Lelaki itu melangkah kembali menuju meja kerjanya dan mengambil ponsel. Devan mencari nomor Tibra dan menekan tombol panggil. Nada sambung ketiga, Tibra mengangkat panggilan dari Devan.Devan sengaja menghubungi lelaki itu untuk membaca situasi. Dia ingin memastikan Tibra belum mendapatkan informasi apapun selain Doris, sang kepala keuangan yang kabur tepat sebulan sebelum dia bebas dari penjara.“Selamat pagi, Pak Devan.”Devan tersenyum lebar mendengar suara renyah Tibra di seberang sana. Bukankah tadi katanya Tibra habis mengamuk? Bisa-bisanya kini dia menyapa dengan nada ceria. Tibra memang aktor terbaik yang pernah dia kenal.Tidak heran selama ini lelaki itu mendapat julukan pria paling dekat dengan keluarga, tapi ternyata, dia bisa berselingkuh dan menghajar istrinya. Kini, Devan membuktikan sendiri kehebatan akting Tibra. Lelaki itu bahkan sangat pandai menyembunyikan amarah dan rasa paniknya."Pagi, Pak Tibra. Sehat?" Devan balas menyapa sambil menahan senyum membayangkan law
Tepat jam tujuh malam mobil Devan memasuki salah satu kafe. Sebelum turun dia memastikan lagi itu adalah tempat yang dia tuju dengan mengecek kembali alamat yang tadi dikirim Tibra.Lelaki itu tersenyum saat melihat meja dengan nomor yang dituju sudah terisi. Sepasang suami istri terlihat duduk membelakanginya. Dia merapikan kerah kemeja abu-abunya, dengan langkah yakin Devan berjalan mantap ke arah Tibra dan Andhira yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Pak Tibra.” Devan sengaja berdiri tepat di samping Andhira. Devan menghirup napas dalam-dalam. Dari tempatnya berdiri, dia bisa mencium aroma manis dari minyak wangi yang dipakai Andhira. Aroma yang sangat dia kenal sekaligus sangat dia rindukan.Lelaki itu dapat melihat badan Andhira menegang. Ah … Andhira selalu terlihat lebih menarik dalam keadaan gugup seperti ini. Mantan istrinya itu mengenakan gaun warna hijau daun yang elegan. Perutnya yang membuncit justru membuat penampilan Andhira semakin menarik di mata Devan. “Pak Devan
Devan tersenyum sinis mendengar ucapan Andhira. Matanya menatap tajam pada wanita yang sangat ingin dia miliki kembali.Andai bukan di tempat umum, dia sudah menyeret Andhira pergi dari sana. Menculik dan menyekap Andhira bisa saja dia lakukan. Malah itu akan menimbulkan kesenangan tersendiri baginya melihat kepanikan di wajah wanita hamil itu.Namun, itu semua hanya ada dalam bayangan. Tibra masih terlalu kuat walau sedang goyang. Dia tidak bisa bertindak gegabah kalau tidak ingin salah langkah. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan saat ini adalah dengan membujuk Andhira.“Ayo kita kembali lagi, Dhir. Aku sudah bukan Devan yang kau kenal dulu. Kini aku pengusaha sukses yang sangat disegani. Aku berjuang mendapatkan semua ini agar bisa meraih hatimu lagi. Tibra bukan apa-apa. Sebentar lagi bisnisnya habis.” Devan bicara pelan sambil sesekali melirik Tibra yang serius entah membicarakan apa di ponselnya. Lelaki itu membalas lambaian tangan Tibra dengan acungan jempol. Santai saja ma
Tepuk tangan ramai terdengar saat Aruna selesai menebarkan plastik bening berisi benur (benih udang) sebagai tanda resmi dibukanya areal budidaya udang vaname. Aruna tertawa renyah saat Zahir dan Zafar mencipratkan air padanya. Wanita itu berusaha menghindar dibalik tubuh beberapa karyawannya. Sejenak, tempat itu menjadi ramai dengan gelak tawa.Beberapa orang yang ada disana ikut mencipratkan air pada Aruna hingga membuat suasana semakin meriah. Mereka tertawa-tawa saat rasa kekeluargaan menyeruak dengan kental di antara mereka."Zahir! Zafar! Sudah." Aruna hampir kewalahan saat kedua anaknya belum berhenti. Dia semakin bersembunyi di belakang agar tidak terkenan cipratan air.Aruna mengenakan atasan panjang hingga lutut dipadukan dengan celana jeans berwarna senada. Dia membenarkan jilbab dan topi lebar yang melindungi wajah putih mulus bak porselennya dari cahaya matahari. Dia mengelap kacamata hitam lebarnya karena sedikit basah kena percikan air tadi.Setelah dirasa siap, Aruna
“Alhamdulillah, betul, betul sekali. Bulan ini total saya membuka usaha tambak udang di tiga wilayah. Minggu pertama di Kawungetan, Cilacap. Minggu kedua di Kalianda, Lampung. Hari ini di sini, Jembrana, Bali.” Aruna menjawab pertanyaan salah satu awak media.Bulan ini Aruna membuat gebrakan dengan meresmikan pembukaan tempat budidaya udangnya yang baru. Serentak di tiga wilayah sehingga menyedot perhatian masyarakat luas. Aruna menjadi idola. Wanita itu merupakan gambaran wanita kuat yang mampu bangkit kembali setelah terpuruk karena kehancuran rumah tangganya.“Tepat sekali. Saya memutuskan mengembangkan usaha ke wilayah lain untuk memenuhi permintaan ekspor yang semakin meningkat. Seperti yang sudah teman-teman ketahui dan liput juga, minggu lalu saya sudah melakukan penandatanganan untuk kerjasama ekspor dengan salah satu pengusaha dari Turki.” Aruna melepas topi lebarnya sehingga wajahnya yang sumringah terlihat dengan jelas.“Khusus untuk di Jembrana ini, saya menerapkan sistem
Dia memang menjadi sedikit tertutup dengan media sejak perceraiannya dengan Tibra. Sejujurnya dia lelah dengan semua sorotan ini. Namun, tidak bisa dipungkiri media juga banyak membantunya dalam mengembangkan usaha. Dari pemberitaan-pemberitaan yang beredar, para investor dan pelanggan berdatangan. Sehingga, sesekali dia masih bersedia diwawancara kalau terkait usahanya.“Belum ada niat mencari pengganti, Aruna? Atau belum move on? Apakah tidak merasa ketinggalan karena dalam waktu dekat Tibra akan menyambut kelahiran anak pertama dari istri barunya,”Aruna tertawa menanggapi pertanyaan salah satu awak media. Inilah kenapa dia malas jika wawancara diluar usaha. Namanya masih saja terus dikait-kaitkan dengan sang mantan. Sesuai dengan dugaannya sejak awal.“Saat ini saya sedang fokus meengembangkan usaha dulu. Kenapa harus terburu-buru menikah? Pernikahan bukan perlombaan.”Aruna menanggapi santai.“Jodoh, maut, rezeki sudah ada yang mengatur. Kita hanya perlu berusaha dan berdoa. Nam
“Astaghfirullahaladziim! Mas Zahir!” Riri berteriak kencang karena terkejut. Wanita itu langsung menghentikan aktivitasnya yang sedang merapikan sesuatu. Dia berkali-kali mengembuskan napas dan mengurut dada.Zahir menutup pintu dengan membantingnya kencang hingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Anak lelaki itu berjalan sambil menghentakkan kaki hingga sepatu yang dia gunakan terpental kemana-mana.Riri menarik napas panjang melihat kelakuan Zahir. Pasti ada hal yang membuatnya sangat marah hingga seperti itu. Zahir biasanya lebih memilih diam kalau sedang ada yang membuatnya kesal. Kalau sampai dia lampiaskan, itu artinya sudah tidak bisa ditahan.Riri memperhatikan dengan ekor mata saat Zahir naik ke atas menuju kamarnya. Gadis itu bergegas mengambil sepatu Zahir yang terlempar kemana-mana. Sebelum dia sempat meletakkan sepatu pada tempatnya, Zafar dan Anna membuka pintu.“Mas Zahir kenapa, Mas?” Riri menyambut Zafar dengan pertanyaan. Dia bisa melihat ada ketegangan anta
“Jangan hina ibuku!” Tangan Zahir terkepal kencang. Dia tidak akan pernah rela malaikat tak bersayapnya itu direndahkan. Wanita hebat yang sangat dia kagumi, tak akan pernah dia biarkan seorang pun menghakimi.“Ada yang salah? Kata ibuku ….”“Ibumu pengangguran?” Zahir bertanya cepat.Riko menautkan alis mendengar pertanyaan Zahir yang tiba-tiba dan di luar konteks pembicaraan mereka.“Kalau pengangguran, wajarlah punya waktu mengurusi hidup orang lain. Kau membuktikan ucapanmu barusan ada benarnya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Seperti dirimu yang persis dengan ibumu. Nyinyir!” Zahir tersenyum puas menatap wajah Riko yang memerah.“Aduh!” Zahir memegang pipinya.Secara tiba-tiba Riko memukulnya dengan kencang. Anak itu tidak terima dengan perkataan Zahir. Zahir yang merasa Riko yang memulai semuanya membalas hingga terjadi perkelahian yang membuat ramai gerbang sekolah.Hari itu, untuk pertama kalinya Zahir dipanggil ke ruang BK. Sebenarnya hari ini merupakan akumulasi pera