Seperti itu kalimat yang tiba-tiba melintas di kepalaku. Semacam ada perintah dari kata hati, lamar ia!Saat kembali ke kamar, kusimpan foto Berlian yang barusan membuatku panik tak karuan ke dalam dompet. Sekiranya tadi benar-benar hilang, maka bisa dipastikan rasa sakitku akan bertambah. Untunglah ada ayahnya dengan sigap mengamankan benda berhargaku itu.Kumandang azan Isya sudah terdengar, pantas saja ayah Berlian lebih dulu beranjak, mau tunaikan kewajiban di masjid. Aku? Berhubung tergolong musafir, jadi salat Maghrib dan Isya digabung menjadi satu.Aku memilih untuk tidur lebih awal sesuai nasehat ayah Berlian, biar tidak terlambat besok pagi. Sejak jadwalku di rumah sakit terus bertambah beberapa tahun belakangan, porsi tidur memang sedikit terganggu. Terkadang sedang nyenyak, ada panggilan darurat dan tidak bisa menolak. Sekarang, aku akan menikmati tidur dengan suara deburan ombak yang terkadang memecah hening, kadang juga mengajak terlelap.Sudah tiga puluh menit berlalu, t
Berlian menutup pintu setelah mengucap salam. Aku merasa terbang ke awan, tak peduli badai, guntur, petir yang menyambar mendengar ucapan terima kasihnya barusan. Ia bilang terima kasih karena sudah mengkhawatirkan dirinya. Duh, Berlian, andaikan kamu tahu 24 jam aku memikirkanmu selama bertahun-tahun, hanya saja aku pandai menutupinya sebab tak ingin merusak persahabatan kita. Tetapi, kali ini aku tidak akan melakukannya, akan kuutarakan seluruh rasaku padamu di saat yang benar-benar tepat. Hari ini. Titik.Aku kembali ke kamar, membilas badan yang sempat diguyur hujan lantas mengganti pakaian. Untunglah Bu Siah sigap memasukkan dua stelan baju dan celana ke dalam tas ransel yang kubawa. Kalau tidak, entah dengan apa aku berganti pakaian.Deras hujan di luar mulai berkurang, lalu sayup-sayup terdengar suara murottal dari arah masjid, itu tandanya waktu adzan subuh sebentar lagi akan berkumandang. Aku bersiap-siap, jarak masjid dan penginapan hanya beberapa meter saja, bisa berjalan
Berlian spontan terbatuk dengan kencang. "Jangan bercanda kamu, Syim. Ini masih pagi buta.""Siapa yang bercanda?""Tentu saja kamu.""Aku tidak bercanda. Ini serius.""Syim, aku tahu kapan kamu serius dan kapan bercanda. Kita udah bersahabat sejak lama.""Ini serius, Lian." Aku menekan kalimat agar Berlian tidak menganggap aku sedang bercanda."Dokter Hasyim, tanah kuburan suamiku bahkan belum kering, orang yang melayat pun terkadang masih ada, masa iddahku juga masih lama, puteraku pun sudah remaja, mengapa senekat ini ingin menjadikanku istri?""Memangnya kenapa? Aku hanya ingin menyampaikannya sekarang, soal akad nikah, ya tentu saja setelah masa iddahmu selesai.""Ya, aku paham. Namun, bukan itu. Apa yang kamu harapkan dari perempuan yang sudah tidak muda lagi sepertiku?""Aku butuh istri, partner hidup, dan anak-anak yang kelak bisa mendoakan.""Berarti aku bukan orang yang tepat.""Tidak tepat bagaimana?""Usia kita sama, Syim. Untuk standar perempuan sepertiku sebentar lagi me
"Maaf, ya, Syim. Aku gak bisa ngantar.""Gak apa-apa. Dermaganya deket aja, kok.""Hati-hati di jalan, Nak Hasyim.""Iya, Pak."Aku menjabat tangan Pak Makkatutu dan hanya menangkap kedua tangan kepada Berlian. Sungguh, kunjungan pertama kali yang luar biasa membuatku seperti manusia baru dengan cita-cita dan semangat yang baru pula.Setelah kembali ke penginapan, aku berkemas dan langsung berangkat menuju dermaga. Ternyata ucapan Berlian benar, semua penumpang sudah mulai berdatangan, beberapa menit berikutnya, perahu dompeng dengan kapasitas 30 orang siap berangkat.Kuarahkan pandangan ke gerbang dermaga seiring dengan semakin menjauhnya laju kapal. Ada rindu dan cinta yang tertinggal di sana. Cinta untuk Berlian dan seluruh pesonanya. Entah mengapa, hatiku langsung syahdu. Perlahan dermaga itupun semakin mengecil dalam pandangan. Kurang dari satu jam, perahu merapat di pelabuhan. Aku bernapas lega karena tiba dengan selamat beserta penumpang lainnya. Segera aku memesan taksi onli
Bidan Nurul?"Ia mengangkat wajah, binar matanya redup. Kutarik kursi di dekatnya lalu segera duduk mengambil posisi yang berjarak sekitar dua meter."M-maaf, Dok, kalau lancang datang kemari," ucapnya sembari kembali menundukkan wajah. Aku tak langsung menyahut. Merasa kaget saja. Tengah malam begini didatangi perempuan seorang diri, pasti ada yang tidak beres."A-aku tidak tahu mau ke mana, yang kuanggap tempat paling aman menyembunyikan rasa malu, ya di sini, rumah Dokter Hasyim." Ia terisak lagi."Nurul, please. Ini ada apa?" Akhirnya aku pun bertanya, mendapati ia seorang diri dengan kondisi sedang tidak baik-baik saja membuatku cemas dan berpikiran macam-macam."A-aku batal menikah, Dok. Calon suamiku tersandung kasus lagi."Ya Tuhan. Miris sekali mendengarnya. Padahal ini penantian panjang. Aku bahkan sudah menyiapkan kado istimewa untuknya."Bukannya kasus kemarin sudah selesai?""Bukan yang itu. Ini kasus baru lagi. Dia kepergok sedang transaksi obat terlarang. Bukan kepergo
"Iya."Kulirik raut wajahnya yang kembali muram. Ia tak berkata apapun. Sebenarnya aku sungguh kasihan, tetapi permintaannya tak masuk akal. Mana ada pernikahan pura-pura. Nikah ya nikah saja. "Sudah kubilang, batalnya pernikahanmu itu sebagai bentuk pertolongan Allah, bayangkan seumpama pada saat akad nikah berlangsung lalu tiba-tiba datang aparat kepolisian menangkap suamimu. Malunya bisa dobel." Aku mencoba membesarkan hatinya. Ini bukan urusan mudah. Menanggung malu di hadapan keluarga besar, kerabat, dan tetangga sangatlah berat. Tetapi, sekali lagi. Bukankah ini cara Allah menunjukkan bahwa mereka tak berjodoh? Imani saja itu."Kalau begitu, boleh, kan aku menginap di sini?" "Pulanglah! Nanti aku order taksi online untukmu.""Malam ini saja, Dok!""Maaf. Kalau mau menginap nanti sekalian reservasi kamar hotel, kamu langsung ke sana saja. Matikan ponsel lalu tidur."Terdengar kurang empati sebenarnya, tetapi mau diapa, tak mungkin kukabulkan permintaannya untuk menginap di rum
Namaku Bulan Berlian. Kata ayah, nama ini hasil diskusi dengan ibu. Terlahir sebagai anak tunggal yang belum sempat merasakan hangatnya pelukan seorang ibu sebab beliau meninggal dunia sesaat setelah aku lahir ke dunia.Sejak ibu meninggal ayah memutuskan untuk tak menikah lagi. Alasannya ingin fokus membesarkan dan mendidikku saja. Ditambah lagi kecintaan kepada ibu yang tidak bisa tergantikan oleh sosok manapun. Ayah menduda sepanjang usianya, paling tidak hingga kini. Aku berulang kali meminta ayah menikah, tetapi beliau selalu mengalihkan pembicaraan. Aku paham, artinya ayah tak ingin membahas hal itu lagi.Aku dibesarkan penuh cinta dan kasih sayang. Saat remaja ayah selalu berpesan agar hati-hati dengan pergaulan terutama terhadap laki-laki. Akan tetapi, itu tidak berlaku untuk sahabatku Hasyim. Ia kawan yang sangat baik sehingga ayah memberi lampu hijau menjalin pertemanan dengannya. Hasyim anak yang sopan, cerdas, dan tidak gengsian.Pernah aku mendengar seseorang mengatakan j
Aku mengajaknya duduk di teras sambil mengobrol dan bercanda seperti sebelum-sebelumnya. Ia bercerita tentang pengalaman pertamanya duduk di bangku kuliah dan aku hanya bisa menyimak saja. Oh, iya. Ia membawakanku oleh-oleh, roti gembong super montok seperti kasur. Aroma dan rasanya enak. Terlebih saat ia bilang, itu hasil upahnya dari mengaduk semen, aku merasa cita rasa rotinya menjadi berkali lipat lebih enak. Ia bekerja sambil kuliah untuk biaya sehari-hari, lumayan kan, bisa mengurangi beban orang tuanya.Sekitar dua atau tiga bulan berikutnya, kabar gembira datang. Ayah diangkat menjadi PNS setelah bertahun-tahun mengabdi sebagai honorer. Daerah penugasan Pulau Tanakeke. Tempat yang belum pernah aku kunjungi meski sudah sering mendengar namanya. Kami berkemas, tidak banyak waktu yang diberikan sebab ayah sudah harus masuk mengajar sepekan setelah surat pengangkatan itu diterima.Bahkan mengunjungi orang tua Hasyim untuk sekadar pamitan pun sudah tidak sempat. Lalu aku menitip pe