Kepalaku masih terasa berat. Perlahan kubuka mata dan memperhatikan sekitar. Ini bukan di rumah. “Alhamdulilah … akhirnya Mama sadar.” Suara lembut itu. Kumenoleh ke sebelah kanan, rupanya Jingga yang barusan bicara. Dia berjalan mendekat dan menyimpan botol air mineral yang tadi dia pegang ke atas meja kecil. “Kamu sendirian bawa Mama ke sini?” “Sama Pak Banyu, Ma.” “Oh sama Banyu, ya? Mana dia?” Aku mengedarkan pandangan.“Urus administrasi, Ma.” Aku menjawab cepat. “Oh ya sudah … ngomong-ngomong … masih saja nyebut Bapak sama suami kamu?” Aku terkekeh. Menantuku ini lucu sekali. “Ahm itu, biasanya Papa.” Dia menggaruk tengkuk sambil nyengir kuda.“Sini, Jingga. Mama mau bicara.” Aku mengisyaratkan dia untuk mendekat.“Iya, Ma.” Dia pun duduk di sampingku.“Cobalah cari panggilan yang mesra. Banyu belum terlalu tua untuk kamu panggil Aa, Akang, Mas atau Abang. Mama dulu sama almarhum Papa kamu, kalau tak ada anak di depan kami masih manggil Mas, tuh. Meskipun menurut sebagian
Pov 3 Banyu meremas kertas yang ada di depannya ketika hasil sidang dikeluarkan pengadilan. Rasa sakit dan kesal menjalar. Bagaimanapun memang usahanya hanya membuahkan hasil tipis. Dari alat penyadap yang dipasang di mobil Misye, tak ada sedikit pun petunjuk terkait kegiatan yang dia tuduhkan. Begitupun dari pantauan Bi Sesa yang sengaja dikirimnya untuk mengawasi Misye. Banyu hanya memiliki sedikit bukti foto-foto lama Misye dari Alea. Bukti yang tak terlalu menguatkan. Di mana mereka tampak terlibat dalam sebuah club dan tengah pesta minuman. “Maaf Pak Banyu. Saya sudah berusaha maksimal. Hanya saja ini semua sudah keputusan hakim. Namun, tenang saja … jika suatu saat terbukti mantan istri Anda berbuat buruk, kita bisa mengambil alih hak asuh itu lagi,” jelas Pak Roy. Banyu hanya meliriknya dingin. Tak ada tanggapan. Benar-benar kecewa berat. Memang selama Bi Sesa mengikuti Aluna di sana. Dia bilang jika Misye tak pernah kelayapan, bahkan tak pernah pulang malam. Alat penyadap y
Tadinya memang enggan turun, malas bertemu dengan Bu Misye. Hanya saja … dari balik kaca jendela mobil kulihat pakaian perempuan itu, astaghfirulloh … bahkan aku yang perempuan saja malu melihatnya. Apalagi di depannya ada lelaki yang bukan mahramnya. Aku pun memutuskan untuk keluar dan berjalan mendekat. Wajah Pak Banyu tampak serius kulihat. “Jingga sudah jadi Ibu yang baik buat dia. Kalau kamu tak bisa merawatnya sendirian, kembalikan pada kami!”Obrolan sebelumnya aku tak mendengar dengan jelas. Namun pada kalimat tersebut, terdengar jelas di telinga. Pak Banyu tengah meminta Aluna.“Aku bisa saja sih balikin Aluna ke kalian, tapi ada syaratnya, Mas!” Kali ini Bu Misye bicara. Jarakku yang menyisakkan beberapa langkah lagi membuat obrolan mereka terdengar jelas. “Syarat? Apa syaratnya?” Pak Banyu menatap mantan istrinya itu sekilas. Lalu membuang pandang. Kulihat dia melihat ke ujung meja. Pakaian Bu Misye memang membuatku yang perempuan juga tak nyaman melihatnya, “Nikahi aku
Pov BanyuBell belum berdering ketika aku sudah rapi memasukkan laptop ke dalam tas. Lekas kutenteng. Meskipun sebetulnya tak baik mencontohkan pulang cepat pada karyawan. Namun, Jingga tengah menunggu untuk menjenguk putriku yang katanya sedang sakit. Misye itu kurang ajar sekali. Anak sakit pun sampai gak bilang. “Wah, baru saja saya mau minta tanda tangan!” Aku yang baru menarik pintu kaca menatap wajah Alea yang tampak kecewa. “Banyak gak?” Aku melirik berkas yang ada di tangannya. “Lumayan sih, Pak! Ini draft MOU juga sih, Pak.” Dia menunjukkan lembar-lembar yang ada di tangannya. Kulirik jam tangan. Sudah tak ada waktu lagi. Jingga pasti sudah menungguku dari tadi. “Simpan saja di meja saya.” Dia tampak sedikit merengut. Aku tak peduli. Jadwalku sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Setibanya di rumah. Jingga sudah menunggu. Tak berlama-lama lagi, kami pun langsung menuju ke rumah Misye. Sepanjang perjalanan kulihat wajah cemasnya Jingga. Mungkin karena perempuan maennya pe
“Boleh aku sendiri yang masuk? Aku harus menemukan putriku!" Tanpa menunggu persetujuan. Aku menerobos masuk ke dalam rumah, diikuti Jingga. “Una! Una, Sayang! Ini Papa!” Kupanggil dengan suara lantang. “Una! Una! Ini Papa, Nak!” Aku terus-terus saja memekik seperti orang gila dan kesetanan. Kucari dia di ruang tengah, tapi tak ada. Kulirik mantan Ibu mertuaku yang tampak terkejut. Aku seperti orang lepas kendali. “Mana Aluna?!” Suaraku penuh penekanan. “Kamu tunggu sebentar. Ibu nanti panggilin dia. Tenang, dia ada, kok, Banyu.” “Bawa dia ke sini sekarang!” “Kalian tunggu di sini. Mama sendirian dari tadi. Papanya Misye lagi ketemuan dengan pengacara.” Aku bergeming, tak hendak menanggapi apapun. Namun, ketika langkahnya menjauh dariku. Aku dan Jingga mengekorinya. Rupanya dia menuju kamar paling belakang. Di sana setahuku tempat ART mereka dulu. Dia yang tak sadar diikuti, membuka pintu kamar itu yang dia kunci. Deg!Hati rasa terbentur godam. Tubuh kecil itu meringkuk di
Pov 3[Mas, tolong! Kamu masih bisa akses admin sosial media Mbak Misye ‘kan?] Pesan diterima oleh Huda. Nomor tersebut tak asing. Dia adalah manager Bu Misye yang dulu sempat menginterviewnya. Pertemuan secara virtual tersebut dikarenakan dengan dirinya yang melamar menjadi admin sosial media Misye. Dulu … sebelum akhirnya berubah kedudukan jadi mata-mata.[Saya akan coba. Sudah lama saya gak ngakses lagi, Mbak.] Huda menjawab pesan tersebut. [Tolong bentu lagi kerjakan sekarang, ya! Genting! Pantau akun-akun yang mungkin menandainya dengan kabar miring. Saya masih hectic. Masih cari ahli IT juga buat handel berita-berita yang mungkin berseliweran.] Huda tak paham, apa yang Mbak Vina maksudkan. Namun, tak urung juga dia lakukan. Dia tetap menurut dan mencoba mengakses akun official Misye yang memang beberapa waktu lalu dia pegang. Walaupun hatinya dipenuhi seribu tanya. Memangnya ada kejadian apa? “Kamu gak masuk lagi, Bestieee! Ya sudah deh, ya! Semoga lekas sembuh Alunanya.” Hu
Pov Banyu“Saya bilang pergi! Pergi! Tak akan pernah bisa saya memaafkan kamu jika sampai cucu saya kenapa-kenapa gara-gara ulah kamu! Pergi!” Mama memekik cukup kencang. Aku baru saja mendorong pintu ruangan rawat ketika Misye dan Mama tengah bersitegang. “M--Mas!” “Tolong jangan buat keributan!” “Aku … hanya ingin bertemu Aluna, Mas! Kata ART kamu, Aluna sakit panas.”Aku terdiam. Kulihat wajahnya tampak penuh kesungguhan. Kulirik wajah Mama, tapi dia tampak menggeleng dengan raut wajah yang menentang. Namun, aku tahu … Misye memang salah. Namun, dia tetap ibunya. Dia juga rela bertaruh dengan karir dan kehidupannya. Setidaknya aku tahu, naluri seorang Ibu yang dia miliki, belum mati.“Masuklah! Jangan buat gaduh!” Aku bergeser, sengaja memberinya jalan. “Makasih, Mas.” Misye menyeka air mata. Tetap terlihat kuyu, meskipun sebagian wajahnya ditutup masker. Tatapan matanya sayu. Semangat yang biasanya membara pun, kini tak ada. Rambutnya yang biasanya modis, kali ini disisir pun
“Setidaknya, kini Una sudah mau makan dengan lahap lagi, Jen! Sudah juga gak takut ketemu orang juga, alhamdulilah.” Satu bulan sudah aku mengajak Aluna rutin kontrol ke seorang psikolog. Meskipun belum maksimal hasilnya, tapi sudah terlihat progres yang cukup baik. Aku tersenyum ketika baru saja selesai sesi konsultasi dengan Jeni. Sebuah rumah di kawasan Karawang Kota dijadikannya kantor. Beruntung dapat antrian awal, jadinya bisa lebih dulu selesai sebelum jam makan siang. ”Ya Alhamdulilah, Jingga. Kamu juga jangan kebanyakan pikiran, ya! Noh kasihan yang dalam perut!” tukasnya seraya melirik perutku yang sudah menyembul dari balik gamis. Aku tersenyum sambil mengusap perutku. Biasanya dia akan nendang. Tuh 'kan bener? “Insya Allah.” Hanya itu yang kuucapkan. Kugamit tangan Una dengan hangat. Aku ingin dia tahu, kalau ada aku untuknya. Dia tak sendirian. Meskipun kini dia masih jadi pendiam, tapi setidaknya … dia sudah sedikit tenang. Berbeda seperti awal-awal, melihat Mang Par