Redrick baru saja pulang dari kantor, usai menyelesaikan lemburnya. Meski tahu bekerja keras di sana juga tak akan membuatnya menjadi pewaris, tetapi pria itu tetap melakukan yang dibisa demi membuat perusahaan milik Orlando semakin maju.
Hari ini pria itu pulang ke rumah Orlando. Tidak langsung menuju kamar, lelaki itu menghampiri ayahnya yang kata salah satu pelayan masih ada di ruang kerja. Ada yang pelu Red tanyakan.
"Liara dan Hagan sedang berlibur? Bulan madu?"
Alis Orlando saling mengait. "Tidak. Setahuku, tidak. Kenapa?"
Redrick tahu itu tidak benar. Ia beberapa kali melihat Hagan di toko, bekerja seperti biasa. Namun, tidak demikian dengan Liara. Perempuan itu jarang sekali terlihat keluar dari rumah. Karenanya Red memastikan.
"Kukira mereka bulan madu. Itu saja." Tidak ada orangnya di sekitar Liara lagi, Redrick bingung apa yang si perempuan lakukan di rumah saja beberapa waktu belakangan. Cukup lama tak bert
Tak bisa berkata-kata, Redrick segera luruh ke kursi di samping ranjang pasien yang Liara tempati. Peredaran darah pria itu agaknya sedikit terganggu hingga saat ini wajahnya berubah pucat. "Apa yang terjadi padanya, Max?" Pada lelaki yang berdiri tak jauh di belakang, ia bertanya. Bukan tak tahu apa penyebab Liara sampai harus terbaring lemah seperti sekarang. Red hanya masih tak paham. Liara tak menceritakan apa-apa di pertemuan terakhir mereka. Perempuan itu juga terlihat baik, bahkan sempat menghadiahi Red satu senyuman yang manis di pesta itu. Lantas, tiba-tiba saja seperti ini? Red mendengar kabar ini beberapa saat lalu. Dari Orlando. Tidak diberitahu langsung, ia melihat si ayah tiri tergesa dan panik meninggalkan rumah. Penasaran, maka ia bertanya. "Liara di rumah sakit. Dia menyayat nadinya." Saat otaknya mencerna kalimat itu, sungguh Red ingin segera terbang ke rumah sakit ini. Namun, ia tak mungkin bers
Meninggalkan rumah sakit dengan terburu, Hagan tak punya tempat yang ingin dituju. Meski begitu, mobil yang ia kendarai sendiri melaju cepat di jalanan. Sengaja pria itu memilih jalan tol agar tidak ada yang menghalangi aksinya yang seolah ingin menjadi pembalap malam ini.Mengapa ia bisa sebodoh itu? Sejahat itu, pada perempuan yang seharusnya ia jaga dan bahagiakan?Sungguh, sesal memang datang di saat yang tepat. Ketika Hagan sadar jika dirinya sudah salah dan melihat sendiri hasil dari sikap bodohnya. Liara yang terluka.Apa gunanya semua itu sekarang? Apa luka yang tertoreh dalam bisa hilang hanya dengan sesal dan satu permintaan maaf?Di saat seperti ini lelaki itu malah lebih bisa memikirkan sesuatu yang lebih pantas dari apa yang sudah ia lakukan sebulan belakangan pada si istri.Jika memang cemburu, harusnya dikatakan saja. Tunjukkan dengan benar. Marahi Liara bertemu Red, itu lebih baik daripada bersikap ding
"Tidak. Jangan."Liara melihat pria itu lagi dalam tidur. Di matanya terpancar kemarahan yang menakutkan."Tidak. Aku tidak ingin."Max yang baru saja menghuni ruangan saling melempar tatap dengan Hagan yang tampak terpaku di atas ranjang.Pria itu menghampiri Liara. Berusaha membangunkannya dari mimpi yang sepetinya sangat buruk."Kau mimpi buruk, ya?" Pria itu menyodorkan satu gelas air putih. "Karenanya aku melarangmu tidur sepanjang hari. Ini sudah pukul dua, kau tidur sejak pukul sebelas."Duduk dengan kepala ranjang yang dinaikkan, Liara menyuarakan tanya. "Aku sudah diizinkan pulang? Perbannya sudah dibuka. Aku bisa merawatnya sendiri. Aku ingin pulang."Max menoleh pada sepupunya. Hagan tak membalas tatapan. "Dua hari lagi.""Kalau begitu, pindahkan aku ke ruangan lain. Ke mana saja." Suaranya memelan. Ingin sekali segera berada jauh dari Hagan, tetapi sadar diri siapa dir
Kediaman Hagan terasa sepi akhir-akhir ini. Tak ada ada lagi tawa atau sekadar suara dua orang saling memanggil. Entah itu Hagan atau Liara, keduanya sama-sama bungkam.Pulang bersamaan dari rumah sakit, pasangan suami-istri itu mengatur jarak. Sebisa mungkin tidak bertatap muka, apalagi terlibat konversasi. Kalau pun terpaksa, pastilah melalui salah satu pelayan atau pengawal mereka.Liara dengan kemarahannya, Hagan dengan kegamangan dan rasa bersalahnya. Memilih menyatu bersama sepi, yang perlahan membuat jarak.Untuk mengurangi intensitas bertemu Hagan, seharian Liara akan berada di kamar. Makan, mandi, menonton, semua ia lakukan di sana, sendirian. Tidur juga, karena sejak kembali dari rumah sakit, Hagan masih tak mau datang ke ruang tidur mereka itu.Sebenarnya itu bagus. Liara juga belum siap menghadapi momen harus berduaan saja dengan Hagan. Namun, entah kenapa perasaan terusik oleh secuil hampa."Nyonya, makan
"Kau mau ke mana?" Di ruang tamu, Max yang melihat Hagan akan pergi menahan sepupunya itu. Ini sudah larut, Max merasa perlu tahu ke mana tujuan Hagan.Max datang dan menginap di sini karena diminta Orlando. Pamannya mendengar dari Biru, bahwa hubungan pasangan suami-istri itu belum juga berdamai."Bukan urusanmu." Hagan menepis tangan Max. Berlalu dengan langkah cepat, lalu kembali diadang."Ini urusanku. Kau akan menabrakkan diri seperti tempo hari? Kekanakan dan bodoh. Jika memang merasa bersalah pada Liara, minta maaf, tebus dosamu. Bukan mati." Max tak lagi sabar dan berusaha membujuk. Ia kesal dengan sikap sang sepupu yang belakangan jadi ragu-ragu, terkesan seperti pengecut.Menabrakkan diri. Liara yang tadinya menguping--tidak sengaja--di salah satu pilar rumah memutuskan menghampiri dua pria di dekat pintu. Ia butuh penjelasan."Maksudmu apa, Max? Menabrakkan diri? Bukan kecelakaan?" Pelan, tangan perempuan it
Ada yang berbeda saat Liara menginjakkan kaki di ruang baca setelah beberapa waktu tidak ke sana.Karpet biru itu tidak lagi ada. Mungkin masih belum selesai dicuci atau mungkin sudah dibuang, sebenarnya penasaran, tetapi terlalu malas untuk bertanya.Naik ke ayunan di dekat jendela, Liara menghela napas. Pikirannya lelah. Terlalu banyak dipakai untuk memikirkan hal-hal yang rumit.Selanjutnya bagaimana? Masih akan meneruskan perang dingin dengan Hagan? Atau mengikuti saran Max? Atau ....Satu sisi diri masih sangat marah pada sang suami, tetapi satu sisi lagi mengiyakan dan mengamini ucapan Max.Dibandingkan dengan kesalahan, jelas kebaikan Hagan lebih banyak. Toh, pria itu melakukannya karena salah paham, mengira Liara telah berkhianat. Namun, bukankah harusnya Hagan lebih percaya padanya? Atau paling tidak, menyelidiki lebih dulu."Menyebalkan," gerutunya seraya kembali menghela napas.Tak
"Nyonya masih marah pada Tuan Hagan?"Tiga kali dalam sehari Biru menanyakan itu pada Liara, sejak ia dan sang suami plang dari rumah sakit."Kau perempuan yang yang tegas juga ternyata. Masih mendiamkan Hagan sampai saat ini. Hebat, Liara."Itu komentar Max, ketika beberapa kaii berkunjung."Kasihan Tuan Hagan. Dia terlihat murung setiap hari sejak Nyonya marah."Liara mendengar Nia berucap begitu pada pelayan yang lain, kemarin sore."Aku lebih suka mendengar ibunya Hagan marah, daripada harus melihatnya mendiamkanku. Apa semua pria seperti itu, ya?"Yang itu sindiran Orlando saat datang menjenguk beberapa hari lalu.Dari semua itu, satu kesimpulan yang Liara ambil. Semua orang mengasihani Hagan dan menganggapnya terlalu kejam karena masih saja mendiamkan dan mengabaikan pria itu hingga detik ini.Tak menampik, tetapi Liara merasa semua orang itu berlebihan.&n
"Aku pergi denganmu saja. Daripada harus bersama semua pria-pria itu."Hagan tak bisa menahan diri. Bernapas ringan, pria itu mengulas senyum. Awalnya duduk di sofa, ia berdiri dan menghampiri Liara dengan dua lengan terbuka lebar.Pria itu meraih lengan istrinya, menaruhnya di bahu, sementara tangan menelusup ke bawah ketiak Liara. Hendak mengangkat tubuh itu, ia disela."Kau mau apa?" Liara memegangi bahu Hagan kuat.Sudah setengah menekuk lutut, Hagan yang wajahnya sejajar dengan Liara berkedip cepat-cepat. Manahan malu. "Kau tidak ingin digendong?" Ia tersenyum kuda pada perempuan itu."Kau akan menggendongku dari sini sampai ke toko jam tangan itu?" Liara bertanya sinis. Ia kesal dengan cengiran tanpa dosa lelaki di depannya.Lelaki itu menggeleng. "Ke kamar. Kau tidak ingin ganti pakaian dulu?"Tangan Liara mendorong suaminya, hingga mereka lebih berjarak. "Aku punya kaki," ketusnya.&nbs