“Apa yang terjadi itu nggak sengaja, jadi lo jangan terus ngejar gue kayak gini. Gue 'kan udah bilang bakalan tanggung biaya anak itu tapi nggak usah lo sampai datengin rumah gue kayak gini!” Revan dibuat geram oleh Nara.“Kalau mau tanggung jawab ya nikahin aku, aku nggak cuman butuh uang, Van.”Revan menghela nafas panjang, “lo jangan bikin gue makin marah deh, Ra. Apa yang terjadi kecelakaan dan lo harus bersyukur gue mau tanggung biaya lo sama anak itu jadi sekarang mending lo pulang. Nanti kita bicara lagi, gue buru-buru.” Ia melangkah masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil cincin.Bukannya pulang seperti perintah Revan, Nara mengekori lelaki itu yang hanya menutup pintu rumah tanpa menguncinya.“Astaga!” Revan terperanjat saat keluar dari kamarnya, “lo ngapain masih disini. Sana pulang, gue janji nggak bakalan kabur. Selama ini gue tanggung 'kan semua biaya lo.”“Van ….”“Kalua sampai lo hancurin acara gue hari ini, bukan cuman gue yang sengsara tapi elo juga. Gue nggak bakalan
Haidar menyipitkan matanya seperti mengenali sosok yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri, penasaran Haidar langsung menyebrang jalan dan mendekati bangunan cafe itu.“Itu 'kan Mas Revan.” Ia terbelalak melihat Revan bersama dengan seorang wanita yang membawa bayi.Langkah kaki Haidar masuk ke dalam cafe, ia bukan orang yang suka mencampuri masalah orang lain tapi entah kenapa ia begitu ingin tahu karena ini bersangkutan dengan Alesha.“Ayo gendong. Masa nggak mau gendong anak sendiri.”Deg!Haidar merasa jantungnya berhenti berdetak. Kini ia duduk di meja seberang Revan dengan membelakangi. Revan jelas tidak akan mengenali Haidar yang memakai masker dan topi. Ia sama sekali tidak ada niat untuk mengikuti Revan tapi takdir memang membawa Haidar ke tempat ini.“Nggak usah keras-keras juga ngomongnya, kalau ada yang kenal gue gimana!” Revan nampak kesal.“Ya ampun, nggak usah bentak gitu juga, Van. Lihat Alisa kaget.” Namira menimang tubuh bayi itu yang tersentak karena suara Rev
“Kok tadi gue belain dia segitunya ya?” Revan menggaruk tengkuknya lalu masuk ke dalam mobil menyusul Alesha yang sudah ada di dalam.Revan menjadi bingung dengan dirinya sendiri, semenjak pindah ke apartemen, Revan bersikap seperti biasa. Tidak memperdulikan Alesha sama sekali bahkan ia tidak tidur dalam satu ranjang, Revan memilih tidur di sofa meski di kamar yang sama.Alesha tidak pernah berpikir buruk pada Revan, ia hanya mengira jika Revan sama seperti dirinya. Butuh waktu untuk melanjutkan lagi ke hal yang lebih intim. Saat itu mereka hanya satu minggu tinggal di rumah orang tua Alesha, selebihnya langsung menempati apartemen yang disediakan oleh Ustadz Harun. Sebagai hadiah pernikahan untuk anak dan menantunya.Sampai di apartemen, Alesha langsung bergegas untuk mandi agar bisa segera menyiapkan makan malam. Ia juga akan menanyakan soal Revan yang tadi terlihat marah-marah pada kedua teman Alesha.Sedangkan Revan menghempaskan tubuhnya di sofa, ia merasa sangat lelah. Lelah be
Revan menjelaskan semuanya pada Aslan dan Alesha tanpa ada yang ditutupi sedikitpun. Ia pasrah akan jadi seperti apa nantinya, yang terpenting sekarang sudah jujur karena semakin lama menyimpan fakta ini sudah pasti Alesha akan semakin sakit dibuatnya.Wajah Revan bahkan sampai babak belur karena tak bisa menahan marah. Alesha hanya bisa memeluk sang kakak agar lelaki itu berhenti memukuli Revan.“Kenapa lo nggak jujur dari awal hah? Sengaja lo mau hancurin hidup Alesha? Salah apa dia sama lo!”“Aku yang salah, Bang. Tapi tolong jangan bawa Alesha.” Revan memohon sambil berlutut, ia merasa tidak rela jika Alesha dibawa pergi oleh Aslan.“Terus lo mau dia disini urusin anak lo gitu?”Dengan berderai air mata, Alesha menggelengkan kepalanya. Ia jelas terluka dengan kebohongan yang dibuat Revan, padahal jika lelaki itu jujur dari awal Alesha bisa saja menerimanya tapi Revan malah menutupi itu bahkan dari kedua orang tuanya.Revan harus bersiap kehilangan Alesha dan juga semua fasilitas y
“Kenapa kamu kaget?”Alesha masih terpaku, jantungnya berdetak dengan kencang saat telinganya berdengung dan samar-samar mendengar pintu terbuka tapi ia tidak mendengar apa-apa lagi sekarang.Ia menggelengkan kepalanya karena merasa ada yang aneh.“Aku tunggu buat sarapan ya. Habis ini langsung ke kampus 'kan?”Alesha mengangguk. Karena apa yang dirasakannya itu membuat ia yakin untuk menemui ibu mertuanya dan menceritakan secara langsung.Selesai bersiap-siap, Alesha bergabung dengan Revan yang sudah menunggunya dari tadi. Biasanya Revan harus dibangunkan tapi kali ini ia malah bangun sendiri bahkan sudah menyiapkan. Ia rela melakukan ini setiap hari asalkan bisa melihat kembali senyum Alesha, sejak tadi keluar dari kamar belum ada senyum yang Revan lihat seperti biasanya.Lelaki itu bahkan sibuk memperhatikan Alesha yang menyantap sarapannya dengan kepala menunduk.Berada dalam situasi seperti ini membuat Revan sangat tidak nyaman. Ingin semuanya segera selesai tapi tidak mau jika A
Boleh jadi karena kelapangan hatinya memaafkan sang suami, ridhonya menerima masa lalu Revan itu yang membuat Sang Pencipta mengabulkan semua pengharapan Alesha, wanita yang memiliki hati yang begitu lembut, mencoba memaafkan saat dirinya bahkan sudah terluka. “Alesha, kamu dengar?” tanya Revan masih tidak percaya.Alesha mengangguk dengan berderai air mata haru, tidak menyangka sesuatu yang tidak mungkin kini telah terjadi. Dulu orang tua Alesha bahkan sudah melakukan berbagai cara untuk kesembuhan putrinya, tidak peduli dengan uang yang sudah mereka keluarkan karena yang terpenting itu anak mereka, tidak hanya di dalam negeri mereka bahkan sampai pergi ke luar negeri. Tapi hasilnya nihil, sekeras apapun berusaha jika Allah belum mengizinkan sudah pasti tidak akan ada hasilnya.Namun saat Alesha ikhlas dan menerima semuanya dengan hati yang lapang, disaat itulah semua permohonannya terkabul. Percaya jika yang Maha Kuasa akan memberikan yang terbaik dan mungkin memang ini yang terbai
“Abi, Ummi. Aku memang salah tapi aku nggak mau menikahi Nara. Aku tanggung jawab penuh pada Alisa tapi kalau soal menikah aku nggak bisa.” Revan berucap dengan tegas.“Enak sekali kamu ngomong ya. Setelah kamu merusak anak saya, kamu buang begitu saja!” Hendar, bapaknya Nara kembali menarik kerah kemeja yang dikenakan oleh Revan.“Tolong, Pak. Jangan melakukan kekerasan, bicara baik-baik.” Ustadz Harun mencoba untuk menengahi.“Ada apa ini Pak Ustadz? Maaf saya lancang masuk karena mendengar keributan.” Seorang tetangga datang.“Tidak apa, Pak. Ini masalah keluarga.”“Kalau begitu permisi, Pak Ustadz.”“Oh, anak ustadz ternyata. Tapi kelakuannya laknat!” maki Hendar.“Pak, udah. Kasihan Revan.” Nara tidak tega juga melihat Revan yang sudah babak belur akan dihantam lagi oleh Hendar.“Dia aja nggak kasihan sama kamu.”“Saya lebih baik dipukul daripada menikah dengan Nara!”“Revan!” Ustadz Harun nampak begitu marah dengan apa yang dikatakan oleh anaknya itu.Jika ia tahu dari awal soal
“Ada apa? Kamu mau kemana?” Desti terlihat kaget saat melihat Haidar yang buru-buru menyambar tasnya.“Ada urusan penting, Bu. Aku harus kembali ke kota, nanti aku jelasin.”Saat ini Haidar hanya ingin menemui Alesha, meski tak bisa membantu menyembuhkan luka wanita itu tapi ia tetap ingin berada di samping Alesha saat dunianya sedang tidak baik-baik saja.Tanpa berpikir soal tubuhnya yang lelah, Haidar kembali ke kota. Saat ini hanya Alesha yang memenuhi benaknya. Desi sampai terheran-heran apa yang membuat Haidar pergi tergesa-gesa dengan wajah panik bahkan sampai tidak ada waktu sekedar untuk menjelaskan soal yang terjadi.“Loh, Haidar kemana?” Anto yang baru saja keluar dari kamar mandi dan melewati kamar Haidar hanya melihat Desi seorang diri disana.“Katanya ada urusan, Mas. Dia balik ke kota.”“Apa? Balik ke kota padahal dia baru aja sampai, emang ada masalah apa sampai dia segitunya?”Desi menggeleng, “nggak tahu, Mas. Tapi tadi Alesha yang nelpon tapi aku nggak berani nanya l