29"Ken, mau pesan apa?" tanya Bang Wawan, pemilik kedai bakso paling enak sekampus. "Kayak biasa, Bang," jawabku. "Plus baksonya aja satu, nggak usah pake bawang daun," sambungku yang dibalasnya dengan anggukan. "Ken, mau bikin foto di kafenya kapan?" tanya Willy yang duduk di seberang, berderet dengan Ijan dan Sandy, sedangkan Humaira dan Tie duduk di samping kananku. "Sabtu pagi kita ada kuliah, beres itu langsung ke sana. Jadi pas karyawan datang itu kita udah beres," sahutku. "Mana bisa cuma satu jam, pemotretan itu pasti lama," timpal Aleea. "Yang bagian dapur aja dulu, Lea. Habis itu pindah ke dekat panggung. Kata Bang Ali, aku juga harus bikin video pendek buat mempromosikan kafe dan band kami," ungkapku. "Kayaknya seru, aku boleh lihat?" tanya Tie. "Boleh, tapi harus jajan, ya, nggak enak aku kalau kalian cuma nongkrong doang," paparku. "Sip, sekalian aku mau nyoba menu makan siang di sana. Kemaren lihat sekilas di akun kafe, ada menu baru," imbuh Tie. "Dan ada dua p
30Aku tiba di toko kue beberapa menit sebelum jam setengah sembilan. Asistennya Mama yang bernama Mbak Titin tengah sibuk mengelap etalase. Aku menyapanya sambil menjulingkan mata dan membuatnya memekik kemudian menggerutu tidak jelas. Aku meletakkan tas ransel ke meja kasir sebelum membuka ritsleting benda hitam itu dan mengambil celemek khusus untukku yang bergambar gitar serta mikrofon. Warnanya yang hitam seakan-akan berpadu dengan t-shirt krem dan celana jin hitam yang dikenakan.Aku mengikat tali celemek ke belakang sembari bercermin melalui benda besar yang digantungkan di belakang meja kasir. Tempat itu menjadi favorit para tamu karena tanpa sadar mereka akan mengamati penampilan, bahkan ada yang menumpang untuk berdandan bila kebetulan tengah dikejar waktu harus tampil keren seusai membeli kue. Aku memindai sekitar untuk mengira-ngira apa yang harus dilakukan terlebih dahulu. Akhirnya diputuskan untuk mengecek barang dagangan sekaligus meneliti masa kadaluarsa. Aku mengamb
31Waktu terus bergulir, hingga tibalah waktunya menutup toko. Kami bertiga bekerjasama merapikan ruangan dan mengecek semua lampu serta kunci, baru kemudian aku dan Mbak Titin memasuki mobil karena tadi Papa memakai motorku. Mobil sedan mungil melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan sangat padat dan ramai kendaraan karena hari Jumat ini adalah hari keramat bagi semua pekerja kantoran. Banyak dari mereka yang berasal dari luar kota dan pinggiran Kota Jakarta akan berbondong-bondong menuju tempat asal masing-masing. Mbak Titin berhenti di perempatan jalan sebelum belokan menuju kompleks perumahan, selanjutnya dia akan berjalan kaki memasuki sebuah gang sempit di antara deretan rumah toko karena rumahnya berada di tempat itu. "Besok kita ketemu di mana?" tanya Aleea. "Di kafe aja. Dari kampus aku langsung ke sana," sahutku. "Celemeknya pake yang tadi?" "Nggak, aku punya satu lagi, beda warna doang, gambarnya sama.""Topinya harus matching dong." "Pake yang ada aja deh. Nggak semp
32Suasana ruang tamu rumah orang tuanya Aleea terasa mencekam. Om Yoga dan Tante Anita duduk berdampingan di sofa berukuran sedang. Sementara aku dan Aleea duduk bersebelahan di sofa hitam panjang dengan jarak dua jengkal. Tidak berani berdempetan karena pasti akan membuat Om Yoga marah. Aku saat ini berharap punya ilmu menghilang agar bisa luput dari tatapan tajam pria yang diketahui berusia lima puluh lima tahun tersebut. Keringat dingin sudah mengucur dari kepala sejak beberapa menit lalu hingga membasahi punggung. Peluh di dahi juga sudah beberapa kali diseka agar tidak meluncur ke mata dan membuat Om Yoga tahu bila aku tengah ketakutan. "Jadi, kalian berkomitmen untuk saling membantu agar tugas Kenzo bisa dituntaskan tepat waktu?" tanya Om Yoga sembari memandangiku dan Aleea bergantian. "Iya, Om," jawabku mewakili Aleea. "Aleea, apa yang kamu pikir sampai-sampai ngebelain Kenzo sebegitunya?" tanya Om Yoga yang membuat nyaliku menciut. "Jangan terbuai rayuan, apalagi kamu itu
33Kala aku membalikkan badan, Aleea ternyata ikut jalan bersama. Langkah kaki kami seolah-olah diatur secara bersamaan hingga kami tiba di depan pagar rumahnya yang segera dibukakan lebar-lebar oleh satpam. "Kamu masuk aja, nanti papamu bakal marah lagi," tuturku saat Aleea ikut menunggui kedatangan ojek pesananku."Budu! Kesel aku sama Papa," ungkapnya sebelum mengerucutkan bibir. "Jangan gitu, beliau benar, kok. Aku harusnya nyadar diri untuk nggak jatuh cinta sama kamu karena keluarga kita nggak sebanding." "Kamu jangan ngoceh macam-macam, Ken. Aku nggak suka!" Aku yang hendak menyanggah akhirnya memutuskan untuk menutup mulut rapat-rapat daripada suasana hatinya akan kian memburuk. Aku meraih jemari tangan kanan Aleea dan menggengam dengan erat. Berharap rasa sayang yang kupunya bisa disalurkan agar dia tahu bila cinta ini benar-benar tulus dan bukan seperti tuduhan papanya. Selama beberapa saat kami diam dan tangan tetap bergenggaman. Aku kehabisan kata-kata untuk menyenang
34Malam menjelang menggantikan senja. Aku bergegas menunaikan salat Magrib, kemudian merapikan diri serta kembali menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh. Aku berkaca dan bergaya sedikit, lalu mengembangkan senyuman yang kuyakini kian mempertegas ketampanan. Saat hendak menuruni tangga, aku sempat melirik ke ruang kerja dan terpaku kala melihat siapa tamu yang tengah mengobrol bersama Kang Rian. Sebelum pria paruh baya itu menyadari kehadiran, aku segera menuruni tangga sambil memegangi pinggirannya dengan erat. Sesampainya di lantai bawah aku melangkah menuju dapur dan menuangkan minuman untuk diri sendiri serta meneguknya hingga habis. Aku benar-benar ngeri bila nanti sang tamu turun dan akan mengomeli anaknya. Akan tetapi, setelah aku berada di dekat panggung barulah aku sadar bila tamu tadi datang bersama istrinya dan seorang perempuan muda yang kukenal sebagai kakaknya Nin, yaitu Kak Rita. Aleea melambaikan tangan dan aku bergegas menghampiri serta menyalami Tante Anita dengan
35Pagi ini seusai salat Subuh aku menyempatkan diri untuk berolahraga. Jalan kaki bersama Kai, sebelum kami berlari karena dikejar anjing liar yang terganggu dengan seseorang yang sialnya berada di belakang kami. Saat orang itu lari menerobos, aku dan Kai menoleh ke belakang serta spontan mengayunkan tungkai lebih cepat menjauhi anjing putih moncong kuning tersebut. Setelah tiba di ujung blok belakang barulah kami berhenti sambil bercekak pinggang dan mengatur napas yang ngos-ngosan. Pria yang tadinya berada di belakang itu juga ikut beristirahat sambil menyeka lehernya dengan tangan. "Sorry, kalian jadi ikutan lari," ucapnya sembari memandangiku. "Anjing itu kayaknya lagi sensitif, aku nggak ngapa-ngapain, cuma bersin dekat dia, ehh, langsung ngejar," sambungnya. "Kamu bersin kena dia kali," sahutku. "Nggak tau deh. Pokoknya dia langsung gonggong dan ngejar." Pria itu menegakkan tubuh dan mengulurkan tangan, kemudian berkata, "Kenalin, aku Rama.""Kenzo," jawabku sembari menjaba
36Suasana ramai di ruang terbuka ini membuatku gerah hingga membuka dasi dan satu kancing bagian atas kemeja agar angin bisa menembus ke kulit. Selain aku, anggota grup band yang berjumlah tujuh orang itu juga kegerahan, terutama karena kami tidak diberikan tenda dan hanya mengandalkan rerimbunan dedaunan yang letaknya tepat di atas panggung. Entah sudah berapa botol air minuman kemasan yang habis kuteguk, tetapi rasa kering di leher hanya terobati sedikit. Bila nanti konser di acara seperti ini, aku harus menyediakan topi lebar yang digunakan saat istirahat, kalau perlu bawa payung besar untuk melindungi diri agar kulit tidak gosong. Aku sadar diri tidak berkulit putih atau kuning langsat, tetapi kulit eksotis ini membuat tampilanku kian manis.Penyanyi pria yang bernama Lucas ternyata benar-benar tidak bisa menyanyi karena suaranya hilang akibat radang. Aku dan dua penyanyi perempuan lainnya bahu-membahu menggantikan tugas Lucas. Beberapa kali aku memancing interaksi penonton deng