"Kok, mendadak sekali, Va. Kamu tidak sedang isi, kan?"Tuh, kan. Gara-gara Bang Ayas dan kedua orang tuanya mendesak nikah secepatnya, pikiran Ibu jadi ke mana-mana. Aku sampai kehabisan kata-kata untuk meyakinkan agar Ibu percaya bahwa anak gadisnya masih perawan. Lagi pula, mana berani sih aku macam-macam? Lupakan. Tolong lupakan insiden di apartemen Bang Ayas. Itu semua di luar skenario hidupku. Oke? Anggap saja kehadiran Bang Ezra waktu itu sebagai malaikat penyelamat karena aku dan Bang Ayas tidak sampai bablas. "Jadi, kamu mau, Va?" tanya Ibu lagi dari sambungan telepon. "Bu …." Aku mengerang sambil menyugar rambut sendiri yang seperti rambut singa. "Resva mau fokus sama skripsi dulu."Ibu memang tidak pernah mendesakku untuk lulus tepat waktu. Namun, sebagai anak, aku harus tahu diri agar tidak terlalu lama menjadi beban. Aku harus selesai kuliah tahun ini dan punya penghasilan sendiri. Lagi pula, ada alasan penting mengapa aku tidak serta merta mengiyakan ajakan Bang Aya
"Aku suka sama kamu, tapi aku nggak mungkin rebut kamu dari Bang Ayas. Aku nggak mau dia patah hati lagi.""Kamu satu-satunya cewek yang bisa bikin Bang Ayas move on, Va.""Aku ke London buat lupain kamu.""Dan Liana cuma pelarian, biar Bang Ayas percaya kalo aku udah lupain kamu."Kalimat-kalimat itu berputar di kepala. Berdengung di telinga. Berulang-ulang serupa playlist yang otomatis berulang sepanjang malam. Sungguh. Ini sulit di percaya. Bang Ezra menyukaiku? Tidak mungkin. Dan yang lebih mustahil lagi adalah ketika dia mengatakan bahwa Bang Ayas lebih dulu mencintaiku. Kapan? Kami kenal saja baru hitungan bulan, jauh setelah Bang Ezra pergi ke London dan jadian sama Liana. Gila! Aku yakin saat ini sedang menghadapi kakak beradik yang gila, yang tak bisa kumengerti apa kemauannya, apa maksud di balik semua kebaikannya kepadaku. Bang Ezra baik. Sangat baik. Di mataku, dia adalah sosok kakak yang menyenangkan. Sering tiba-tiba mengajak nonton, membelikan buku, atau sekadar mene
Kamar dekat tangga dijadikan tempat MUA yang cukup ternama untuk menyulap aku, Acha, dan Tante Fatma. Aku menjadi orang terakhir yang mendapat giliran karena tadi sempat terjebak kemacetan. Acha dan Tante Fatma sudah rapi, mereka pamit ke lantai atas. Mungkin akan berdiskusi sebelum berangkat ke hotel di mana acara pertunangan digelar. MUA yang menanganiku tinggal memberikan sentuhan terakhir ketika tiba-tiba Bang Ayas menyelonong masuk karena pintu sengaja tidak ditutup. Dia berdiri di sampingku, tapi justru melihat ke cermin. Mungkin pantulan wajahku lebih cantik ketimbang aslinya. "Ini nggak bisa ditutup pakai kain atau apa gitu, Mbak?" tanya Bang Ayas. Aku menatap ke cermin, memperhatikan Bang Ayas yang sedang menunjuk bahuku yang terbuka. "Emang modelnya begini, Mas. Jadi aneh kalo dipakein kain," jawab MUA dengan ramah. Bang Ayas menggerutu seakan tidak setuju denan kebaya seragam keluarga. Punyaku dan Acha satu model. Sama-sama berlengan pendek dengan bagian bahu terbuka.
"Saya minta maaf. Saya salah, Resva." Telingaku sampai pengang mendengar kalimat itu diucapkan berulang-ulang dalam perjalanan pulang. Aku terlalu enggan untuk menanggapinya karena jujur saja, seluruh tubuhku gemetaran setelah menampar Bang Ayas. Antara dirundung sesal dan juga amarah yang membuncah. Katakanlah, aku bukan cewek yang pandai menjaga batasan. Tapi sungguh baru kali ini aku merasa sangat direndahkan, dilecehkan karena disentuh tanpa kemauan. Dan yang paling menyakitkan adalah Bang Ayas menjadikan aku pelarian atas hasratnya kepada Diandra yang tak tersalurkan. Mataku masih memburam, terhalang air mata yang terus keluar meski sudah kutahan mati-matian. Namun, aku masih bisa melihat rute mana yang barusan Bang Ayas ambil. Dia menjauh dari jalur menuju kos-kosan. "Kita pulang ke apartemen." Apa katanya? Ke apartemen? Lalu di sana dia akan melanjutkan kebejatannya? "Kita nggak bisa bicara kayak gini."Aku tertawa di antara isak yang tak kunjung reda. Sembari menatap pan
Selama dua puluh dua tahun hidup di dunia, tak pernah sekali pun terlintas di benakku untuk menjadi perantara karma. Alih-alih puas, aku malah dirundung penyesalan tak terkira. Waktu melihat wajah Bang Ezra lebam-lebam, aku tidak terlalu kasihan karena bagaimanapun juga, Bang Ezra salah karena semua murni atas kesalahpahamannya dengan Bang Ayas. Lain dengan sekarang, melihat leher dan punggung tangan Bang Ayas penuh cakaran saja membuat aku miris. Masalahnya itu semua adalah perbuatanku. Ya Allah, Resva. Sejak kapan kamu punya bakat menyiksa anak orang? Kalau Tante Fatma sampai tahu, pasti beliau langaung mencabut restu yang sudah diberikan. Tidak hanya itu saja, lengan Bang Ayas pun lebam-lebam karena ternyata aku mencubit serta memukul sangat keras. Asli sumpah, khilaf! "Sakit banget?" tanyaku sembari menatap Bang Ayas dengan ngeri. Laki-laki itu menggeleng sembari tersenyum. "Nggak, kok."Aku meminta dia mengulurkan kedua tangannya yang berada di kemudi. Punggung tangan kiri
Aku menggigiti kuku sembari mendengarkan nada sambung karena panggilan tak kunjung terhubung. Aku mondar-mandir di kamar, sesekali berhenti di dekat jendela, dan masih mencoba menghubungi Acha untuk kesekian kalinya. Angkat dong, Cha …."Lo tau kan kalo cewek sama cowok di dalam satu kamar bakal ngapain?"Ucapan Tio sukses membuat otakku tidak bisa berpikir dengan jernih. Acha sedang apa sama Agam? Oke, oke! Aku sama Bang Ayas pun bukan pasangan yang anti skinship, tapi kami tidak pernah sejauh itu. Apalagi sampai check in hotel segala! Gila. Gila sekali kalau Acha sampai berbuat yang iya-iya sama cowok berengsek seperti Agam. Pemuda sialan itu kan suka gonta-ganti pasangan! Bagaimana kalau nanti menularkan penyakit kelamin ke Acha dan … nggak! Semua ini nggak boleh terjadi! Aku bergegas ke arah pintu dengan ponsel masih kutempelkan ke telinga. Ketika baru hendak meraih handle pintu, tiba-tiba panggilan terhubung. "Halo, Cha? Kamu di mana?" Jantungku berdetak sangat kencang, bersi
"Bang Ayas nggak pernah makan apa gimana, sih? Kurusan," kataku. Setelah empat hari tidak bertatap muka secara langsung, aku akhirnya menyadari bahwa tulang pipi Bang Ayas terlihat lebih menonjol. Kumis yang biasanya dicukur hingga habis, kini tampak dibiarkan tumbuh meski masih sangat tipis. "Nggak enak makan sendirian."Tuh, kan. Kolokan banget emang. Untung sayang! Jadi, dengan baik hati aku pun menyuapinya. Bukan. Bukan karena aku mau sok romantis-romantisan, tapi dikarenakan Bang Ayas sibuk membalas pesan temannya untuk membahas perencanaan buka distro di Jakarta. Entah ada masalah apa hingga dia sampai sehectic ini. "Ada masalah, ya?" tanyaku yang kemudian dijawab dengan gelengan. "Cuma sedikit. Makanya habis ini saya harus ikut survei tempatnya. Nggak apa-apa kan kalau nanti pulang sendiri?"Aku mengangguk. Aku hafal betul rute jalan pulang dari kampus ke kos-kosan. Jadi bisa dipastikan seratus persen kalau aku tidak akan tersesat. Sebenarnya, Bang Ayas sudah menawari aku u
Berselimut bentangan langit malam, aku menggigil di antara kerlip gemintang. Gedung-gedung pencakar langit menjulang dengan angkuh, seolah memproklamirkan sebagai bangunan paling kukuh, mengejek manusia sepertiku yang teramat rapuh. Di bawah sana, kendaraan berlalu-lalang, berlomba menjemput pagi yang masih terjebak dalam kelam. Dan aku, di sini, terperangkap dalam letih dan detak jantung yang berangsur memelan. Aku masih ingin berlari sejauh mungkin. Menghilang bersama kata yang terus terngiang-ngiang di telinga. Jual diri. Jual diri. Jual diri! Sayangnya, aku kesulitan menggerakkan kaki yang tiba-tiba terasa sangat kaku. Entah karena telah berlari ratusan meter, atau lantaran terkilir sewaktu menghindari mobil. Tidak hanya itu, aku juga kesulitan bernapas ketika merasakan permukaan kulit seperti ditusuk jutaan jarum yang ujungnya membawa geligis ke seluruh tubuh. Ngilu hingga ke tulang dan gigi. Aku menaruh kepalan tangan di depan mulut sembari mengembuskan napas sekadar mencar