Padahal Hilma ingin teflonan atau VC karena kini ia sudah paham menggunakan HP andorid diajarkan oleh sang suami, jadi meskipun berjauhan mereka tetap bisa saling sapa lewat VC. Tapi sampai jam setengah dua belas malam, pesan itu belum dibaca sama sekali. Membuat Hilma khwatir, ia berusaha untuk menelpon berkali-kali, tapi tak kunjung diangkat juga. Ia menghela napas kasar, dengan mata yang sudah memerah gadis itu merasa kesal. Sejak dari siang tadi suaminya tak ada mengabari. Dia meletakan ponsel itu asal di kasur, kemudian memilih untuk terpejam. Tapi baru juga ingin menarik selimut, seseorang menekan bell rumah yang sengaja Zafar pasang. Membuat gadis itu seketika duduk kembali. "Astaghfirullah, siapa yang nekan bel malam-malam begini?" gumam gadis itu, bukannya turun ke bawah untuk membuka pintu, dia malah bersembunyi di balik selimut karena takut. "Pintu sudah aku kunci, tapi tadi ditaro di mana ya kuncinya? Ya Alloh lupa!" geram gadis itu, tapi dia juga tidak mau turun kare
Hilma menahan tanyan Zafar yang semakin menurunkan bajunya, pria itu menatap sang istri yang masih terpejam dengan napas yang sudah tak teratur. Kemudian menarik kembali bajunya sampai menutupi sebagian dada gadis itu. Zafar tersenyum, ia kemudian kembali menyeletingkan baju sang istri, Hilma yang menyadari itu matanya terbuka, dia memakai Zafar bingung, kenapa tiduk dilanjutkan? Sedangkan tadi dia hanya malu jika sampai area sensitifnya terlihat jelas oleh sang suami. "Yuk, tidur," ujar Zafar, menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Dia melihat Hilma yang seakan ragu, tidak ingin memaksa wanitanya untuk melakukan hal itu sekarang. Yang terpenting, sekarang sang istri sudau dengan suka rela menerimanya, dan percaya padanya saja sudah sangat cukup bagi Zafar. Ia berpikir mungkin Hilma belum siap jika harus melakukan hal itu sekarang, dia akan menunggu sampai gadis itu siap lahir batin untuk menerima semuanya. Sedangkan Hilma yang merasa bersalah, ia mengatakan Zafar yang memejamkan
"Kata Mamang ada parang di belakang tolong ambilin ya, Neng Hilma.""Iya, Kang. Tunggu, ya." Hilma tak berani meminta Ajat untuk masuk karena sang suaminya berada di atas. Ajat yang melihat gaya berjalan Hilma yang berbeda, hati pria itu sedikit berdenyut. Kemudian ia beristighfar, wajar mereka melakukannya karena kini sudah menjadi suami istri. Tak pantas bagi Ajat untuk mencurigai ataupun mempertanyakan hal yang bukan urusannya. Tapi tak bisa dipungkiri, pria itu masih suka berbeda perasaanya jika saat berhadapan dengan Hilma. Entah kapan rasa itu akan benar-benar hilang dari hati pria itu. "Siapa, Sayang?" tanya Zafar yang sedang menuruni tangga, mendengar perkataan pria itu membuat Ajat menghela napas sambil membenarkan pecinya. "Loh... Ajat? Ayo masuk!""Enggak, Kang makasih. Saya cuma mau ambil parang aja, kok.""Aa ini tolong!" Hilma sedikit beteriak, ia meminta sang suami untuk memberikan parang pada Ajat karena dia harus mengaduk masakannya. "Ini. Bapak masih di kebon, ya?
Zafar mau jika bawahannya itu adalah seorang lelaki, sehingga tak ada kesalahan pahaman di antara dia dan sang istri. Sedangkan sekarang belum juga mulai bekerja, bahkan mereka baru bertemu, tapi Hilma sudah cemburu dengannya. Pria itu semakin khawatir hubungannya dengan Hilma akan kembali renta karena hadirnya wanita itu di sana. Sedangkan nanti dia pasti akan selalu bersama dengan Santi karena sebuah pekerjaan. Malam selepas isya, pria itu menatap sang istri yang hanya diam. Ingin menjelaskan tapi dia rasa Hilma sudah tidur duluan. Baru saja semalam ia mereguk indahnya surga dunia, sekarang malah jadi seperti ini karena salah paham. Pria itu mengusap kepala sang istri yang sedang memunggunginya, dia kemudian mencium kepala Hilma. Dia yang ternyata belum tidur masih merasa kesal karena Zafar tidak menjelaskan siapa wanita tadi yang mengobrol dengannya. "Begini rasanya kalau istri lagi ngambek, ya. Padahal ketemu sama dia aja baru," ujar Zafar pelan. Mendengar itu Hilma membalika
"Kenapa memangnya kalau dia jadi orang kepercayaan kamu, Zaf?""Dia perempuan, Paman.""Memangnya kenapa? Kan dia pintar, buktinya dulu dia bisa mengembangkan pabrik kecil menjadi sebesar itu.""Terus kenapa kalau dia yang mengembangkan sekarang malah dibuang tak diterima lagi?"Hening.... Haji Burhan diam tak bisa menjawab pertanyaan ponakannya itu. Sedangkan Zafar menatap menunggu jawaban sang paman yang kekeuh meminta Santi untuk menjadi bawahannya. "Kenapa, Paman? Terus kan aku buka usaha di kampung ini, kenapa malah kampung sebelah yang mendapatkan pekerjaan? Orang kampung sini kan juga bisa.""Kamu gak ngerti, Zaf.""Ya gimana aku bisa ngerti kalau Paman gak ngomong apa-apa. Jelasin makanya coba, kenapa Paman maksa banget.""Ya karena dia anak Paman!"Prang.... Kedua pria itu seketika menatap ke belakang saat mendengar suara pecahan gelas, ternyata di sana istri Haji Burhan sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan yang gemetar, mata yang sudah memerah menahan tangis. Meli
Santi menelan ludah menatap keduanya, ia pikir Zafar masih bujangan belum menikah, makanya dia sok akrab agar bisa lebih dekat. Tapi kini, dia merasa tersaingi dengan Hilma yang ternyata istri Zafar. Bukannya sadar, dia malah ada niat busuk di balik ini semua. "Oh iya, Aa, emang kamu beneran udah nerima dia? Bukannya maunya laki-laki, ya?" tanya Hilma sengaja, agar dia tidak besar kepala lagi karena ditunjuk oleh Haji Burhan. Zafar menatap wanita itu, dia masih tak habis pikir kenapa sang paman bisa menikah secara diam-diam sampai kini sudah mempunyai anak yang sepantaran dengan Hilma. "Maaf ya, Santi, karena pekerjaan ini berat, kamu di kerjakan di bagian pembagian barang aja, ya? Kalau untuk ngatur semuanya yang saya butuhkan laki-laki, karena ya... Jelas tenaganya lebih besar daripada kamu. Sekali lagi saya minta maaf, ya. Kamu bisa kembali lagi kalau bangunan sudah selesai."Zafar pamit tanpa menunggu jawaban dari Santi, ia menggandeng tangan sang istri, sedangkan Hilma diam m
"Ya udah kalau gitu, aku mau pulang sekarang.""Oh iya tunggu, ya." Haji Burhan ke dalam untuk mengambil kunci, kemudian dia tak sengaja melihat Santi yang sedang menangis sambil memeluk guling. "Kenapa semua orang selalu tidak pernah menganggap aku ada. Aku kan juga mau jalan-jalan pake mobil Bapak. Mereka jahat!"Hati seorang ayah mana yang tidak kasian melihat anaknya yang menangis cuma karena ingin jalan menggunakan mobil. Haji Burhan masuk ke dalam kamar sang putri kemudian duduk di sampingnya. "Kamu mau ikut sama Zafar?" tanya Haji Burhan pelan sambil mengusap kepala Santi. Sontak wanita itu mendongak menatapnya. "Emang boleh? Aku nanya aja gak di denger.""Ya gak papa kalau mau ikut. Tapi mereka bukan mau jalan-jalan, tapi mau beli bahan-bahan doang, kalau emang kamu mau jalan, kan bisa nanti sama Bapak, ya?""Ah Bapak kelamaan, paling juga gak jadi mulu.""Ya udah terus kamu maunya gimana?""Kan tadi aku udah ngomong, Bapak!" Wanita merengek. "Ya udah, kamu boleh pergi. Be
"Enak baksonya?" Hilma mengangguk. Dari ujung matanya dia melirik Santi yang tengah menatap dirinya dengan raut wajah yang terlihat kesal. Wanita itu kembali menikmati bakso, merasa tak peduli dengan Santi yang sedari tadi seperti menginginkan perhatian suaminya. Meskipun Santi adalah anak Haji Burhan, Hilma tidak akan segan untuk menyingkirkan dia jika berani mendekati suaminya. Dari sejak awal perilaku Santi sudah bisa Hilma tebak, selalu mencari kesempatan untuk mendekati suaminya itu. "Nanti ya, Neng, ini masih ada sepuluh porsi lagi yang mau di bikin, kasian anak kecil yang beli, antri, ya.""Loh kan aku dari tadi pesannya, kok malah dia dih yang di duluin!" kata Santi tak Terima. "Kan Neng baru aja pesan, sedangkan tadi udah duluan anak ini. Maaf, ya.""Memangnya gak bisa gitu buatin dulu, cuma satu doang, kok.""Baksonya baru masuk, jadi yang ini pas banget tinggal sepuluh porsi lagi.""Ishh!" Santi menghentikan kaki, dia menatap sinis pada Hilma yang tampak tidak memperdul