"Loh, Bu … itu kayak mobil Bapak, ya? Kenapa Bapak kok cuma parkir di luar dan nggak minta masuk?" Bik Siti mengintip dari balik gorden dan menunjuk ke arah luar. Ucapan Bik Siti membuat kening Marisa mengernyit. Sambil berjalan mendekati asisten rumah tangganya, dia membatin, "Ternyata telinga Bik Siti juga menangkap derum mobil Mas Irawan. Berarti aku tadi tidak berhalusinasi mendengar suara fortuner Mas Irawan. Buktinya Bik Siti bahkan melihat mobil mantan suami majikannya itu terparkir di luar rumah." "Bapak bikin saya ingat cerita yang ada di film-film detektif. Biasanya di film itu ada mobil parkir di luar rumah …. terus orang-orang di dalam mobil memata-matai penghuni rumah." Bik Siti terkekeh selesai dia berbicara. "Loh, Bu Marisa mau kemana?" tanya Bik Siti. Dia keheranan melihat majikannya bergegas melintasi ruang tamu dan berjalan melewatinya. "Mau lihat apa benar mobil Mas Irawan ada di depan, Bik.""Apa mau diajak masuk, Bu?""Ya enggak lah, Bik. Cuma heran aja
"Maksud ibu rencana kamu lainnya. Masa iddahmu kan sudah selesai. Apa kamu nggak kepikiran untuk mencari pengganti Irawan?" Bu Rahmi menatap wajah Marisa. Marisa terdiam. Matanya memang masih menatap deretan bunga di depannya. Namun, angan perempuan itu sudah melintasi jajaran aneka tanaman yang ada di taman rumah ibunya. "Kok kamu diam saja. Ibu tanya serius loh ini." Bu Rahmi menepuk pelan lengan putri pertamanya yang duduk di sebelahnya. Sang putri menoleh sebentar sambil menarik sedikit bibirnya membentuk senyum sedih. "Risa masih berpikir, Bu. Terus terang saja pertanyaan Ibu itu sama sekali tidak pernah terlintas di benak Risa." "Kenapa? Apa kamu nggak pengen menikah lagi?" "Kalau ibu tanya sekarang jawaban risa sudah pasti tidak … Risa tidak ingin nikah lagi. Entah kalau beberapa tahun lagi ibu baru bertanya. Karena hati bisa berubah. Takdir Allah nantinya juga risa tidak tahu. Hanya saja untuk sekarang ini hati risa masih belum pulih, Bu." Marisa menarik napas dan menghe
"Sebenarnya ada hal penting yang ingin aku sampaikan, Ris. Sudah lama aku menunda dan hanya menyimpannya dalam hati. Kali ini aku tidak mau mengulur waktu lagi." Sandhy menatap Marisa. Gestur tubuhnya tampak aneh. Matanya menatap tajam penuh tekad, tetapi berulang kali dia menggosokkan tangannya ke celana. Orang yang mengamatinya pasti akan tahu bahwa Sandhy sedang gugup. Marisa menelengkan kepala ke arah kiri tempat Sandhy duduk di sofa tunggal. Dia menyipitkan mata mendengar ucapan kakak kelasnya dulu itu. "Hal penting apa, Mas? Kamu membuatku penasaran saja." "Ehm … begini Marisa. Mungkin bagi kamu apa yang akan aku katakan itu terkesan tiba-tiba. Namun, bagiku tidak. Sudah lama aku memendamnya dan menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Akhirnya momen yang aku tunggu datang juga. Sepertinya sekarang saat yang tepat untuk mengatakannya." "Ada apa, sih, Mas. Kamu membuatku tambah bingung aja." Marisa berkata dengan nada kesal."Percayalah … aku juga bingung bagaimana c
"Baiklah kalau begitu, Risa. Aku akan berusaha meraih hatimu dengan cara lain." Setelah menyatakan tekadnya Sandhy meninggalkan rumah Marisa. Meski sudah berbicara setegas dan seyakin mungkin, tetapi bahu yang turun dan langkah lunglainya sudah menandakan Sandhy pasrah dengan keputusan perempuan yang disukainya itu. Marisa menatap punggung Sandhy yang menjauh dengan sedih. Dia tidak bermaksud menyakiti hati orang yang pernah dekat dengannya sebagai sahabat itu. Namun, hatinya tidak bisa berbohong. Selain belum ingin menikah lagi, Sandhy bukanlah pasangan hidup yang akan dicarinya kelak. Karena andai nanti menyempurnakan agamanya dengan menikah, Marisa ingin mencari sosok lelaki yang bisa membimbingnya menuju Surga Allah. Meski sempat tidak bisa tidur karena memikirkan banyak hal, tetapi setelah membaca doa memohon ketenangan akhirnya Marisa berhasil terlelap juga. Dia terbangun pukul empat pagi dan segera membersihkan diri. Rutinitas harian Marisa di pagi hari setelah menunaikan i
"Siapa dia? Sepertinya aku belum pernah melihatnya dalam pertemuan keluarga." Batin Marisa sambil melangkah memasuki ruang tamu. Bude Chusnul tersenyum lebar ketika melihat Marisa dan berkata dengan gembira, "Nah ini Marisa sudah datang." Marisa menjadi canggung ketika semua pasang mata di ruang tamu rumah Bude Chusnul menatapnya. Dengan ragu-ragu dia melangkah mendekati budenya dan meraih tangannya untuk dicium. Marisa melakukan hal yang sama kepada pakdenya. Kakak dari ayahnya itu mengelus puncak hijab Marisa ketika dia menunduk untuk mencium tangan pakdenya. "Apa kabar Bude, Pakde. Maaf Risa baru sempat berkunjung," ucap Marisa lalu tersenyum rikuh. "Iya, gak apa-apa. Kami paham kok dengan kesibukan kamu. Iya, kan, Bu?" sahut Pakde Hari sambil melirik Bude Chusnul yang segera membalas dengan mengangguk. "Nggak apa-apa, Nduk ayu. Bude ngerti kok kalau kemarin-kemarin kamu masih repot. Cuma hari ini bude kok kangen banget sama kamu. Makanya bude minta ibumu untuk ke sini dengan
"Ada apa ini? Kenapa kalian berduaan saja di ruangan ini? Marisa tolong kamu jelaskan siapa lelaki ini? Dan apa yang kalian lakukan di rumahku?" Suara menggelegar yang dilontarkan oleh sosok lelaki tinggi dan kekar membuat terkejut kedua orang yang duduk di ruang tamu. Mata Marisa terbeliak menatap lelaki yang langkah lebarnya segera membuat dia berdiri menjulang di depan Marisa. "Ma-mas Rian kamu membuatku kaget. Kenapa, sih, kamu itu suka sekali berteriak? Bikin orang jantungan aja. Biasa aja dong nadanya kalau ngomong."Rian melotot mendengar omelan Marisa. Dia menjadi semakin kesal melihat tegurannya tadi tidak ditanggapi oleh sepupunya dan lelaki yang tidak dikenalnya itu. "Kamu jangan mengalihkan pembicaraan, Ris. Mas tanya ngapain kamu di sini? Dan mengapa kamu berduaan dengan lelaki asing ini." "Aku nggak mengalihkan pembicaraan, Mas. Aku cuma nggak suka dengan caramu yang datang-datang marah. Oke aku akan jelaskan, tapi kamu duduk dulu. Capek leherku kalau harus tengadah te
"Entahlah, Bu. Sebenarnya Risa juga ingin segera move on dari masa lalu yang menyedihkan. Tapi rasanya masih sulit. Lubang di dada Risa masih cukup besar dan dalam. Jadi, tidak mudah untuk ditutup kembali." Marisa menelungkupkan wajah di kemudi mobil. Posisi kendaraan yang tengah berada dalam antrian lampu merah membuat Marisa leluasa untuk sedikit meratapi nasib. Bu Rahmi menatap anaknya yang sedang bersedih di sebelahnya. Tangannya terulur dan sedikit merangkul pundak Marisa. Dengan gerakan perlahan dia mengelus bahu putri sulungnya itu dan berkata, "Lampunya sebentar lagi hijau, loh. Kamu harus siap-siap jalanin mobil biar tidak diklakson terus dari belakang." Melihat putrinya belum mengangkat wajah, Bu Rahmi kembali melanjutkan, "Atau kamu butuh waktu? Setelah dari lampu merah ini kita menepi dulu, ya di depan. Kita cari taman atau cafe dan ngobrol-ngobrol sebentar." Marisa mengangkat kepalanya yang tadi menelungkup di kemudi mobil. Dia menoleh ke kiri dan memandang ibunya, kem
"Loh … dia? Apakah dia adalah Om-nya Amanda?" Mata marisa terbeliak ketika melihat orang yang turun dari mobil itu. Dia mengamati gerak gerik lelaki yang tampak gagah dengan kemeja biru muda yang lengannya digulung di siku. Tak berbeda dengan Marisa, sosok yang baru turun dari mobil itu juga tampak terkejut ketika melihat perempuan yang berdiri tak jauh dari keponakannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk menghampiri perempuan itu. "Loh, Bu Marisa kok ada di sini?" "Assalamualaikum, Dokter Harun. Apa kabar?" Marisa memberikan salam tanpa menjawab pertanyaan sang dokter. Wajah Dokter Harun memerah. Dia tampak salah tingkah karena terlalu terburu-buru sehingga dia lupa memberikan salam. Padahal selama ini dia tidak pernah melupakan adab itu ketika bertemu dengan seorang muslim atau muslimah. "Waalaikumsalam … alhamdulilah baik. Semoga Bu Marisa juga baik-baik saja." "Aamiin." Marisa menyahut pelan karena tiba-tiba saja dia menjadi grogi berdiri di dekat Dokter Harun. Padahal d