Share

2

                Tangan Lusia bergetar, meski udara di dalam bar cenderung hangat. Lusia bergetar bukan karena kedinginan. Gadis mungil itu masih ketakutan, dan bergetar karenanya.

                Laki – laki yang menolong Lusia dan membawanya ke dalam bar tengah pergi ke dapur. bar ini benar benar baru di buka dan belum ada orang yang berdatangan. Ini menguntungkan bagi Lusia. Tapi ia tak bisa berhenti was – was.

                Dengan tangan yang bergetar, Lusia berusaha meminum susu hangat. Ia meminumnya seteguk demi seteguk. Dan tak terasa setengah gelas susu sudah masuk ke perut Lusia.

                “Apa kamu lapar?” tanya laki – laki itu, ia keluar dari bangsal yang ia jadikan dapur dan membawa nampan dengan setangkup roti dan beberapa makanan lainnya.

                Lusia sudah tidak peduli lagi dengan rasa malu, ia mengangguk cepat begitu di tanya apakah dia lapar. Dan laki – laki itu tersenyum melihat respon Lusia.

                “Aku membuatkan roti panggang, dengan sosis dan saus.” Tambahnya, ia duduk di kursi yang bersebrangan dengan Lusia dan mereka hanya di pishakan oleh meja bar.

                Laki – laki itu mendorong nampan ke arah Lusia, dan Lusia terlihat sangat kelaparan. Itu sangat jelas dengan cara Lusia melihat setangkup roti itu dengan liur yang hendak menetes.

                “Makanlah, tak perlu sungkan.” Ucapnya, laki – laki itu duduk dan mengamati cara Lusia makan. Ada senyuman puas di bibirnya ketika Lusia sudah menghabiskan setengah roti kurang dari satu menit.

                “Namaku Brent.” Ucapnya memperkenalkan diri.

                Lusia hampir tersedak roti, ia segera menghentikan kunyahannya dan menyalami Brent, “Lusia. Panggil saja Lucy atau apapun....” Lusia berbicara terbata bata karena mulutnya masih penuh dengan roti, bahkan saus menempel di bibir Lusia.

                Brent tersenyum tipis, “Nama yang cantik,” puji Brent. Lusia mengangguk dan berterima kasih. Lusia dengan lahap menghabiskan roti itu, perut yang tadinya meronta ronta kini sudah menyang terisi makanan.

                “Terima kasih Brent, atas pertolongan dan juga makananya.” Lusia takt au harus berterima kasih dengan apa. Tapi yang jelas, Brent adalah orang paling baik yang Lusia temui seumur hidupnya.

                “Sama – sama, aku hanya membantu.” Ucap Brent dengan entengnya, ia kemudian mengisi gelas Lusia dengan susu lagi. “Ngomong – ngomong Lusia, kenapa kamu berlari tengah malam begini?”

                Lusia menundukan kepalanya, akan sulit menceritakan tentang ini pada Brent, tapi karena hati kecil Lusia mengatakan kalau Brent adalah orang baik, Lusia tak punya alasan lain untuk menutupi dari Brent.

                “Aku kabur dari rumah.” aku Lusia.

                Gerakan tangan Brent yang sedang mengisi gelas dengan susu terhenti.

                Brent dengan tampangnya yang terkejut, menatap Lusia.

                “Sungguh, aku baru saja kabur dari rumah setelah memukul Ayah tiriku dengan batu bata..... “ aku Lusia.

                Ketakutan yang menyergap, membuat Lusia menahan air mata. ia takut di penjara, tapi Lusia juga tak ingin kembali ke neraka yang di namakan keluarga.

                Tanpa sadar, Lusia sudah menangis dan ketakutan. Tanpa sadar, tangan Brent terulur dan mengusap pundak Lusia.

                “Tenanglah Lusia, aku percaya, gadis sebaik kamu punya alasan melakukan hal seperti itu....” Brent berusaha menenangkan Lusia.

                Lusia mengangguk, ia mengusap air matanya, “Dia- dia hendak melecehkanku.... “ dan setelahnya, tangis Lusia benar – benar pecah.

                Brent tak terkejut dengan pengakuan Lusia barusan, “Kenapa keluargamau sangat jahat?”

                Lusia menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tau. Aku hanyalah anak angkat di keluarga itu, aku sudah sering mendapatkan perlakuan buruk sejak kecil.”

                Brent menarik bibirnya dengan kecut, “Nampaknya mereka bahkan mengadopsi tanpa memberikan kasih sayang.” Celetuk Brent.

                “Aku takut, sangat ketakutan..... “

                Lusia memeluk dirinya sendiri, ia tak tau tempat untuk bersembunyi. Gadis kecil itu sedang mencari tempat berlindung di dunia yang luas tanpa adanya tujuan.

                “Lusia, tempat ini sangat berbahaya.”

                “Aku tidak tau.”

                Brent menarik diri dari Lusia, ia duduk dan menadahkan tangan untuk menangkup dagunya. Mereka saling bertatapan.

                Lusia mengedipkan matanya, ia tak pernah berinteraksi dengan orang asing sebelumnya.  Entah kenapa, jantung Lusia berdetak lebih cepat. Aneh.

                “Kamu tau, melihat dari latar belakangmu dan juga cara keluargamu memperlakukan kamu serta ayah tirimu yang bajingan itu.... “ Brent berhenti berbicara. Ia membuat kontak mata dengan Lusia. Untuk waktu yang cukup lama.

                Lusia meneguk ludahnya, ketika Brent tersenyum tipis. Kemudian, setelah cukup lama terdiam. Brent kembali berbicara.

                “Meskipun kamu menghilang, sepertinya keluargamu itu takan repot – repot mencarimu.”

                Brent mengedipkan sebelah matanya, memberikan kode yang tak Lusia mengerti.

                Kening Lusia bertaut, ia dengan jelas melihat senyuman Brent berubah menjadi seringai yang mengerikan untuk Lusia lihat.

                Dan ini sudah sangat terlambat bagi Lusia untuk lari, matanya terpejam pelan dan sepenunya, Lusia tak sadarkan diri.

***

                Lusia merasakan kakinya tak bisa di gerakan, kaki yang semua terkilir itu kini terikat akan sesuatu. Tapi Lusia tidak bisa membuka mata. Matanya di tutup oleh kain hitam. Lusia berusaha meronta untuk melepaskan ikatan tangan dan kakinya.

                Usaha Lusia sia – sia. Ia tak bisa melepaskan simpul pengikatnya.

                Dan sayup – sayup, Lusia mendengar langkah seseorang. Ah tidak. Dua orang. Karena Lusia mendengar mereka bercapak – cakap.

                Dengan cepat, Lusia berhenti meronta. Ia berpura  pura masih tak sadarkan diri.

                “Dia kabur dari rumahnya,” ucap sebuah suara yang Lusia kenali sebagai suara Brent.

                “Aku yakin, ini akan sangat mudah untuk menghilangkan jejaknya. Orang – orang takan mencium jejaknya.” Jelas Brent dengan nada bangga akan keahliannya menculik dan menyembunyikan Lusia.

                Lusia menggigit lidahnya, ia tak menyangka jatuh ke tangan orang jahat yang berpura – pura menjadi orang baik.

                “Apa dia cantik?” tanya suara lain yang tak Lusia kenali.

                “Sangat cantik,” sahut Brent dengan cepat, ia tak perlu lagi meragukan kecantikan Lusia. Bahkan meskipun baru ia temui pertama kali.

                “Apa yang kamu berikan padanya?” tanya si suara asing itu.

                Brent mendecakan lidahnya dengan kesal, “Aku tidak akan membuatnya mati. Barang dagangku harus dalam keadaan baik bukan?”

                Barang dagang? Lusia merinding dengan perumpamaan yang Brent tujuka untuknya. Barang dagang? Lusia tak hanya jatuh ke tangan orang jahat, tapi bisa saja lebih dari itu.

                Lusia jatuh ke kelompok perdagangan manusia.

                Apa mereka akan membunuhku? Seruan panik Lusia di dalam hati.

                Tapi Lusia masih berpura – pura tak bergerak, sementara telinganya ia pasang dengan lamat lamat.

                “Aku senang kamu memperhatikan barang tranksaksi kita.” Ucap laki laki asing yang belum Lusia ketahui rupanya.

                Brent semakin senang.

                “Berapa yang kamu tawarkan untuknya?”

                Brent mematung, nampak sedang menimang nimang harga yang layak untuk gadis berparas Ayu seperti Lusia ini.

                “Sulit, sangat sulit.... “ gumam Brent dengan bimbang, “Aku baru saja menemukan barang bagus dan kalian adalah pelanggan setiaku.”

                Lusia menelan ludahnya dengan kelu, baru kali ini ia mendengarkan tawar menawar. Lusia biasa mendengar para Ibu yang saling tawar menawar barang di pasar. Sekarang, Lusia mendengarkan transaksi tawar menawar untuk membelinya.

                “Dia gadis yang cantik, Tuan – mu itu pasti akan sangat menyukainya.” Brent dengan sangat percaya diri, menambah nilai tambah Lusia.

                “Itu sedikit mustahil, Tuan – ku adalah orang yang sangat pemilih.” Sangkalnya.

                “Yah memang,” Brent menyetujui. Kliennya ini memang sangat sulit untuk di mengerti.

                Jadi, bukan dia bossnya? Batin Lusia semakin gentar, saat mendengar Tuan  di sebut sebut.

                “Tapi meski begitu, aku sangat yakin dengan barang dagang saat ini. Aku berikan dua puluh juga dollar.”

                Brent tau, lawan bicaranya itu hampir saja menjatuhkan bola matanya saat mendengar tawaran Brent yang tak masuk akal itu. Lusia bahkan hendak memekik karena tak menyangka dirinya di jual dengan harga sebesar itu. Lusia bukannya bangga, tapi ia tak pernah melihat uang lebih dari dua puluh lima dollar.

                “Kamu terlalu percaya diri dengan tawaranmu.”

                “Aku penjual, aku akan mencari keuntungan paling tinggi. Kalau Tuan – mu itu tidak puas dengan barang dagangku kali ini, kembalikan saja barang dagangku padaku. Aku akan dengan senang hati menerimanya.”

                Selesai dengan ucapannya, Brent di hadiahi tatapan memusuhi dari lawan bicaranya itu.

                “Jaga omonganmu, Tuanku tidak menyukai barang bekas, termasuk yang sudah di sentuh orang lain.”

                Brent tau lawan bicaranya tengah terbakar emosi, ia mengangkat tanganya ke udara, “Sabar... sabar. Kita bisa selesaikan tranksaksi ini dengan tenang, karena aku hanya becanda.”

                “Dan itu tidak lucu.”

                Brent menaikan alisnya, “Tentu saja. Melihat dari bagaimana reaksimu barusan, candaanku jauh dari kata lucu.” Ucap Brent mengakui.

                Brent beralih, ia melirik ke arah lusis yang terbaring di atas dipan dan tak bergerak. Brent mengikatnya dengan sangat kencang. Dan Brent sangat yakin, simpul ikatan itu akan meninggalkan jejak kemerahan begitu di lepaskan.

                “Dua puluh juta dollar, dan tidak ada tawaran lain. Atau Tuanmu tidak akan mendapatkan apa apa dariku.”

                Brent tersenyum berseri – seri sembari menghadap lawan bicaranya. Senyum yang ia jadikan penutup tranksaksi.

                Brent melangkah pergi, meninggalkan lawan bicaranya itu. Ketika tawaran sudah di tutup. Brent takan membuka tawaran lagi. Dan ia takan perlu repot – repot untuk mencari pelanggan lain.

                Hening. Tak ada tawaran atau kesepakatan. Tapi Brent masih berjalan tenang. Di langkah ketujuhnya. Brent bisa tersenyum puas.

                “Baiklah. Dan kamu bisa mengecek rekeningmu sekarang juga.”

                Brent langsung berbalik dan memasang senyum paling bersahabat yang bisa ia tunjukan.

                “Hah tentu saja, mana mungkin Tuan Aaron takan pernah kehabisan uang.” Ucap Brent.

                Ia kemudian meregangkan jari jemarinya, “Akan aku siapkan barangnya. Sekarang juga.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status