Pov BanyuBell belum berdering ketika aku sudah rapi memasukkan laptop ke dalam tas. Lekas kutenteng. Meskipun sebetulnya tak baik mencontohkan pulang cepat pada karyawan. Namun, Jingga tengah menunggu untuk menjenguk putriku yang katanya sedang sakit. Misye itu kurang ajar sekali. Anak sakit pun sampai gak bilang. “Wah, baru saja saya mau minta tanda tangan!” Aku yang baru menarik pintu kaca menatap wajah Alea yang tampak kecewa. “Banyak gak?” Aku melirik berkas yang ada di tangannya. “Lumayan sih, Pak! Ini draft MOU juga sih, Pak.” Dia menunjukkan lembar-lembar yang ada di tangannya. Kulirik jam tangan. Sudah tak ada waktu lagi. Jingga pasti sudah menungguku dari tadi. “Simpan saja di meja saya.” Dia tampak sedikit merengut. Aku tak peduli. Jadwalku sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Setibanya di rumah. Jingga sudah menunggu. Tak berlama-lama lagi, kami pun langsung menuju ke rumah Misye. Sepanjang perjalanan kulihat wajah cemasnya Jingga. Mungkin karena perempuan maennya pe
“Boleh aku sendiri yang masuk? Aku harus menemukan putriku!" Tanpa menunggu persetujuan. Aku menerobos masuk ke dalam rumah, diikuti Jingga. “Una! Una, Sayang! Ini Papa!” Kupanggil dengan suara lantang. “Una! Una! Ini Papa, Nak!” Aku terus-terus saja memekik seperti orang gila dan kesetanan. Kucari dia di ruang tengah, tapi tak ada. Kulirik mantan Ibu mertuaku yang tampak terkejut. Aku seperti orang lepas kendali. “Mana Aluna?!” Suaraku penuh penekanan. “Kamu tunggu sebentar. Ibu nanti panggilin dia. Tenang, dia ada, kok, Banyu.” “Bawa dia ke sini sekarang!” “Kalian tunggu di sini. Mama sendirian dari tadi. Papanya Misye lagi ketemuan dengan pengacara.” Aku bergeming, tak hendak menanggapi apapun. Namun, ketika langkahnya menjauh dariku. Aku dan Jingga mengekorinya. Rupanya dia menuju kamar paling belakang. Di sana setahuku tempat ART mereka dulu. Dia yang tak sadar diikuti, membuka pintu kamar itu yang dia kunci. Deg!Hati rasa terbentur godam. Tubuh kecil itu meringkuk di
Pov 3[Mas, tolong! Kamu masih bisa akses admin sosial media Mbak Misye ‘kan?] Pesan diterima oleh Huda. Nomor tersebut tak asing. Dia adalah manager Bu Misye yang dulu sempat menginterviewnya. Pertemuan secara virtual tersebut dikarenakan dengan dirinya yang melamar menjadi admin sosial media Misye. Dulu … sebelum akhirnya berubah kedudukan jadi mata-mata.[Saya akan coba. Sudah lama saya gak ngakses lagi, Mbak.] Huda menjawab pesan tersebut. [Tolong bentu lagi kerjakan sekarang, ya! Genting! Pantau akun-akun yang mungkin menandainya dengan kabar miring. Saya masih hectic. Masih cari ahli IT juga buat handel berita-berita yang mungkin berseliweran.] Huda tak paham, apa yang Mbak Vina maksudkan. Namun, tak urung juga dia lakukan. Dia tetap menurut dan mencoba mengakses akun official Misye yang memang beberapa waktu lalu dia pegang. Walaupun hatinya dipenuhi seribu tanya. Memangnya ada kejadian apa? “Kamu gak masuk lagi, Bestieee! Ya sudah deh, ya! Semoga lekas sembuh Alunanya.” Hu
Pov Banyu“Saya bilang pergi! Pergi! Tak akan pernah bisa saya memaafkan kamu jika sampai cucu saya kenapa-kenapa gara-gara ulah kamu! Pergi!” Mama memekik cukup kencang. Aku baru saja mendorong pintu ruangan rawat ketika Misye dan Mama tengah bersitegang. “M--Mas!” “Tolong jangan buat keributan!” “Aku … hanya ingin bertemu Aluna, Mas! Kata ART kamu, Aluna sakit panas.”Aku terdiam. Kulihat wajahnya tampak penuh kesungguhan. Kulirik wajah Mama, tapi dia tampak menggeleng dengan raut wajah yang menentang. Namun, aku tahu … Misye memang salah. Namun, dia tetap ibunya. Dia juga rela bertaruh dengan karir dan kehidupannya. Setidaknya aku tahu, naluri seorang Ibu yang dia miliki, belum mati.“Masuklah! Jangan buat gaduh!” Aku bergeser, sengaja memberinya jalan. “Makasih, Mas.” Misye menyeka air mata. Tetap terlihat kuyu, meskipun sebagian wajahnya ditutup masker. Tatapan matanya sayu. Semangat yang biasanya membara pun, kini tak ada. Rambutnya yang biasanya modis, kali ini disisir pun
“Setidaknya, kini Una sudah mau makan dengan lahap lagi, Jen! Sudah juga gak takut ketemu orang juga, alhamdulilah.” Satu bulan sudah aku mengajak Aluna rutin kontrol ke seorang psikolog. Meskipun belum maksimal hasilnya, tapi sudah terlihat progres yang cukup baik. Aku tersenyum ketika baru saja selesai sesi konsultasi dengan Jeni. Sebuah rumah di kawasan Karawang Kota dijadikannya kantor. Beruntung dapat antrian awal, jadinya bisa lebih dulu selesai sebelum jam makan siang. ”Ya Alhamdulilah, Jingga. Kamu juga jangan kebanyakan pikiran, ya! Noh kasihan yang dalam perut!” tukasnya seraya melirik perutku yang sudah menyembul dari balik gamis. Aku tersenyum sambil mengusap perutku. Biasanya dia akan nendang. Tuh 'kan bener? “Insya Allah.” Hanya itu yang kuucapkan. Kugamit tangan Una dengan hangat. Aku ingin dia tahu, kalau ada aku untuknya. Dia tak sendirian. Meskipun kini dia masih jadi pendiam, tapi setidaknya … dia sudah sedikit tenang. Berbeda seperti awal-awal, melihat Mang Par
“Mohon perhatian parkes semuanya! Kita kedatangan teman baru, nih! Nyonya Indra, nih … Eh, namanya siapa, ya, Bu! Lupa saya, inget nama suaminya saja ….” Mbak Riva terkekeh ringan sambil menepuk bahu seseorang. Perempuan yang sudah lama tak pernah bertemu denganku dan kini ada dalam satu ruangan yang sama. Hanya saja, kenapa dia dipanggil Nyonya Indra dan bukan Nyonya Bara? Apakah mereka?Pikiranku yang tengah menerka-nerka, kembali terfokus padanya. “Salam kenal semuanya! Saya Rani.” Pandangan matanya beredar, lalu berhenti ketika sepasang manik hitamnya bersitatap denganku. Senyumannya yang tadi terkembang, perlahan redup. Berubah menjadi tarikan garis bibir yang hanya, datar. Mbak Riva mempersilakan Rani berbaur bersama kami. Dia tampak memilih tempat yang masih kosong. Kami pun bersiap di atas matras masing-masing dan mengambil posisi. Untuk kelas senam yoga yang kuikuti khusus para bumil yang sudah masuk trimester tiga. Mbak Riva terdengar mengarahkan. “Easy pose! Siap!” Kam
“Iya Mamang juga sama, penasaran pengen ikut. Katanya pelanggan tokonya rata-rata para cewek cantik.” Mang Parmin malah terkekeh. Aku pun tertawa sambil berjalan menuju toko kue yang baru buka itu. Selain penasaran rasa kue yang kata Mang Parmin enak, juga penasaran sama sosok yang katanya pernah viral karena status duda ganteng yang disematkan padanya. Cuma pengen tahu, gantengan mana sama Papanya Unda? Toko kue tersebut tak terlalu besar. Hanya kisaran tiga kali empat. Berada di dekat salah satu area podomoro yang sudah berdiri sejak beberapa tahun silam. Keluar dari mobil, hembusan angin pesawahan terasa menerpa wajah.Di wilayah yang aku lewati sekarang masih tersisa area-area pesawahan. Hijau terhampar selang-seling dengan bangunan perhotelan, restoran dan deretan pemukiman. Kotaku tumbuh pesat semenjak dua kawasan industri besar cukup mendominasi di area barat kabupaten ini. Mengubah hutan-hutan menjadi bangunan-bangunan kokoh. Perlahan peradaban berubah seiring dengan berubahn
Pov 3Bara menghela napas panjang, lalu melirik ke arah Jingga. Setelah itu gegas beranjak dan mengajak Jingga keluar dari kamar Mama. Ya, di kamar itulah setiap hari Mama menghabiskan waktu. Pekerjaannya hanya menangis dan meratap. Sikapnya yang biasanya dominan, kini tak ada lagi. Sikap angkuhnya yang dulu sudah menghancurkan mimpi Bara untuk hidup bersama Jingga, kini sudah hancur lebur bersama keputusan pahit dari Papa. Lelaki itu lebih memilih istri mudanya. “Makasih, Jingga.” “Sama-sama.”“Mungkin ini akan jadi pertemuan terakhir kita.” Bara mengusap wajah dan menghentikan ucapan. Sengaja, ingin melihat reaksi Jingga. Beribu kali sudah ikhlas. Bara tak semudah itu move on … nama Jingga masih memenuhi relung istimewa dalam kalbunya.Bara menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh. Masih saja terkenang, padahal perempuan di depannya sudah jadi istri orang. Bahkan Jingga tampak sudah bahagia. Mungkin tak ada lagi sedikitpun tentang Bara tersisa dalam benak memorinya.Ada rasa