Tibra akhirnya memutuskan menyalakan radio untuk mengusir pikiran-pikiran di kepalanya. Semoga dengan mendengar musik atau pun berita bisa membuatnya sedikit melupakan permasalahan yang sedang sangat akrab dengannya saat ini.“Betul. Pasal yang kita gunakan sementara ini ada beberapa. Dasarnya adalah pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.Dari sana kita bisa menggunakan pasal 284 KUHP tentang perselingkuhan / perzinahan jika yang terduga berdalih sudah melakukan nikah siri.Selanjutnya, jika yang terduga bisa membuktikan pernikahannya dilakukan secara sah dan tercatat dalam hukum negara. Maka, kita akan menggunakan pasal 279 KUHP ayat (2) yang menyatakan barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang, untuk itu dapat diancam deng
Tibra bersandar di dinding sambil meringkuk memeluk kaki. Dia menyembunyikan kepalanya ke dalam lutut sambil memejamkan matanya rapat-rapat, jerih membayangkan vas bunga keramik yang diacungkan oleh Wira akan menghantam kepalanya.“ARRGGHH!!” Wira mengayunkan vas bunga ke belakang, bersiap menghantam kepala Tibra sekencang-kencangnya.“PAK! Astaghfirullahaladzim.” Adya yang tadi di belakang sedang memberi makan ikan koi bergegas ke dalam. Betapa terkejutnya wanita itu saat melihat suaminya sedang bersiap menghantam kepala Tibra dengan vas bunga. Beruntung sebelum Wira mengayunkan vas ke depan, dia berhasil menarik vas bunga itu sekuat tenaga sehingga mereka berdua terhuyung dan jatuh ke lantai. Bunyi nyaring yang khas terdengar memenuhi ruangan itu saat vas bunga menyentuh lantai.“Istighfar, Pak, istighfar.” Adya langsung bangkit dan memeluk suaminya yang sedang berusaha berdiri.“Astagfirullahaladzim.” Wira akhirnya duduk kembali. Dia memejamkan mata, merasakan dadanya yang berdegup
“Biarlah anak itu di sini. Toh ada ibunya yang akan menjaganya. Lagipula, kami sudah kangen sekali dengan cucu kami itu.” Wira menatap Tibra yang seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.“Sebenarnya, apa salah putriku hingga dia pulang dalam keadaan yang sangat menyakitkan untuk dipandang?” Wira kembali berbicara saat dilihatnya Tibra kembali menunduk. Urung menyampaikan entah apalah yang ingin dikatakannya.“Atau begini saja. Kata Aruna kau sudah menjatuhkan talak padanya. Apa alasanmu menalak wanita yang sudah menemanimu berjuang dari nol? Bahkan karenamu, gadis kecilku yang manis ini rela menentang kami, kedua orangtuanya.”Aruna menarik napas panjang mendengar ucapan bapaknya. Hatinya berdesir setiap kali mengingat betapa berdosanya dia dulu karena melakukan itu.“Aruna terlalu mandiri, Pak. Sebagai seorang lelaki saya butuh dihargai.”“Apa anakku tidak menghargaimu? Diam kau, Aruna!” Wira menatap Aruna yang sudah membuka mulut untuk menjawab ucapan Tibra.“Aruna terlalu sibuk di
Tibra ingat sekali, saat itu dia mati-matian menahan diri agar bisa menyelesaikan masalah ini dengan Aruna secara baik-baik. Dia ingin Aruna memberi penjelasan apa maksud foto yang menunjukkan kedekatannya dengan lawan jenis itu.Namun, bukan penjelasan yang didapat Tibra. Istrinya itu hanya tertawa kecil dan balik bertanya.“Apa Mas lebih mempercayai beberapa lembar foto itu dibandingkan aku yang sudah menemanimu sekian lama? Jangan aneh-aneh ah!” Tibra ingat sekali lambaian tangan dan tawa kecil Aruna yang seolah menggampangkan masalah kepercayaan di hatinya.Sejak saat itu, perasaan was-was selalu menghantui Tibra setiap kali Aruna keluar untuk mengontrol usaha mereka. Siapa pula yang tidak akan tertarik pada istrinya itu? Dia cerdas dan cantik, pribadinya juga menyenangkan, mudah saja bagi Aruna jika ingin mendapatkan pendamping yang lebih dari dirinya.Di tengah kekalutan dan krisis percaya diri, Andhira hadir menjadi sosok yang sangat menghargainya. Wanita bersifat manja itu sel
“Berapa, Mang?”“Sayur kangkung tiga ikat lima ribu, ikan salem seperempat kilo sembilan ribu, cabe rawit tiga ribu, semuanya jadi tujuh belas ribu.” Mang Jupri memasukkan semau belanjaan Bu Riri.“Lima belas ya?” Bu Riri mengulurkan uang pas lima belas ribu.“Nodong apa nawar, Bu?” Bu Likah terkekeh disambut ibu-ibu yang lain. Sementara Mang Jupri hanya menggeleng, sudah biasa Bu Riri seperti itu.“Ibu-ibu, permisi ya.” Andhira tersenyum sambil membuka pintu gerbang. Jam tujuh pagi, saatnya dia berangkat kerja.“Oh iya, Neng, maaf ya. Sebentar geser dulu, Bu.” Mang Jupri mendorong gerobak sayurnya. Biasanya dia berhenti sedikit lebih ke depan agar tidak menghalangi mobil Andhira keluar dari rumah. Namun, pagi ini ibu-ibu sudah menyerbu karena dia datang agak kesiangan, jadilah dia asal berhenti saja.“Berangkat kerja, Neng?” Mang Jupri menyapa sambil mengangguk sopan.“Iya, Mang.” Andhira tersenyum sambil menutup kembali gerbang rumahnya.“Masya Allah, eta awewe geulis pisan.” Mang
"Walah, walah, Mbak eeee, tobat, Mbak. Jadi perusak rumah tangga orang kok bangga!" Bu Riri mencebik. "Ya jelas bangga. Saya yang kalian katakan tidak punya otak dan seorang perusak ini, bisa hidup berlebihan dan bahagia. Sementara ibu-ibu di sini, coba lihat? Di saat saya sibuk akan berangkat kerja sebagai wanita karir sukses, ibu-ibu sibuk bergunjing yang tidak penting." Andhira tertawa meremehkan."Sudah ya, saya bisa telat kalau harus meladeni ibu-ibu kurang uang seperti kalian." Andhira membalik badan dan melenggang anggun menuju mobilnya."Walah gendeng emang itu wanita!" Bu Lela membuka bungkusan ikan teri yang dia pegang dan langsung melemparkannya pada Andhira."Aw!" Andhira memekik saat merasakan sesuatu mengenai tubuhnya."Ih!" Andhira langsung menggoyangkan badan saat dia menyadari banyak ikan teri yang menempel di rambut panjangnya yang tergerai."Dasar kampungan!" Andhira membalikkan badan dan berniat melabrak kembali tetangganya.Namun, alangkah terkejutnya dia saat me
"Hebat ya, baru datang jam segini." Aruna bertepuk tangan saat melihat Andhira masuk.Andhira menautkan alis. Sedikit salah tingkah saat melirik jam dinding. Dia memang datang sangat terlambat."Apa jam kerjamu berbeda dengan karyawan lain Andhira?""Saya sudah izin datang terlambat pada Mas Tibra." Andhira menutup pintu ruangannya. Dia sedikit bingung harus bagaimana dan kemana menempatkan diri. Lebih tepatnya, wanita itu salah tingkah pada Aruna yang duduk di belakang meja kerjanya dengan tatapan membunuh."Kau outlet manager di sini. Artinya, kau dipercaya untuk memimpin dan mengatur jalannya resto ini. Apa pantas seorang pimpinan datang jam sepuluh?" Aruna berdiri dan berjalan pelan ke arah Andhira yang masih berdiri di tempatnya pertama datang tadi."Saya sudah izin datang terlambat ke Mas Tibra." Desis Andhira.Aruna mengangguk. Dia mendapat laporan beberapa minggu ini Andhira mulai bertingkah. Datang sesukanya dan pulang pun sesukanya.Aruna mengambil ponselnya dan mencoba meng
Andhira mendorong bahu Aruna. Wanita itu melangkah menuju meja kerjanya. Dia memilih duduk di kursi agar jarak dengan Aruna tidak terlalu dekat. Berdiri dalam jarak yang sangat intim dengan Aruna, entah kenapa membuat tengkuk Andhira meremang."Kenapa kau begitu jahat padaku, Andhira? Apa salahku padamu?" Aruna menarik kursi dan duduk di depan Andhira. Dia memang sengaja datang kemari untuk menemui wanita itu. Dia harus memastikan semua hal, agar tidak salah langkah ke depan."Jawab!" Aruna memukul meja sehingga membuat Andhira terlonjak kaget.Wanita itu menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Aruna. Dia tidak boleh takut. Tibra sudah berjanji akan melindunginya dalam kisruh masalah ini."Kau tidak ada salah, Aruna. Hanya saja, aku menginginkan posisimu."Aruna menautkan alis mendengar ucapan Andhira. Dia menahan napas menunggu kelanjutan ucapan wanita itu."Aku menginginkan kehidupan sepertimu. Punya suami tampan, hidup bergelimang harta, kau juga tidak pernah kekurangan