Pov Banyu“Pak, kita mau ke mana?” tanya Jingga lagi ketika aku menariknya ke dalam mobil. Kulempar buket bunga itu ke jok belakang degan kesal, lalu menoleh padanya, “Masuk!” titahku. Masih saja dia memanggilku Bapak. Setelah dia masuk. Lekas aku mengemudikan mobil dengan kecepatan agak kencang. Satu kali, dua kali, rasanya masih wajar. Mungkin ada orang yang ingin mengucapkan terima kasih padanya dengan mengirimi buket bunga mawar. Namun, apa tadi? Bahkan ada tulisan menyebalkan. [To : My Lovely Jingga. From : Your Secret Admirer.] Siapa sebetulnya yang mengirimkan buket bunga itu? Tiba-tiba dia mengatakan kalau dia pemuja rahasia. Lalu berani-beraninya dia memuja istri orang? Jingga terus menerus bertanya kemana akan pergi. Namun, aku enggan menjawab. Kuinjak gas saja. Tujuanku kali ini ke florist di mana tadi kurir itu menyebutkan alamatnya. Kurir itu memang tak akan tahu pasti siapa pengirimnya? Namun, toko bunganya harusnya tahu.Florist tersebut tak terlalu jauh dari temp
Pov Bara“Saya gak butuh bukti apapun! Hanya ingin kau tahu diri, Jingga sudah bersuami. Jauhi dia!” Lelaki itu yang konon suaminya Jingga bicara dengan penuh penekanan. “Lantas, apa yang Abang takutkan? Saya juga tak mungkin menikahi istri orang ‘kan? Kecuali jika Abang tak bisa membuatnya bahagia … saya sekarang sudah duda … sudah bebas memilih siapa saja untuk dijadikan istri saya.” Aku menyeringai. Hanya ingin tahu, sebesar apa cinta lelaki di depanku untuk Jinggaku. Kulihat wajahnya tampak gusar. “Bahagiakan dia, Bang! Jangan sampai aku memiliki kesempatan untuk benar-benar mendekatinya!” Kucium buket mawar yang entah siapa yang mengirimkannya itu. Lalu kulempar. Gegas aku melangkah masuk dan menghampiri Mama yang masih menangis meraung-raung.“Sudahlah, Ma! Mungkin hanya ada sedikit salah paham.” Aku berjongkok dan membantunya berdiri. Khawatir sangat dengan kondisinya. Entah apa yang sudah Papa lakukan sampai bisa-bisanya menjual asset-asset milik keluarga tanpa bicara pada M
Kumandang adzan maghrib terdengar ketika Pak Banyu masih bersitegang dengan Bara. Malas aku melihat mereka. Apalagi pandangan Bara, hanya mengingatkan aku tentang luka. Lekas aku keluar dan berjalan cepat menuju masjid di komplek ini. Biar saja Pak Banyu mencariku. Sesekali buat shock terapi agar tak semena-mena. Masjid itu masih sama … saksi penggalan kisah masa lalu. Kisah kasih yang berakhir pedih. Dulu, ketika beberapa kali aku ke rumah Bara, selalu menyempatkan diri shalat di masjid ini. Walaupun imanku masih setipis tissue, tapi untuk urusan shalat bagiku itu nomor satu. Ah, kadang … ketika kisah cinta ini berakhir aku menganggapnya sebagai teguran. Bukankah dalam Islam tak diperbolehkan berpacaran? Hanya saja, gejolak jiwa mudaku menentang. Aku dan Bara tetap menjalin kasih, meskipun pada akhirnya kandas juga.Pelataran masjid ini cukup luas. Di tepian pagarnya yang berdiri kokoh, banyak penjual jajanan yang mengais rejeki. Dulu, kerap Bara membelikanku jajanan di sini. Berbau
Suara gemericik air shower masih terdengar ketika aku baru saja bangun. Rasa lelah terasa di sekujur tubuh. Pakaian masih berserakan tak karuan. Aku menarik selimut untuk membungkus tubuh polosku dan berjalan ke arah lemari. Derit pintu kamar mandi terbuka. Wajah segar suamiku muncul dengan rambut basahnya. Senyum terulas sekilas ketika dia melihatku masih bergulung dengan selimut. “Pak, hair dryernya rusak, loh!” tukasku seraya mengambil beberapa helai pakaian untuk hari ini ngajar. Ingat kemarin, pengering rambut gak fungsi. “Oh, ya?” “Hmmm … iya. Gimana, ya, Pak?” “Bingung banget, emang kenapa?” “Gak apa. Lupakan saja.” Aku memutar bola mata ke atas, lalu mencebik sendirian. Masa iya aku harus bilang malu kalau Bu Fera lihat rambutku yang basah? Namun tak lama kudengar kekehan dan sosok yang mendekat. Cup!Tanpa permisi, satu kecupan dihadiahkan pada pipiku. Wangi sabun dan shampoo yang menguar serta sentuhan tangannya pada pipi yang dingin membuatku gugup.“Nanti saya pinje
“Lah, enggak, Ma! Ini saja baru selesai rapat. Memangnya di sekolah gak ada?” tanyaku. “Astaghfirulloh … kata security, Una dijemput Mamanya! ” ucap Bu Fera terdengar kaget. Aku tertegun sejenak dan hati mulai menebak. “Sepertinya aku tahu siapa orangnya, Ma. Mama di mana?” tanyaku. “Ini di rumah. Tadi sudah ngasih tahu juga ke Banyu kalau Una gak ada di sekolahannya.” “Oh, oke, Ma!” Panggilan pun berakhir setelah aku mengucapkan salam. Segera kucari nomor Bu Misye. Aku tekan tombol panggil. “Pulang, yuk!” Imelda yang baru saja menyusul ke ruangan menepuk pundakku. “Duluan, gih! Ini masih ada urusan.” Aku menjawab tanpa menoleh padanya. Fokusku pada layar. Berharap Bu Misye segera mengangkat teleponku. “Ehm! Ehm! Pak Huda pulang bareng, yuk!” Beruntung ada Pak Huda. Secepat itu, Imelda sudah beralih fokus. Aku hanya melirik sekilas. Mereka pun tampak mengobrol sambil berjalan keluar. “Ck! Angkat dong!” Aku menunggu dengan cemas. Meskipun aku sudah menduga, tapi bisa jadi sal
Pov BaraSatu langkah, dua langkah, tiga langkah … Jinggaku menjauh. Pandanganku kabur, kukira hujan, padahal hanya sesak dari rasa rindu yang tertahan. Berulang kupejamkan mata, menghalau sesal. Andai dulu, andai nih, ya, dulu … ada keberanian sedikit saja, mungkin kini aku dan dia sudah bahagia. Ayo menolehlah, Jingga … menoleh ke sini. Andai kau menoleh … berarti sebetulnya kau pun sama. Cinta itu masih ada. Hanya … aku tahu. Kau adalah orang yang bertanggungjawab atas pilihanmu. Kamu pasti akan menyelesaikan semua apa yang telah kamu mulai. Satu …. Aku mulai menghitung dalam hati sambil menatap langkahnya dan lelaki yang dia sebut suami menjauh. Saling menggenggam, meremas hatiku yang pilu. Ck, kasihannya hidupku. Sudah duda, gak bisa move on pula. Sh*t!Dua …. Aku menambahkan hitungan lagi. Namun, dia tak menoleh juga. JIka sampai hitungan ketiga sama sekali dia tak menoleh padaku. Berarti aku memang beneran harus move on. Namun, jika dia melihat ke arah sini. Itu artinya …
“Iya, sistem pabrik di kita kebanyakan kontrak, Pak. Ngomong-ngomong Pak Huda kok bisa tahu nama lengkap saya, ya? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku. Akhirnya kutuntaskan juga rasa penasaran tadi. “Bu Jingga pasti gak kenal saya, tapi saya kenal kok sama Bu Jingga.” Dia terkekeh sambil terus mengemudikan sepeda motornya. “Kenal di mana, ya, Pak?” Aku benar-benar penasaran dengan sosok guru matematika baru ini. Apakah di masa lalu kami penah bertemu? Kenapa dia saja yang ingat, sedangkan aku tidak?“Kita kuliah di kampus yang sama, beda fakultas saja. Hanya bedanya, Bu Jingga itu cantik dan pintar, jadinya semua orang kenal, kalau saya, biasa saja. Jadi cuma duduk manis di pojokan.” “Pak Huda suka berlebihan. Apa kita satu angkatan?” tanyaku lagi. Aku menggeleng kepala. Namun, entahlah benar atau tidak. Aku memang seperti tak pernah melihatnya.“Beda, Bu Jingga. Saya satu tingkat di atas Bu Jingga.” Aku pun hanya mengangguk-angguk saja. Pantas dia kenal aku, dia masuk leb
“Una gak mau Unda. Una mau Mama.” Kalimat yang Aluna ucapkan tadi, entah kenapa terus menerus terngiang. Meskipun memang, sekarang Una sudah mau kuajak main lagi, pastinya setelah kubujuk dan baik-baikin. Namun, tetap saja ada rasa yang tak bisa kujabarkan dengan kata-kata. Kalimatnya tadi terus-menerus terpikirkan olehku. “Sudah, jangan terlalu dipikirkan.” Pak Banyu yang baru saja pulang dan tengah melepas kemejanya menimpali aduanku. “Iya, sih, Pak. Namanya juga anak-anak. Hanya saja entah kenapa, tetap kepikiran.” Aku bicara sambil memlihan baju ganti untuk Pak Banyu di lemari. “Kita fokus pada acara resepsi dulu. Sudah dekat.” Aku menoleh padanya. Benar, resepsi sebentar lagi. Bahkan Bu Fera sudah mulai sibuk memberikanku jadwal perawatan di sebuah salon ternama. “Iya, Pak. Hanya saja … Mama itu kok rasanya berlebihan. Masa iya harus perawatan ekstra sih, Pak?” Aku menatap padanya. “Ikutlah saja. Mama gak suka dibantah.” Pak Banyu tak memiliki solusi. “Gak biasa pergi ke