Pov Dini 5Dini!!! Kamu memang sudah tidak waras ya? Apa perlu Bapak tampar kamu lagi, biar otakmu yang bergeser itu bisa kembali normal?! Aku kembali menundukkan kepala. Sakit akibat tamparan tadi belum hilang, masak mau ditampar lagi. "Kamu, Bu!" tunjuk Bapak pada Ibu. "Kamu sudah tau semua tentang ini?" tanya Bapak. "Mmm … itu … anu … anu … ""Anu … anu apa?! Kamu pasti sudah tau, kan? Jangan-jangan kamu bersekongkol dengan Dini merekayasa semua kebohongan ini?! Benarkan?!!" Bapak menatap Ibu curiga. Duh, kok, Bapak pinter banget sih menebak semuanya. Kasian Ibu dibentak Bapak di depan besannya. "Kalau masalah kehamilan Dini, Ibu gak tau, Pak!" jawab Ibu. "Bukan masalah hamilnya yang Bapak tanyain! Dini berbohong pada Imron karena ingin mendekati Bagas, apa Ibu tau hal ini?!"Ibu hanya menunduk, tak berani lagi menjawab pertanyaan Bapak. "Jadi, benarkan tebakan Bapak! Ibu sudah tau! Kenapa, toh Bu … Bu? Kamu kok yo malah ikut-ikutan sableng kayak anakmu ini!"Hah, Bapak
Pov Dini"Kamu mau tau, Bu, kenapa Bapak sama sekali tidak merestui Dini dan Bagas?!""Kenapa, Pak? Sedari dulu, Dini ingin bertanya pada Bapak! Dini yakin bukan hanya karena Bagas yang tidak mapan, kan?" Bapak mengangguk lemah. Terlihat Bapak menyimpan beban yang begitu berat. Apa sebenarnya alasan kuat dibalik penolakan Bapak. "Sebenarnya … Bagas itu adalah anak dari saudara tiri Bapak, Mas Teja namanya.""Apa, Pak?! Jadi Dini sama Bagas sepupuan gitu?" tanyaku kaget. "Ya, jatuhnya sepupu tiri, bisa dikatakan seperti itu. . Dulu, sewaktu Mbah lanang dan Mbah Uti menikah masing-masing dari mereka membawa anak hasil pernikahan terdahulu. Mbah lanang membawa Mas Teja sedangkan Mbah Uti membawa Bapak," jelas Bapak. "Terus hubungannya dengan kita apa, Pak? Kalau sepupu, kan apalagi sepupu tiri, Dini dan Bagas kan tetap bisa menikah. Tetapi, kenapa Bapak menghalanginya?" tanya Ibu kebingungan. "Bapak tidak menyetujuinya karena harta yang kita miliki ini awalnya milik Mas Teja yang o
Pov Dini"Maaf, Mbak Dini, saya hari ini belum bisa melayani Mbak Dini karena saya ada pertemuan penting. Jadi, Mbak Dini sama Mira saja ya!" tolak Nabila. "Sudah kubilang aku gak mau! Kamu itu cuma pelayan jadi jangan sok ngeboss! Panggil ownernya kemari! Aku gak suka ada pelayan yang gak sopan!" bentakku. Nabila hanya tersenyum dan itu semakin membuatku kesal. Mira mendekatiku. Kemudian berbisik ke telingaku. Seketika aku membelalakkan mataku. Benarkah yang dikatakan Mira, bahwa Nabila adalah pemilik butik ini. Gak mungkin, aku gak percaya. Cewek kampung itu bisa punya butik sebesar ini. Palingan jadi simpanan om-om. Yakin aku. "Jadi, kamu ownernya?!" tanyaku sinis. Nabila kembali tersenyum dan itu membuatku bertambah muak. "Alhamdulillah iya, Mbak. Saya minta maaf ya Mbak, saya benar-benar gak bisa melayani Mbak hari ini. Barang kali next time, Mbak Dini ke sini akan saya layani," jawab Nabila dengan lembut. Tapi di pendengaranku suaranya yang lembut itu seolah mengejekku. S
POV Dini"Jadi … aku ada kesempatan dong buat dapetin kamu lagi," ucap Erik dengan yakin. Hah, apa dia masih mengharapkan aku. Baru saja jadi janda sudah ada yang mendekati. Oh, Tuhan takdir apa yang sudah kau berikan kepadaku. "Gimana, Din?" tanya Erik lagi. "Eh … aku … anu … mmm …" Aku bingung harus menjawab apa. Kalau aku berterus terang kondisiku sekarang, jangan-jangan nanti Erik ilfeel lagi denganku. Kalau Erik dianggurin ya sayang juga rasanya. Ah bingung aku mau jawab apa. Ya Tuhan, aku ingin menghilang lagi saat ini. Doraemon datanglah batinku. "Din," panggil Erik lagi. "Eh, iya …Rik!" jawabku sedikit terkejut. "Gimana, Dini sayang …masih adakan kesempatan buat aku?""Mmm …aku gak bisa jawab sekarang, Rik! Kita jalani saja dulu. Kita juga baru ketemu lagi setelah sekian lama. Mungkin, untuk sekarang kita saling mengenal lebih dekat lagi!" jawabku ragu. "Oke …kalau itu yang kamu mau, aku terima. Aku akan pastikan kali ini kamu gak akan nolak aku lagi, karena
Pov Dini"Din, aku bolehkan sering-sering main ke rumahmu dan ngajak kamu keluar?" tanya Erik. "Boleh kok, Rik! Kenapa enggak?!" jawabku. "Syukurlah, kirain bakalan ada yang marah!" Erik menggodaku. Aku tersenyum dan menundukkan kepala. "Ya sudah kalau gitu, aku pamit dulu, ya!" "Oke, Rik! Kamu hati-hati, ya!" "Siap sayang," sahut Erik. Kemudian kami sama-sama berdiri dan berjalan beriringan. Aku mengantarkannya sampai ke depan. Kemudian Erik menghadap ke arahku. Kami saling bertatapan dan tanpa di duga Erik mengecup keningku. "Dini!!!" suara seseorang mengagetkanku dan Erik. Kami menoleh dan ternyata Bapak sudah berdiri dengan raut wajah menahan emosi. "Bapak …" ucapku dengan perasaan yang tidak karuan. Bapak pasti bakalan marah lagi nih. "Pak …perkenalkan saya Erik, saya teman dekat Dini," Erik memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan untuk menyalami Bapak. "Mmm …" jawab Bapak singkat sembari menyambut uluran tangan Erik. "Baru datang atau sudah mau pulang?" tan
"Rik … kamu di mana?" panggilku. Mataku mencari-cari sosok Erik. Kubuka lebar pintu dan masuk ke dalam.Klik. Pintu tertutup dengan sendirinya. Aku terkejut. Kucoba membuka pintu namun hasilnya nihil. "Rik, kamu di mana, Rik?" Aku merasa cemas. Kutelusuri apartemen ini. Apartemen ini cukup besar dan lengkap. Aku baru sekali ini masuk ke sini. Aku menuju ke kamar. Kemungkinan Erik pasti di sana. "Rik …kubuka pintu kamarnya. Namun kosong. Kucoba masuk ke dalam mencari di kamar mandi. Barang kali dia di dalam sana dan butuh bantuan. Saat aku mencoba membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba dari arah dalam … "Duar!!!" Erik muncul dengan tiba-tiba. Aku terlonjak kaget, sampai badanku tersentak ke belakang. "Erik, apa-apaan sih, kamu! Gak lucu tau, gak?" Erik masih tertawa. Mungkin ekspresi kagetku di matanya sangat lucu. Aku merengut seraya memutar badan. "Eits, Din, mau kemana? Aku cuma bercanda!" Erik menahan lenganku. "Bercanda kamu kelewatan! Aku udah cemas takut kamu kenapa-na
Pov Mak EsahSepulang kami dari rumah Dini, aku dan Imron mampir ke rumah Wita sekalian Imron ingin melihat keadaan Bagas. Kuceritakan semua yang terjadi kepada Wita dan Bagas. Sesekali Imron menimpali. "Alhamdulillah ya, Mas, semuanya sudah terbongkar dengan jelas. Walaupun, yah Wita kasihan juga dengan calon anak Mas, jadi korban keegoisan Ibunya!" ucap Wita. "Mas juga gak tega, Dek! Tapi, Mas juga gak bisa ngelanjuti rumah tangga sama Dini. Toh, awalnya juga Mas menikah bukan karena kemauan Mas tapi karena terpaksa!" tukas Imron. Kulihat Bagas mengangguk-anggukkan kepala seperti mendukung ucapan Imron. "Saya benar-benar gak nyangka, Mas, Dini bisa senekad itu. Dia dari dulu memang keras kepala, tapi ya … sudahlah. Setidaknya Mas udah terbebas dari perempuan sakit itu!" timpal Bagas. "Iya, Gas! Mas sangat bersyukur sekali, Allah menunjukkan semua kebenarannya. Mas sampe gak bisa berkata-kata apa-apa lagi untuk mengungkapkan kelegaan hati, Mas!" ujar Imron. "Mak juga, Le! Lega
"Sudah siap, Mak?" tanya Imron. "Sekarang, Le?" Aku balik bertanya. "Iya, Mak! Kan jemput Wita dulu terus nanti cari tempat makan dekat mesjid, jadi masih bisa solat jamaah," jelas Imron. "Oh gitu, yo wes! Mak ambil tas dulu ya!" sahutku. Saat aku akan keluar kamar, terdengar Imron berbicara dengan seseorang di depan. Siapa ya, yang datang. Aku jadi penasaran. Gegas aku ke depan. Ternyata yang datang Abil. Ku hampiri mereka yang masih berdiri di depan rumah. "Abil!" sapaku. "Eh, Mak! Apa kabar, Mak?" tanya Abil seraya mengulurkan tangannya. Kusambut uluran tangan Abil kemudian dia mencium tanganku. "Baru datang?" tanyaku lagi. "Iya, Mak barusan saja!""Mak, Imron ajak Abil sekalian gak papa ya, Mak! Kan Abil udah kayak keluarga kita juga!" Imron meminta izin padaku. "Yo harus toh, Le. Kok sudah jauh-jauh datang gak diajak makan!" jawabku sambil tersenyum menatap Abil. "Pake mobilku aja, Im!" ujar Nabila sambil menyodorkan kuncinya mobilnya. "Gak papa nih mobilnya?" tanya Im