "Nduk, cepetan! Katanya mau jahitkan baju!" teriak ibu sambil mengetuk pintu kamar."Iya, Bu," sahutku lesu. Apa masih perlu aku jahitkan baju. Bagaimana kalau sampai pernikahan kami batal? Ah, entah lah. Daripada Ibu curiga dengan perubahan sikapku. Lebih baik aku tetap pergi menjahitka