Aku terkejut ketika melihat kondisi Carel. Bagaimana tidak, Carel telah kehilangan sebelah kakinya. Yang kulihat sekarang adalah kaki kanan Carel yang hanya tinggal lututnya saja yang sudah diperban. Bagian lutut sampai kaki sudah tidak ada di sana. Entah apa yang terjadi dengannya.
Mendengarku berteriak, Edgar sontak menoleh ke arah yang sama denganku. Seketika ia terpekik ketika melihat kondisi Kakak kandungnya itu.
“Bang Carel, apa yang terjadi? Bagaimana bisa?” ringisnya dengan suara pilu. Sementara kulihat Carel hanya menatap kosong ke depan, seolah nyawanya tidak ada di tubuhnya itu.
“Kita bicarakan ini di dalam ya,” ucap Daffa tiba-tiba.
Aku dan Edgar mengangguk bersamaan. Edgar membantu Daffa menurunkan Carel dari becak. Lalu kami masuk ke rumah Pak Kiki yang sangat sederhana ini, keadaan rumah Pak Kiki tak jauh berbeda dengan rumah Pak Darma atau pun rumah Pak Soni.
Mereka lalu mendudukkan Carel di salah satu kursi.
Aku terkejut mendengar jawaban dari Edgar. Aku langsung terduduk kala ia mengatakan hal yang tidak masuk akal itu. Kutatap wajah tanpa dosanya itu dengan tatapan tak percaya.“Lo serius dengan apa yang lo ucapkan?"“Emang kenapa?” tanyanya santai seolah itu bukanlah masalah yang besar.Aku mendecak mendengar respon darinya. Bisa-bisanya dia sesantai itu padahal sedang melakukan sebuah kebohongan besar. “Bagaimana kalo Pak Kiki tahu? Apa dia nggak akan kecewa sama kita karena dibohongin?” sahutku kesal.Kulihat ia hanya terdiam, pasti perkataanku sedikit menyentil pikirannya. “Kalo gue nggak bohong, kita mau tinggal di mana lagi? Di rumah Pak Kiki? Nggak mungkin! Di sana ada Carel yang benci banget sama gue!” ketusnya.Aku terdiam, bagaimana pun perkataan Edgar ada benarnya. Tidak mungkin menyatukan Carel dan Edgar di tempat yang sama. Akan terjadi baku hantam jika Kakak beradik itu disatukan.“
Edgar dan Daffa terlihat cengengesan ketika bertatapan denganku. Sementara aku hanya tersenyum kikuk menanggapu perkataan Pak Kiki yang mengira bahwa aku dan Edgar adalah pegantin baru. Kuberikan mereka tatapan tajam, sontak mereka langsung terdiam. Maafkan kami Pak Kiki, kami tak bermaksud untuk membohongimu.Lantas Edgar, Daffa dan Pak Kiki akhirnya pergi berlayar untuk mencari ikan. Oh ya, Pak Kiki ini hanya tinggal seorang diri, dari yang kudengar dari Pak Kiki, sang istri sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena sakit. Dan anaknya yang merantau di kota pun tak kunjung pulang untuk sekedar bertemu dengannya.Mendengar cerita dari Pak Kiki, membuatku merasa sedih. Bisa-bisanya seorang anak membiarkan orang tua tinggal sendirian di desa. Aku saja yang baru terpisah dengan Mama beberapa Minggu sudah sangat merindukannya.Usai keberangkatan mereka berlayar, aku masuk ke rumah Pak Kiki. Carel ternyata sudah bangun, ia sedang duduk termenung di atas ranjang
Aku tertegun mendengar pernyataannya. “Lo nggak boleh ngomong kayak gitu, Kak!” nasehatku. “Lo nggak akan pernah ngerti gimana rasanya jadi gue, Hul!” ucapnya pelan. “Apa pun itu, gue nggak mau liat lo sedih lagi, Kak. Maaf, bukannya gue sok menggurui tapi percaya sama gue, Mama lo pasti punya alasan kenapa nitipin lo ke Tante lo!” sahutku. “Gue nggak tau. Hal itu seperti udah jadi trauma tersendiri bagi gue. Gue jadi benci banget sama Edgar. Tiap liat dia, gue rasanya jadi inget perlakuan Mama, Papa dan Tante gue.” “Iya, Kak. Lo cuma butuh waktu buat nerima semua ini." Aku terdiam sebentar kemudian melanjutkan. "Mulai sekarang kalo ada sesuatu yang mau lo ceritain, lo bisa cerita sama gue. Gue juga kan adik lo. Gue akan selalu ada buat lo.” Carel tersenyum sumringah mendengar perkataanku, selanjutnya ia berkata, “Makasih, ya. Lo emang adik gue yang paling baik!” Ia mengacak-acak rambutku, persis seperti yang Edgar sering lakukan kepadaku.
Aku mengangguk pelan. Ia menangis di dalam pelukanku. Tangisannya terdengar begitu pilu dan menyakitkan. “Gue sayang banget sama Carel. Sumpah demi apa pun, dia itu masih Abang gue, Hulya!” ucapnya parau. “Kalo gue bisa tuker kaki gue buat dia, gue akan kasih! Dia butuh apa pun, akan gue kasih!” sambungnya lagi. Kuusap punggungnya dengan lembut, sambil sedikit kutepuk-tepuk. “Udah Gar. Gue juga nggak bisa liat lo terus-terusan seperti ini. Hidup harus terus berjalan, gue yakin Carel pasti akan baik-baik aja,” ucapku mencoba memberinya semangat. Ia melepas pelukannya. Netranya menatap mataku begitu dalam. “Makasih udah selalu ada buat gue. Makasih udah jadi penyemangat hidup gue. Cuma lo yang ngerti gimana hancurnya gue sekarang.” Ia menggenggam jari jemariku, tangannya terasa dingin ketika bersentuhan dengan tanganku. Apa ia sakit? “Gue boleh jujur nggak sama lo?” tanyanya serius. Aku mengangguk sambil menghapus sisa air mata yang meng
Kupejamkan mata menikmati ciuman yang ia berikan. Ini adalah ciuman pertama yang kulakukan secara sadar dan tanpa unsur ketidaksengajaan. Dan semua itu kulakukan hanya dengannya, Edgar Mahendra.Perlahan ia melepaskan pagutannya. Sorot matanya memancarkan kasih yang teramat dalam. Selanjutnya, ia tersenyum padaku dan merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya yang hangat.“Pada akhirnya, kita sama-sama kalah sama perasaan ini. Ternyata benar apa kata orang, cinta datang karena terbiasa,” ucapnya pelan masih dalam posisi memelukku.“Iya, kalo aja lo dulu nggak ngambil first kiss gue. Gue pasti nggak akan jatuh cinta sama lo kayak gini. Ternyata benar ya, benci dan cinta itu beda tipis.” Aku terkekeh sendiri tatkala mengingat awal pertemuanku dengannya.“Sumpah! Kejadian waktu itu gue bener-bener nggak sengaja!” Ia melepaskan pelukannya dan menatapku memelas. Aku hanya terkekeh, kemudian dengan cepat aku mengecup bibi
Mendengar suara Ningsih sontak aku langsung mendorong Edgar hingga jatuh ke atas ranjang. Dengan wajah memerah aku menatap Ningsih yang sepertinya tak kalah malunya denganku.“Nggak apa-apa kok, Ningsih!” jawabku sambil menahannya yang hendak pergi dari kamar ini.“Saya minta maaf banget, Mbak. Saya nggak tau kalo ada Mas Edgar juga di dalam.” Ia melepas cengkeraman tanganku di lengannya dan bergegas keluar.Kini tinggallah aku dan Edgar di dalam ruangan sempit ini. Edgar menatap tajam ke arahku seraya berdiri. Mungkin ia marah karena aku telah mendorongnya. Aku hanya bisa terkekeh meresponnya.“K-kita kayaknya jangan terlalu keliatan, deh!” ucapku.“Apanya? Bukannya mereka tahunya kita emang udah nikah?” tanyanya yang kini berdiri di hadapanku.“Pokoknya gue nggak mau kalo kita terlalu keliatan mesra banget. Lagian kita kan nggak pacaran!” jawabku asal.Kudengar ia terkekeh
“Lo tunggu di sini!” perintahnya seraya meninggalkanku di ruangan ini sendirian. Lama aku menunggu, tiba-tiba ia datang dengan tergopoh-gopoh. Tubuhnya basah kuyup dan menggigil kedinginan. “Ini, lo minum jahe anget dulu. Biar enakan badannya.” Ia membantuku untuk bersandar dan memberikan segelas minuman hangat itu. Sepertinya ia kehujanan karena berlari dari sini ke rumah Pak K**i Kuraih gelas yang diulurkan olehnya dan meneguknya secara perlahan. Rasa pedas dan hangat dari jahe mulai menjalari tenggorokan dan perutku. “Enak! Siapa yang buat ini?” tanyaku parau. “Daffa, dia udah biasa buat ini ketika naik gunung,” jawab Edgar dengan mata yang tak hentinya menatapku hingga membuatku sedikit risih menerima tatapan darinya. “Awas ngeliatin mulu, nanti suka lagi!” seruku lemah. Ia terkekeh mendengar perkataanku. “Emang udah suka, kok. Terus mau apa?!” tanyanya manja. Mendengarnya menggodaku, kuedarkan pandanganku ke arah lain. Aku
Samar-samar kudengar Edgar berkata bahwa kami akan pulang. Entah apa maksud perkataannya itu, aku tak dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkannya karena terlalu kesakitan pada kepalaku.Kurasakan Edgar membawa tubuhku menaiki sebuah kapal yang di dalamnya ada beberapa orang berseragam TNI. Mereka langsung membantu Edgar yang menggendongku.Edgar membawaku ke dalam kapal besar ini. Ia lalu membaringkan tubuhku di salah satu ranjang. Setelah membaringkanku, Edgar nampak berbicara pada seorang TNI. Lalu ia keluar bersama orang itu yang kutebak untuk menyelamatkan yang lainnya.Kulihat seorang pria menghampiriku dan memeriksa detak jantungku dengan menggunakan sebuah stetoskop.“Tarik napas, keluarin pelan-pelan,” perintahnya dengan suara yang sangat lembut. Aku menurut dan melakukan apa yang diperintahkannya.Usai melakukan itu, ia lalu memasang infus di punggung tanganku. Rasa nyeri ketika ia menusukkan jarum, sudah tak dapat kuras