Arumi yang merasakan belaian di kepalanya perlahan mulai membuka mata. Dia teramat nyaman hingga terlelap dengan tubuh menyandar pada bahu Rilan.
"Maaf."
"Kau baik-baik saja?" tanya Rilan saat tatapan Arumi seakan mencari-cari sesuatu.
"Apa dia sudah pulang?"
"Entahla."
Arumi menunduk. "Mungkin mimpiku yang terlalu tinggi. Aku mengharapkan seseorang yang tidak bisa aku gapai."
"Kau kelelahan, cepat turun dan istirahatlah setelah ini," ucap Rilan lembut. " lagi pula dia tahu jalan pulang ke rumah."
"Apa kau akan mampir."
"Tentu saja. Aku harus memastikan kau tidak akan melakukan hal aneh."
"Hal aneh apa yang bisa aku lakukan di benakmu?" tanya Arumi.
"Kabur dengan pria lain misalnya."
"Kak Rilan!"
"Ha ... ha ... ha .... Aku bercanda."
Setelah usaha Rilan untuk membuat Arumi tertawa gagal, keduanya pun turun dari mobil dan memandang kaget saat suara yang tidak asing menyapa.
"Kalian sudah
Tidak ada cinta tanpa pengorbanan. Begitulah yang dapat mengambarkan keadaan Randika sekarang. Sepanjang hidupnya ini adalah keadaan tersulit yang pernah dia hadapi. Dimana dia harus memilih untuk melepaskan atau mempertahankan. Empat tahun adalah perjuangan yang sangat berat dan menyakitkan baginya, hingga dia bisa membuka hatinya untuk Arumi. Gadis itu bahkan menerima kebenciannya sebelum mendapatkan cinta. Dan sekarang, jika dia memilih untuk bersama Evanya, balasan kebencian itu akan dia terima. Namun jika dia tetap mempertahankan Arumi, cintanya, harapannya bahkan kebahagiaannya akan hilang bersama kepergiaan Evanya untuk kedua kalinya. Faktanya Randika memang belum melupakan Evanya sepenuhnya. Di bibirnya mungkin dia bisa mengatakan sudah melupakan. Namun jauh di dalam hatinya Wanita itu masih sangat dia cintai. Maka dari itu, dia memilih untuk mempertahankan keduanya. • • • Lampu bar mini milik Brian masih menyala dengan m
"Ran, mau ke mana?"Sepasang mata hitam itu berpaling dengan tatapan nanar. Alkohol membuatnya tidak bisa mengendalikan diri. Dia selalu berakhir di kamar jika terlalu banyak minum."Aku harus pulang Evanya, Ini sudah pagi.""Bisakah kau tinggal sebentar lagi.""Kenapa kau tidak semanis ini ketika aku berusaha menahanmu waktu itu.""Dan kenapa kau terus saja mengingat hal itu. Kita tidak akan bahagia jika kau terus mengungkitnya.""Ambilkan aku Air. Kepala ku pusing, aku rasa ini akan pecah.""Tidak ada Air di sini.""Apa?""Aku baru saja kembali dan belum mengisi apapun Sayang," ucapnya mengelus pipi pria itu hingga manik hitamnya balas menatap."Jauhkan tanganmu."Evanya tidak menghiraukan penolakan Randika dia malah lebih memainkan jemarinya di dada Randika lalu melingkarkan kedua tangannya pada leher jenjang pria itu dan menampakan wajah menggoda. "Tetaplah di sini.""Menjauh dariku Evanya."
Sejak keberangkatan Jenny dan Amirta ke prancis, mata Arumi tidak bisa terpejam. Entah sudah berapa gelas kopi yang dia minum untuk menahan rasa mengantuk. Arumi juga tidak bisa menghubungi Randika karena ponsel tunangannya itu mati. Entah itu sengaja atau batrey ponsel nya yang habis.Satu jam ....Dua jam ...Tiga jamHingga malam berlalu, sosok pria yang di nantinya tidak kunjung tiba. Gadis itu sampai berulang kali memastikan apakah ada suara mobil yang datang atau tidak.Lama menunggu membuat matanya mulai lelah dan terasa bsrat. Gadis berusia 23 tahun itu mulai mengantuk, dia memilih untuk memejamkan mata sebentar saja hingga suara garing Minora membangunkannya.Manik cokelat itu membuka matanya yang sembab akibat tangisan. Arumi bangkit dan menatap pelayan pribadinya itu dengan mata setengah terpejam. " Ada apa.""Kenapa anda tidur di sini? Jika ada yang keluar masuk di sini mereka akan mendapatkan pemandangan gratis yang indah
Tubuh itu terus bergerak gelisah, tidak ada posisi tidur yang membuatnya nyaman. Arumi kembali membuka matanya. Memikirkan Randika yang belum juga kembali membuat dia tidak tenang."Di mana kau sekarang, apa kau tidur bersama wanita itu?"Mansion terasa sunyi saat Arumi membuka jendela. Biasanya di pagi musim gugur, Mom Jenny akan berdiri di taman belakang untuk bersantai dengan secangkir kopi panas. Tentu saja wanita setengah abad itu duduk di temani suami tercinta. Sesaat Arumi memanjatkan doa untuk bisa mendapatkan kebahagiaan seperti kedua orang tua angkatnya. Mereka adalah pasangan serasi. Gadis itu terus berdiri sambil memejamkan mata hingga suara seorang pria membuatnya membuka mata."Kau akan masuk angin jika terus berada di situ."Arumi tidak ingin menoleh, dia hafal betul dengan suara itu. Itu adalah suara pria yang yang membuat sakit di hatinya."Pembohong!"Arumi menoleh dan memberikan tatapan tajam yang berhasil membuat Randika te
"Dia menjadi berbeda," ujar Evanya menepuk sisi sofa yang masih kosong.Brian menggeleng, dia memilih duduk di kursi lain depan bartender. "Kau membawanya semalam.""Yah, dia tidur denganku.""Kau seperti pemangsa!"Bukannya marah Evanya malah tertawa terbahak-bahak merasa senang dengan sebutan itu. Tawa itu mengundang banyak perhatian, beberapa mata pengunjung klub tampak melihat ke arah mereka.Berbeda dengan Brian yang menggeleng pelan. Dia merasa kasihan kepada gadis yang tertawa keras tapi terdengar hambar. Sungguh pemandangan yang menyeramkan."Berhenti tertawa Evanya kau menyeramkan!"Wanita itu tidak berhenti, dia tetap tertawa sampai gelas wiski menyentuh bibir merahnya."Perempuan aneh.""Apa kau tahu dimana gadis itu tinggal?" tanya Evanya saat wiski yang di teguknya tertelan habis."Siapa?""Arumi.""Kau tidak tahu di mana dia tinggal?""Jika aku tahu, untuk apa bertanya padamu."
"Rumi," sapa Randika canggung."Aku akan ke dapur.""Rumi dengarkan aku." Randika menahan tangan Arumi menatap sesaat kedua sahabatnya yang terlihat pura-pura sibuk berbincang."Ada yang ingin kau katakan?""Aku minta maaf," ucapnya tulus.Arumi menatap datar meski sebenarnya dia tahu kalau Randika sudah sangat menyesal dengan kejadian tadi malam, hanya saja, adegan ciuman antara Randika dan Evanya yang ada di dalam ingatannya masih terlalu jelas. Itu alasan kenapa dia begitu marah dan memilih bersikap diam."Apa kau tidak lelah terus meminta maaf seperti ini."Randika menggelengkan kepalanya. "Tidak sampai aku mendapatkan maaf darimu.""Kalau begitu tinggalkan Evanya.""Aku tidak bisa melakukannya sekarang.""Whay?""Kau tahu, aku mencari Evanya selama beberapa tahun ini. Ada banyak hal yang harus aku pastikan dengannya. Aku janji, setelah itu selesai aku tidak akan menemuinya lagi."Randika terus m
Tidak ada yang bisa menghancurkan keterdiaman Randika dan tatapan tajamnya. Bahkan keberanian Arumi tidak cukup untuk sekedar menyapanya.Randia menghubungi kedua orang tuanya, menanyakan tentang kondisi ayahnya. Jenny sang ibu mwnjelaskan demgan baik hingga membuat pria itu sedikit tenang. Merasa cukup santai, Arumi lalu mendekat saat Randika menutup teleponnya. " Bagaimana keadaan Dady.""Bukankah kau lebih tahu."Raut wajah Arumi berubah sedih seketika. "Jadi lau masih marah padaku.""Kau pikirkan sendiri."Wanita itu terdiam cukup lama. Tidak terfikir olehnya Randika akan semarah ini. Dia bahkan belum memberi maaf untuk pria bermata hitam itu. Namun, kini dia yang harus meminta maaf atas kesalahannya."Maaf merahasiakan-nya, tapi aku hanya menuruti ucapan Mom. Dia hanya tidak ingin kau khawatir.""Tinggalkan aku sendiri!'"Ran?""Berhenti memanggil nama ku!"Teriakan keras Randika membuat Arumi tersentak hingg
"Quebec, Kanada...Brian yang berada di sekitar kafe miliknya memutuskan untuk melihat keadaan pria itu. Dia cukup tahu ke mana tempat yang akan di datangi sahabatnya jika sedang ada masalah. Di dalam hati dia berharap tidak menemukan-nya sedang berduaan dengan Evanya."Ran?"Pria itu memanggil-manggil mengingat tempat ini privasi dan hanya ada dua orang bartender yang selalu berjaga."Apa Randika kemari?""Di sana."Brian melangkah menuju arah yang di tunjuk salah saru bartender. Dia mencari di balik kursi-kursi yang tersusun rapih, hingga matanya melihat pria yang sedang merokok di lantai dengan botol alkohol yang berhamburan di mana-mana."Kau minum sebanyak ini?""Sedang apa kau di sini.""Mungkin kau butuh teman.""Aku tidak but