POV Dini"Jadi … aku ada kesempatan dong buat dapetin kamu lagi," ucap Erik dengan yakin. Hah, apa dia masih mengharapkan aku. Baru saja jadi janda sudah ada yang mendekati. Oh, Tuhan takdir apa yang sudah kau berikan kepadaku. "Gimana, Din?" tanya Erik lagi. "Eh … aku … anu … mmm …" Aku bingung harus menjawab apa. Kalau aku berterus terang kondisiku sekarang, jangan-jangan nanti Erik ilfeel lagi denganku. Kalau Erik dianggurin ya sayang juga rasanya. Ah bingung aku mau jawab apa. Ya Tuhan, aku ingin menghilang lagi saat ini. Doraemon datanglah batinku. "Din," panggil Erik lagi. "Eh, iya …Rik!" jawabku sedikit terkejut. "Gimana, Dini sayang …masih adakan kesempatan buat aku?""Mmm …aku gak bisa jawab sekarang, Rik! Kita jalani saja dulu. Kita juga baru ketemu lagi setelah sekian lama. Mungkin, untuk sekarang kita saling mengenal lebih dekat lagi!" jawabku ragu. "Oke …kalau itu yang kamu mau, aku terima. Aku akan pastikan kali ini kamu gak akan nolak aku lagi, karena
Pov Dini"Din, aku bolehkan sering-sering main ke rumahmu dan ngajak kamu keluar?" tanya Erik. "Boleh kok, Rik! Kenapa enggak?!" jawabku. "Syukurlah, kirain bakalan ada yang marah!" Erik menggodaku. Aku tersenyum dan menundukkan kepala. "Ya sudah kalau gitu, aku pamit dulu, ya!" "Oke, Rik! Kamu hati-hati, ya!" "Siap sayang," sahut Erik. Kemudian kami sama-sama berdiri dan berjalan beriringan. Aku mengantarkannya sampai ke depan. Kemudian Erik menghadap ke arahku. Kami saling bertatapan dan tanpa di duga Erik mengecup keningku. "Dini!!!" suara seseorang mengagetkanku dan Erik. Kami menoleh dan ternyata Bapak sudah berdiri dengan raut wajah menahan emosi. "Bapak …" ucapku dengan perasaan yang tidak karuan. Bapak pasti bakalan marah lagi nih. "Pak …perkenalkan saya Erik, saya teman dekat Dini," Erik memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan untuk menyalami Bapak. "Mmm …" jawab Bapak singkat sembari menyambut uluran tangan Erik. "Baru datang atau sudah mau pulang?" tan
"Rik … kamu di mana?" panggilku. Mataku mencari-cari sosok Erik. Kubuka lebar pintu dan masuk ke dalam.Klik. Pintu tertutup dengan sendirinya. Aku terkejut. Kucoba membuka pintu namun hasilnya nihil. "Rik, kamu di mana, Rik?" Aku merasa cemas. Kutelusuri apartemen ini. Apartemen ini cukup besar dan lengkap. Aku baru sekali ini masuk ke sini. Aku menuju ke kamar. Kemungkinan Erik pasti di sana. "Rik …kubuka pintu kamarnya. Namun kosong. Kucoba masuk ke dalam mencari di kamar mandi. Barang kali dia di dalam sana dan butuh bantuan. Saat aku mencoba membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba dari arah dalam … "Duar!!!" Erik muncul dengan tiba-tiba. Aku terlonjak kaget, sampai badanku tersentak ke belakang. "Erik, apa-apaan sih, kamu! Gak lucu tau, gak?" Erik masih tertawa. Mungkin ekspresi kagetku di matanya sangat lucu. Aku merengut seraya memutar badan. "Eits, Din, mau kemana? Aku cuma bercanda!" Erik menahan lenganku. "Bercanda kamu kelewatan! Aku udah cemas takut kamu kenapa-na
Pov Mak EsahSepulang kami dari rumah Dini, aku dan Imron mampir ke rumah Wita sekalian Imron ingin melihat keadaan Bagas. Kuceritakan semua yang terjadi kepada Wita dan Bagas. Sesekali Imron menimpali. "Alhamdulillah ya, Mas, semuanya sudah terbongkar dengan jelas. Walaupun, yah Wita kasihan juga dengan calon anak Mas, jadi korban keegoisan Ibunya!" ucap Wita. "Mas juga gak tega, Dek! Tapi, Mas juga gak bisa ngelanjuti rumah tangga sama Dini. Toh, awalnya juga Mas menikah bukan karena kemauan Mas tapi karena terpaksa!" tukas Imron. Kulihat Bagas mengangguk-anggukkan kepala seperti mendukung ucapan Imron. "Saya benar-benar gak nyangka, Mas, Dini bisa senekad itu. Dia dari dulu memang keras kepala, tapi ya … sudahlah. Setidaknya Mas udah terbebas dari perempuan sakit itu!" timpal Bagas. "Iya, Gas! Mas sangat bersyukur sekali, Allah menunjukkan semua kebenarannya. Mas sampe gak bisa berkata-kata apa-apa lagi untuk mengungkapkan kelegaan hati, Mas!" ujar Imron. "Mak juga, Le! Lega
"Sudah siap, Mak?" tanya Imron. "Sekarang, Le?" Aku balik bertanya. "Iya, Mak! Kan jemput Wita dulu terus nanti cari tempat makan dekat mesjid, jadi masih bisa solat jamaah," jelas Imron. "Oh gitu, yo wes! Mak ambil tas dulu ya!" sahutku. Saat aku akan keluar kamar, terdengar Imron berbicara dengan seseorang di depan. Siapa ya, yang datang. Aku jadi penasaran. Gegas aku ke depan. Ternyata yang datang Abil. Ku hampiri mereka yang masih berdiri di depan rumah. "Abil!" sapaku. "Eh, Mak! Apa kabar, Mak?" tanya Abil seraya mengulurkan tangannya. Kusambut uluran tangan Abil kemudian dia mencium tanganku. "Baru datang?" tanyaku lagi. "Iya, Mak barusan saja!""Mak, Imron ajak Abil sekalian gak papa ya, Mak! Kan Abil udah kayak keluarga kita juga!" Imron meminta izin padaku. "Yo harus toh, Le. Kok sudah jauh-jauh datang gak diajak makan!" jawabku sambil tersenyum menatap Abil. "Pake mobilku aja, Im!" ujar Nabila sambil menyodorkan kuncinya mobilnya. "Gak papa nih mobilnya?" tanya Im
"Bohong kamu, dasar laki-laki bajingan!" teriak Pak Bimo. Pak Bimo kembali ingin melayangkan pukulan ke Erik namun terhenti karena tiba-tiba dokter keluar dari ruang IGD. "Kenapa, Dok?! Dini, kenapa, Dok?!" tanya Bu Ratna cemas. "Maaf, kami harus memberitahu ini. Saudari Dini harus transfusi darah. Kebetulan di rumah sakit persediaan hanya satu kantong, sedangkan kami membutuhkan tiga kantong. Tadi sudah hubungi PMI ternyata juga lagi kosong!" jelas dokter tersebut. "Saya, Dok! Golongan darah saya sama dengan Dini!" tukas Pak Bimo. "Silahkan Bapak ikuti suster ini, ya! Jadi perlu satu orang lagi!""Emang golongan darah Dini, apa Dok?" tanya Imron. "B+, Pak," jawab Dokter itu. "Saya B+, Dok!" timpal Nabila tiba-tiba. "Bil,kamu?" Imron menatap Nabila. "Iya aku B+, aku mau donorin darah aku, Im!" jawab Nabila yakin. "Makasih ya, Nduk!" ucapku pada Nabila. Tak menyangka dia mau mendonorkan darahnya walaupun Dini sudah berkata kasar padanya. Nabila tersenyum kemudian menyusul sust
Setelah beberapa saat, Dini dipindahkan ke ruang rawat inap. Dini masih terlihat lemah dan pucat. Aku yang melihat kondisi Dini merasa kasihan juga. Kenapa hal ini bisa terjadi padanya.Pak Bimo memilih ruang rawat VIP, biar Dini merasa nyaman juga. Dini terbaring tak berdaya masih dengan transfusi darah. "Din, gimana perasaan kamu, Nak?" tanya Bu Ratna. Dini tak bersuara. Dia hanya meneteskan air mata sambil memandang Ibunya. Kemudian menatap Pak Bimo. Setelah itu dia menatap kami satu persatu. Namun, saat menatap Nabila, tatapannya berhenti. Dini kemudian menunjuk Nabila dengan telunjuknya. Aku dan Imron saling berpandangan tak mengerti maksud Dini apa. Nabila pun mengernyitkan dahinya. Apa maksud Dini menunjuk Nabila????Dini kemudian memberi tanda agar Bu Ratna mendekat. Kemudian dia membisikkan sesuatu kepada Bu Ratna. Bu Ratna terlihat meradang. "Maaf, Mbak Nabila! Bisa kita bicara di luar?!" ajak Bu Ratna. "Ada apa, Bu? Kenapa tiba-tiba Ibu ngajak Mbak Nabila keluar?" tany
Hampir sebulan setelah kejadian musibah yang menimpa Dini. Semenjak itu, hanya sekali Pak Bimo menelepon, mengabari bahwa Dini telah keluar dari rumah sakit. Dan setelah hari itu kami tidak pernah berkomunikasi. Imron pun sepertinya tidak berniat untuk bertanya kabar Dini. Sekarang, dia lebih fokus kepekerjaannya dengan jabatannya yang baru. Alhamdulillah, dengan jabatan yang baru ini, Imron tidak perlu sering ke luar kota. Dia bisa lebih sering di rumah menemaniku. Ekonomi Imron pun semakin baik. Dia juga mendapat fasilitas mobil kantor. Aku bersyukur dengan keadaan kami sekarang. Imron pun sudah mengurus perceraian dengan Dini. Tinggal persidangan terakhir dan putusan. Dini tidak pernah sekalipun datang ke persidangan dan itu sangat mempermudah proses perceraian Imron. "Assalamu'alaikum," Terdengar suara salam dari depan. "Wa'alaikummussalam," jawabku. Aku yang sedang berada di kamar bergegas ke depan untuk melihat siapa gerangan yang datang. Kubuka pintu, dan terlihat Nabila y