“Shalat dulu.” Aku kembali hendak beringsut pergi. Sepasang matanya terbuka lalu menatapku dengan sayu. “Maaf untuk sore tadi. Apa kamu marah?” Aku bergeming. Kukira dia tak sadar akan perubahan sikapku. Rupanya dia pun tahu. Namun aku ingin mendengar versi lengkapnya.“Maaf untuk apa?” tanyaku sok polos dengan memasang wajah tanpa dosa. Namun bukannya jawaban yang kuterima, tapi sebuah kecupan yang dia labuhkan pada keningku dengan pelukan yang kian erat. “P--Pak, saya engap.” Aku berusaha mendorong dada bidangnya. Dia terkekeh lalu melepas bibirnya yang sejak tadi menempel lama pada keningku. “Maaf.”Hanya itu kata yang dia ucapkan sebelum akhirnya pelukannya perlahan dia urai. Aku pun segera menarik diri. Jujur, senyum tak bisa kusembunyikan. Rasanya perlakuannya barusan benar-benar membuatku merasa bahagia. Sayangnya, dia tak seperti Bara yang ekspresif. “Ah … Bara lagi. Buat apa pula pandai mengungkapkan kata-kata cinta dengan ucapan, kalau faktanya menyakitkan. Heyyy, move o
Aku melongo dibuatnya. Tak menyangka kalau dia datang ke sini hanya untuk mendukung aku kembali dengan Bara. Lalu, dia sebahagia itu mendengar adik sepupunya mau bercerai? Kakak macam apa sebetulnya dia? “Terima kasih atas perhatiannya, Bu Misye. Cukup kaget juga, saya kira Bu Misye sedih kalau sepupunya berpisah, rupanya malah mendukung saya dengan orang yang sedang saya lupakan. Hmmm ... apa ada lagi yang ingin dibicarakan, saya buru-buru soalnya.” Aku sudah berdiri ketika mengucapkan kalimat itu. Semoga dia paham membaca gesture tubuh. Aku tak ingin berlama-lama dengannya. Namun dia malah bicara lagi. "Saya hanya kasihan dengan Rani saja. Dia hanya memiliki raga suaminya, tapi hatinya milik mantannya."Aku tertegun sejenak. Gak nyangka dia akan bicara seperti itu."Setiap orang punya masa lalu, tapi hidup tak berjalan mundur. Sebaiknya semua orang bertanggungjawab atas pilihan hidupnya masing-masing. Termasuk, Bara, Rani, Bu Misye dan Saya. Hmmm, saya buru-buru, permisi."Hanya
“Astagaaa!” Aku yang sadar kalau hanya mengenakan lilitan handuk, hendak masuk kembali ke kamar mandi. Namun, suaranya menghentikkan langkahku. “Jingga … s--saya ….” Suaranya menggantung, membuatku menoleh kembali dan menatap wajahnya. Dia berjalan mendekat dengan tatapan mata yang membuatku berdebar hebat. “Nanti saja bicaranya, Pak. Saya dingin, belum pake baju.” Aku hendak menarik pintu kamar mandi ketika dia menahanku. “Jingga, bolehkah?” Suaranya kudengar sedikit parau. Kulihat dia tak berkedip menatapku dengan napas yang sedikit memburu.Glek!Aku menelan saliva. Aku bukan orang yang begitu polos sehingga tak paham arti tatapannya saat ini. Namun, logikaku menolak. Jangan-jangan dia hanya menginginkannya karena tak kesampaian dengan mantannya itu. Mereka kan habis pergi bareng tadi. Hanya saja, belum sempat aku mengatakan apa-apa. Jarak sudah terpangkas habis. Bibir itu terasa lembut menyentuh kulit polosku.“P--Pak, t--tolong, jangan sekarang.” Aku berusaha memberontak. Namu
Oh, jadi deru mobil yang sore itu, bukan Pak Banyu yang pergi nganter lagi? Tapi Bu Misye dijemput? Pantesan dia sudah ada di kamar dan nungguin aku mandi. Mana lama sekali. Kok aku jadi malu sendiri. Aku menunduk dalam. Rasanya wajahku memanas. Malu sudah salah paham. Apalagi tadi sempat bicara soal perceraian. Duh, Pak Banyu ngerti gak ya kalau tadi itu aku cemburu?Diam-diam kucuri-curi pandang. Namun dia tampak asik mengunyah dan terlihat biasa saja. “Dasar es batu!” gumamku seraya ikut menyendokkan makanan ke mulut. Setelah mendengar semuanya dari Bu Fera, rasanya beban yang tadi berkelindan, kini lebih ringan. Ah, sudah sebucin itukah aku padanya? Usai makan malam aku tak langsung ke kamar. Rasanya aku masih tak punya muka untuk bertatap langsung dengan Pak Banyu. Kemarahanku sore tadi, jelas-jelas menunjukkan kalau aku cemburu. Gimana kalau dia tahu? Malu, benar-benar malu. “Bu, biar Bibi saja.” Bi Sesa tampak sungkan ketika aku sibuk membereskan piring bekas makan malam.
Pov BanyuDi kantor sedang sibuk-sibuknya. Hari ini ada persiapan kunjungan dari kemenaker. Alhir-akhir ini tengah ada kendala ketika mengajukan perijinan dokumen lartas untuk import. Beberapa persyaratan memang cukup complicated. Entah kenapa, pemerintah begitu membatasi import bahan untuk tekstil. Bahkan sudah dua bulan lebih, Alea---staff bagian ekspor import bolak-balik ke kemenaker dan juga disperindag untuk mengurusi kelengkapan dokumen. “Kemarin saya sudah submit untuk dokumen VKI (Verifikasi Kemampuan Industri), hanya saja seperti biasa, approvalnya kan memang lama, Pak. Dulu saja sudah nunggu satu bulan, eh ditolak pula.” “Berapa lama kita menunggu? Permintaan naik banyak untuk model ini bulan depan! Dibantu dipercepat untuk import bahannya, ya!” “Baik, Pak! Selalu saya pantau dan follow up!” “Terima kasih.” Alea mengangguk, lalu bangun dan meninggalkan ruang meeting. Aku pun gegas beranjak menuju ruanganku. Di sinilah setumpuk pekerjaan lain sudah sedang menanti. Dulu,
Beberapa hari berlalu sudah dari pertemuanku dengan Bu Misye. Meskipun kalimat itu masih terngiang, tapi sudah tak terlalu kupikirkan. Masalah dia yang minta ketemuan dengan Aluna, aku pun tak bisa melarang. Mereka ibu anak, meski sebetulnya aku merasa sedikit keberatan karena seringnya itu. Hanya saja masalah Pak Banyu dan tukar pasangan, aku tak setuju. Kenapa semudah itu dia bicara. Apa dia pikir pernikahan ini hanya sebuah permainan? Lalu setelah bosan boleh semaunya bertukar pasangan?Tidakkah dia berpikir, jika janji yang terucap saad akad itu suci? Apa memang demikian pemikiran manusia modern seperti dia. Entahlah … yang jelas ketika aku sudah melangkah dan mengambil keputusan, maka kecuali takdir benar-benar berkata lepaskan, aku tak akan melepaskan. “Pak, hari sabtu dan minggu, Imelda minta dibantu untuk pengurusan pensi untuk kenaikan kelas dan perpisahan. Apa boleh?” Aku tengah menyematkan jarum pentol sambil berdiri di depan cermin. Sementara itu, Pak Banyu baru keluar
“Buket Mawar? Dari siapa?” selidiknya. Ekspresinya terlihat datar.“Ahm, gak ada nama pengirimnya, Pak.” Aku membolak-balikkan buket bunga mawar ini. “Kok bisa? Dari mantan?” Dia mendekat sambil memicingkan mata. “Sepertinya bukan?” Aku menggeleng kepala sambil memikirkan siapa kira-kira orang yang sudah mengirimiku bunga. “Kenapa bisa berpikir begitu?” Pak Banyu menatap mataku. “Bara tahu, saya tak suka mawar, apalagi buket seperti ini. Saya sukanya anggrek itu pun sama pot-potnya.” Aku menjelaskan padanya agar dia tak salah paham. Mungkin ini ulah orang iseng yang hendak menggangguku. Yang jelas, seribu persen yakin jika buket bunga ini bukan dari Bara.Dia tertegun, lalu ngeloyor pergi. Wajahnya malah terlihat tak suka ketika aku menjelaskan. Padahal kan kubilang mungkin bukan dari mantan seperti yang dia tuduhkan, kenapa dia malah kayak gak suka gitu. Keesokan harinya, aku pulang agak siang. Baru saja selesai mandi, ketika pintu diketuk.“Bu, Bu Jingga!” Suara Bi Sesa. Lekas
Pov Banyu“Pak, kita mau ke mana?” tanya Jingga lagi ketika aku menariknya ke dalam mobil. Kulempar buket bunga itu ke jok belakang degan kesal, lalu menoleh padanya, “Masuk!” titahku. Masih saja dia memanggilku Bapak. Setelah dia masuk. Lekas aku mengemudikan mobil dengan kecepatan agak kencang. Satu kali, dua kali, rasanya masih wajar. Mungkin ada orang yang ingin mengucapkan terima kasih padanya dengan mengirimi buket bunga mawar. Namun, apa tadi? Bahkan ada tulisan menyebalkan. [To : My Lovely Jingga. From : Your Secret Admirer.] Siapa sebetulnya yang mengirimkan buket bunga itu? Tiba-tiba dia mengatakan kalau dia pemuja rahasia. Lalu berani-beraninya dia memuja istri orang? Jingga terus menerus bertanya kemana akan pergi. Namun, aku enggan menjawab. Kuinjak gas saja. Tujuanku kali ini ke florist di mana tadi kurir itu menyebutkan alamatnya. Kurir itu memang tak akan tahu pasti siapa pengirimnya? Namun, toko bunganya harusnya tahu.Florist tersebut tak terlalu jauh dari temp