Aku tidak boleh begitu saja percaya dengan ucapannya. Bisa saja dia hanya ingin merusak hubungan kami. Jika saling mencintai, tidak mungkin Bang Juna berani melamar gadis lain. Apalagi dengan pemberian yang lumayan banyak. Aku harus menenangkan hati. Meskipun sedikit terusik dengan pengakuannya. Nanti, aku akan cari tau sendiri soal hubungan mereka. Aku juga bisa bertanya langsung dengan calon suamiku atau ibu mertua.Kalau memang pada kenyataannya mereka saling mencintai, aku akan dengan ikhlas melepaskan pertunangan ini. Daripada akan menjadi duri nantinya di dalam rumah tangga kami."Oh, Mbak. Kalau memang kalian saling mencintai dan saling menunggu, Bang Juna tidak akan mungkin berani untuk melamar gadis lain. Dia pasti akan menunggu sampai kamu kembali. Tapi nyatanya, sekarang saya sudah bertunangan dengan Bang Juna. Berarti dia tidak akan kembali dengan, Kamu, karena sudah melilih saya sebagai pasangan hidupnya." Aku mencoba berbicara dengan tenang. "Kamu jangan senang dulu, k
Pagi hari, saat aku menghidupkan ponsel kembali. Tak ada satu pun pesan masuk dari Bang Juna. Sepertinya dia memang benar-benar lupa padaku, karena kehadiran Mimi. Apa aku perlu datang ke rumahnya dan meminta penjelasan padanya? Tapi, aku malu jika sampai jadi omongan orang karena mendatangi rumah laki-laki. Ya, walaupun lelaki itu adalah calon suami sendiri.Hari ini, rencananya aku dan Ibu akan pergi untuk menjahitkan baju pengantin. Kain bakal sudah kami beli, beberapa hari yang lalu. Warna kuning keemasan, sengaja aku pilih agar terlihat hidup di kulitku. Tapi, sekarang aku menjadi ragu karena sikap Bang Juna yang kurang peduli padaku. Padahal pernikahan kami akan dilaksanakan dua minggu lagi. "Nduk, cepetan! Katanya mau jahitkan baju!" teriak ibu sambil mengetuk pintu kamar."Iya, Bu," sahutku lesu. Apa masih perlu aku jahitkan baju. Bagaimana kalau sampai pernikahan kami batal? Ah, entah lah. Daripada Ibu curiga dengan perubahan sikapku. Lebih baik aku tetap pergi menjahitka
"Ya, udah. Kalau gitu, Ibu aja yang nemenin Bang Juna. Rani lagi malas, Bu!" ucapku masih tetap pada posisi tiduran di kasur."Kok gitu? Apa kalian lagi ada masalah?" tanya Ibu, mulai memelankan suaranya. Mungkin Ia curiga karena Aku tak mau menemui calon menantunya.Aku mendekat ke arah pintu, tapi tetap tidak membukakannya. "Nggak ada masalah, Bu. Rani lagi males aja ketemu Bang Juna," jawabku, tepat dari balik pintu. "Hemmmm, kamu itu udah dewasa, Nduk. Kalau ada masalah, ya diselesaikan. Jangan kayak begini, nggak mau ketemu. Kalau begini terus, gimana masalahnya mau selesai, sedangkan kamu aja nggak mau nemui dia." Ibu mulai menasehati."Kami nggak ada masalah kok, Bu," elakku, berbohong."Jangan bohong! Ibu ini tau kamu bukan hanya baru kali ini. Dari di dalam kandungan, ibu udah tau gimana kamu. Kalau nggak lagi ada masalah, mana mungkin wajahmu itu, seperti orang menanggung beban berat kehidupan. Pakek acara ngurung diri di kamar, lagi. Udah lah, keluar sebentar. Cepat di se
"Ya, ampun, Dek. Demi Allah, Abang nggak ada hubungan apapun sama Turmi. Dulu memang abang suka sama dia. Itu pun jauh sebelum mengenal, Adek. Kira-kira 4 tahun yang lalu," ucap Bang Juna meyakinkanku.Nggak ada hubungan, tapi jalan berdua, mana pake acara boncengan mepet banget lagi. Padahal tempat duduk sepeda motor masih bersisa di belakang Si Turmi, bahkan masih bisa kalau untuk duduk satu orang lagi. Entah si perempuan yang kegatelan, atau Bang Juna yang keenakan, ditempel-tempel."Dulu, dan sampai sekarang masih suka kan?" tanyaku sinis. "Enggak lah, udah ada Dek Rani, untuk apa Abang masih suka sama dia!" jawabnya tersenyum. "Halah gombal! Dia sendiri yang bilang sama aku, kalau Abang sangat mencintai dia. Abang juga bersumpah, kalau suatu saat nanti dia kembali dan kalian belum menikah, maka Abang akan menikahinya," ucapku, mengatakan apa yang diucapkan oleh Turmi kemarin. Bang Juna melotot kaget. Seperti tak. percaya dengan ucapanku."Kapan dia ngomong gitu?" tanyanya. "
"Abang nggak gitu, Dek. Lebih suka lihat wanita yang tertutup saat berada di luar. Agar para lelaki bisa menjaga pandangannya, dan wanita itu sendiri terhindar dari bahaya," ujarnya kembali meyakinkanku. "Iya lah itu!""Kok iya-nya kayak terpaksa gitu, Dek.""Ya jelas lah. Gimana nggak terpaksa. Tadi aja kalian jalan berdua. Pake acara boncengan sambil mepet-mepet lagi! Kalau memang nggak suka sama wanita berpakaian sexy, seharusnya Abang nggak jalan sama dia dong!" ucapku kesal.Masih teringat jelas dalam ingatan, bagaimana mereka berdua berboncengan dengan begitu mesranya."Oh, jadi karena itu, Adek nggak mau berhenti saat Abang panggil tadi?" tanyanya sambil senyum-senyum.Pasti dia berpikir kalau aku sedang cemburu. Padahal memang iya, eh! "Entah! Pikir aja sendiri!" Aku membuang muka. Takut kalau dia tau wajahku sudah memerah karena ketahuan cemburu."Baiklah, Abang akan cerita awal mula kami sampai berboncengan berdua. Tadi pagi, Ibu minta belikan daging, sayur, dan bumbu dapu
"Udah selesai kan, masalahnya?" tanya Ibu yang baru saja pulang dari warung Bude Juni. Bang Juna juga sudah berpamitan pulang dari tadi, karena tak enak jika dilihat orang kami hanya berdua di rumah. Takutnya menjadi Fitnah.Setelah penjelasan panjangnya tadi, aku sudah sedikit legah. Ya, meskipun belum plong sepenuhnya. Masih ada yang mengganjal di hati, kalau belum tau maksud dan tujuan Turmi berkata begitu padaku."Kan, udah Rani bilang, nggak ada masalah, Bu," kilahku. "Halah, jangan bohongi Ibu. Tanpa kamu bilang, Ibu tau kalau kalian lagi ada masalah. Tapi kayaknya, sekarang udah selesai sih. Karena wajahmu, udah nggak tertekan kayak tadi pagi," ucap Ibu seraya tersenyum. Memang, yang namanya seorang Ibu, selalu saja tahu dengan yang sedang dialami oleh anaknya, tanpa diberi tahu. Mungkin begitulah ikatan batin antara Ibu dan anak."Kalau udah tau, ngapain tanya lagi, Bu." Aku menggaruk kepala yang tak gatal. "Untuk memastikan aja. Ya, udah Ibu mau mandi dulu. Kamu sapu ruma
"Iya, memang betul itu. Kemarin aku dengar, Si Turmi mulai mepet Si Juna. Padahal dulu nolak mentah-mentah," ucap salah seorang ibu menggebu. Mendengar nama Bang Juna dan Turmi disebut, aku langsung menajamkan mata dan indra pendengaran. Apa dari tadi yang mereka bicarakan adalah Turmi?Jadi, bukan rahasia umum lagi kalau Turmi mendekati calon suamiku? Ternyata ucapan Bang Juna kemarin, benar. "Bukan cuma Turmi aja yang mepet Juna, tapi Bapaknya juga sama. Sekarang, Si Sutris, jadi sering datang ke rumah Juna, kadang juga ke kebun." Ibu berpakaian Pink, bertubuh langsing itu berbicara dengan semangat. Orang tua Turmi juga mendekati Bang Juna? Ada apa sebenarnya ini. Kenapa di saat pernikahanku sudah semakin dekat, ada saja cobaannya. Orang di masa lalu Bang Juna kembali datang. "Ih, kok bisa gitu ya?" tanya Ibu berbaju putih. "Ya itu semua, karena Sutris sudah tau kalau Juna punya banyak kebun. Kan waktu ngelamar di kampung sebelah, banyak yang bilang kalau calon Si Juna dikasih
"Eh, tunggu dulu. Ada yang ketinggalan," ucap Sinta seraya berjalan kembali ke dalam rumah. "Cepat ya! Keburu kering, nih!" teriakku kesal. Entah apa lagi yang ketinggalan. Ada saja kelakuannya kalau mau pergi. Padahal dari tadi udah ditungguin. Tapi masih aja ada yang kurang. Sambil menunggu, aku sedikit mendorong sepeda motor ke jalan. Agar lebih mudah saat akan melajukannya nanti. "Besar juga nyalimu datang ke kampungku. Pasti ingin tahu siapa aku kan?" tanya Turmi sinis. Ia sudah berdiri di samping sepeda motor yang dikendarainya, dengan pakaian seperti yang Ibu-ibu tadi katakan, serba mini. Kenapa harus bertemu dia lagi, sih!Saat mendorong sepeda motor, memang aku melihat ada sepeda motor dari arah depan mendekat. Tapi tak kusangka jika itu adalah Turmi. Wanita jelmaan ulat bulu. Apa lagi yang akan diperbuat olehnya. "Nggak penting banget aku tahu siapa kamu. Aku ke sini juga bukan untuk mencari tahu tentangmu. Jadi jangan kepedean jadi orang!" jawabku ketus. Aku memang pe