Share

Menanyakan Suamiku

Netraku tidak lepas memandangi Mas Damar yang terlihat serius bicara dengan orang yang menelponnya.

“Mami, ayo. Papi lama ….” Aslan mulai merengek karena tidak sabar.

“Sebentar ya, Papi lagi telepon.”

“Nanti beli kue ya, Mi. Aslan mau makan kue bareng temen-temen.”

Aku berjongkok memegang pundak kecilnya, “Aslan punya temen disini?”

Dia mengangguk kecil, “Iya tapi kemarin pulang karena dipanggil Ibunya. Aslan mau beli makanan banyak biar bisa lama-lama main sama mereka.”

Kuusap lembut puncak kepalanya, “Iya, nanti kita beli ya. Anak Mami memang pintar, kita memang harus belajar berbagi.”

“Pintar kayak Mami,” sahutnya. Dia langsung berhambur memelukku.

Berbagi makanan atau barang masih boleh tapi berbagi orang yang dicintai itu tidak akan pernah bisa dilakukan oleh siapapun. Orang bodoh mana yang mau membagi orang yang dicintainya dengan orang lain. Aku pun tidak akan mau. Saat semua mengarah pada Mas Damar, aku masih menahan diri dan ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri jika memang dia selingkuh.

Hati orang memang tidak pernah ada yang tahu bukan? Bahkan pernikahan yang sudah puluhan tahun saja bisa berakhir dengan perceraian, apa kabarnya dengan pernikahanku yang baru saja tujuh tahun ini.

Tapi sebisa mungkin aku menjernihkan pikiran untuk tidak melakukan hal gegabah yang nantinya akan merugikan diriku sendiri.

“Hey. Kenapa malah bengong.”

Tersentak saat Mas Damar menyentuh pundakku.

“Siapa yang telepon?”

“Dari kantor, cuman masalah kecil.” Dia menjawab dengan seulas senyum.

Selama perjalanan ke pasar aku hanya bicara saat Aslan bertanya saja, selebihnya anak itu berceloteh dan disahuti oleh Mas Damar. Mungkin jika hanya aku dan Mas Damar saja yang pergi, keheningan yang berada di tengah-tengah kami.

Niat awal ke pasar hanya ingin membeli mainan untuk Aslan tapi jadinya malah membeli ini dan itu, Aslan tidak bisa dilarang. Mainan yang dilihatnya menarik akan langsung diambilnya sedangkan Mas Damar sibuk memilih cemilan dan aku hanya melihat mereka yang sibuk sendiri.

Tidak ada keinginanku untuk membeli sesuatu, paling membeli buah saja untuk persediaan.

“Tunggu sebentar ya, aku beli dulu obat. Kamu nggak sekalian?”

“Buat apa? Aku nggak sakit kok.”

“Tapi kok kayak lemes gitu sih. Atau perlu suntikan?” Mas Damar memainkan alisnya dengan senyum menggoda.

Biasanya aku tersipu tapi sekarang tidak sama sekali.

“Cepat sana, ini sudah siang. Panas!”

Kudorong tubuhnya agar segera pergi.

Mas Damar meninggalkanku dan Aslan, dia menyebrang ke apotik.

“Mami, besok kesini lagi?”

Aku menoleh pada Aslan, “Nggak, mau ngapain. Aslan udah beli mainan banyak banget loh, nanti cuman dipake main sekali langsung bosan.”

“Nggak, Mi. Nanti ini buat temen-temen Aslan juga, biar seru mainannya banyak.”

Sepertinya dia benar-benar mendapat teman bermain yang sesungguhnya disini karena di kota dia hanya bisa bermain saat sekolah saja bersama teman di taman kanak-kanak. Anak-anak orang kaya mana ada ceritanya yang main seperti disini, makanya aku membawa Aslan kesini agar bisa lebih bebas.

Kasihan juga jika dia selalu main di rumah, di luar jika hanya bersepeda saja. Sedangkan disini main apapun ada temannya jadi Aslan tidak akan bosan.

“Aslan nggak boleh nakal ya, kalau ada yang mau pinjam mainan harus dikasih pinjam.”

“Iya, Mami.”

***

Untung saja tidak banyak orang di jalan yang kulewati karena mereka sibuk di rumah Bu RT yang akan menggelar hajatan minggu ini. Bibi juga ada disana, jadi ingat soal kunci. Aku harus mengambilnya lebih dulu.

“Mas, duluan aja. Aku ambil kunci di Bibi.”

“Nggak barengan aja, gimana kalau aku kesasar.”

“Lebay banget. Tinggal lurus aja dari sini, masa nggak tahu jalan. Tadi malam kamu kenapa bisa kesini kalo nggak tahu jalan?”

“Pake maps, sayang.”

“Ya udah sana duluan, kasihan Aslan kepanasan.”

Kutinggalkan dia dan Aslan menuju rumah Bu RT, meskipun tidak tahu rumahnya aku tinggal menanyakan saja.

“Bu, rumahnya Bu RT dimana ya? Bu Ningsih.” Aku bertanya pada ibu-ibu yang lewat.

“Oh itu, di jalan sana lewat kiri, ada rumah besar disana. Banyak orang kumpul-kumpul, nah itu rumah Bu RT.” Telunjungnya mengarah ke jalan yang tadi kulewati.

“Makasih, Bu.”

Gegas aku menuju ke tempat yang ditunjukan. Berjalan ke pasar juga melelahkan padahal jaraknya tidak terlalu jauh, sepertinya aku harus mulai olahraga lagi agar lebih fit.

“Cari siapa, Neng?”

Berdiri di depan rumah Bu RT, aku langsung ditegur.

“Cari Bi Nani.”

“Ada di dalam, masuk aja.”

Aku paling enggan masuk rumah orang seperti ini meskipun ada banyak orang.

“Una.”

Baru saja akan menginjakkan kaki di teras, ada yang memanggil. Aku langsung berbalik, menghela nafas panjang.

Kenapa dia seperti hantu selalu bergentayangan, dimanapun pasti ada.

“Ngapain disini?”

“Mau ambil kunci di Bi Nani. Tolong ambilin dong, Des. Aku malas ke dalam.”

Malasnya karena banyak ditanya-tanya nantinya, lebih parahnya jika aku ditahan disana.

“Ya udah bentar.”

Aku mengernyit heran. Tumben baik.

Tidak lama Desi keluar menyodorkan kunci padaku. Tiba-tiba menggandeng tanganku.

“Suamimu ada di rumah 'kan?”

“Buat apa calon istri CEO sepertimu menanyakan suamiku yang seorang kuli?”

Bersambung ….

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Eben Ezer N
baca ngengantung terus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status