Share

DIA BERNAMA KIMIKO

Aku tidak pernah berfikir untuk menceraikan Shabira. Dia adalah cinta pertamaku. Perempuan yang membuatku merasa hebat, tangguh dan dindalkan. Tapi Kimiko tidak  ingin menjadi yang kedua. Perempuan sendu itu ingin menjadi satu-satunya. Dengan adanya bayi itu, tentu ia bisa memiliki kehendak apapun. Dia paling tahu bahwa aku pasti lemah jika menyangkut anak. Apalagi dia bilang, pernikahan ini demi masa depan bayi kami. Dia tidak ingin Bayi kami tumbuh menjadi pribadi penyendiri seperti dirinya. Anak itu harus bahagia apapun caranya. Meskipun aku harus menancapkan belati tajam ke dalam dada Shabira. 

“Sha, maafkan aku.”  

Aku berusaha menggapai jemari Shabira. Perempuan itu menatapku sebentar, tapi ia tidak menangis. Lalu pandangan ia lempar jauh pada barisan awan tipis yang kelabu. Ini kali pertama aku melihat ia seterluka itu. Bahkan Shabira tidak senelangsa ini ketika Ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu. 

“Sha, aku minta maaf. Aku salah. Maki-maki aku, Sha. Luapkan kemarahanmu. Jangan diam seperti ini.” 

Aku mengguncang jemari Shabira. Ia menepisnya dengan kasar. Sungguh kali ini aku ingin sekali mendengarnya mengutuki kejahatanku. Memaki-maki atau sekalian saja menampar wajahku. Aku tahu itu akan jauh lebih baik untuknya. Aku hafal betul bagaimana rasanya memendam kemarahan. Sampai menit-menit berlalu, Shabira tidak melakukannya. Ia mendiamkanku. 

“Sha, aku ….” 

Shabira bangkit. Berdiri sebentar lalu menatapku lekat-lekat. Mungkin  ia akan mengamuk sekarang. Puluhan tamparan kurasa pantas ia labuhkan di pipiku. Dugaanku meleset, Shabira tidak melakukan apa-apa. Mulutnya terkunci sempurna. Aku bahkan tak dapat mendengar desis halus napasnya dari jarak yang sedekat ini. 

Perempuan itu berbalik kemudian. Ia berjalan, meninggalkanku degan langkah gontai. Detik ini aku merasa telah mencabut paksa semangat Shabira. Semakin jauh ia meninggalkanku. Bahkan wangi rambutnya ikut menghilang dari penciumanku. 

“Mau ke mana? Kita perlu menyelesaikan ini, Sha. Tolong jangan diam begini.”

Suara pintu ditutup dengan keras mendominasi kemudian. Aku melangkah menyusul Shabira. Ingin sekali aku memeluknya sekarang tapi wajah Kimiko membentuk gumpalan dalam kepalaku. Perempuan itu sedang mengandung bayiku, aku tidak mungkin membuatnya kecewa dengan terus menerus mencemaskan Shabira. Kimiko adalah masa depan, sedang Shabira serupa kenangan yang seharusnya kukubur dalam-dalam. 

Pintu ia kunci dari dalam. Entah apa yang dilakukannya di sana sekarang. Mungkin membenamkan wajahnya ke bantal, atau menangis di bawah shower atau bahkan ….. Oh tidak. Shabira bukan wanita lemah yang bodoh, ia tidak akan melakukan hal-hal yang Allah tidak suka. Shabira adalah perempuan cerdas yang memiliki prinsip. Salah dua dari banyak hal yang kusuka darinya. Tapi itu jauh sebelum Kimiko hadir dan berhasil membuatku menjadi seorang ayah. 

Gagang pintu kuguncang beberapa kali. Shabira bergeming. Mungkin sudah puluhan kali, aku masih terus mencobanya. Aku pun tidak mengerti apa tujuanku sebenarnya. Bukankah sudah cukup aku memadamkan binar di mata perempuan itu? Lalu apa lagi yang kutunggu sekarang? Bukankah meninggalkannya sendiri dengan luka-luka adalah hal terbaik untuk saat ini? Ia butuh sendiri, aku tahu itu. Bukankah Mama juga begitu ketika Ayah ketahuan berselingkuh?  Mama bahkan berhari-hari menolak makan dan hanya mengurung diri. Tidak berdandan dan menarik diri dari lingkungan. Aku juga tahu bahwa lambat laun luka Shabira akan mengering dan hilang. Mama bahkan jauh lebih kuat tanpa Ayah. Kuharap Shabira juga begitu. Dan nanti ia akan mendapatkan lelaki yang menerima keadaannya. Siap dengan kondisi Shabira yang mungkin tidak akan bisa melahirkan sampai selamanya. 

“Sha ….” Sesuatu di dalam diriku masih penasaran pada Shabira. Sampai beberapa kali aku memanggil namanya. Berharap ia keluar sebentar dan menemuiku dengan cara yang baik. Aku hanya ingin Shabira mengerti bahwa aku harus bertanggung jawab pada Kimiko. 

Lima, tujuh, mungkin sudah sepuluh menit aku menanti, menempelkan telingaku ke daun pintu. Sebelum akhirnya ponselku berdering. Nama Kimiko tertera di sana. Berbulan-bulan aku menyembunyikan kontak Kimiko dari ponsel ini. Namun beberapa hari yang lalu Kimiko berhasil meyakinkanku bahwa sekarang adalah saatnya. Aku harus berani mengambil keputusan. Demi bayi itu. Dan keputusanku adalah meninggalkan Shabira Altafunnisa, perempuan periang dan pendengar yang baik. Perempuan yang dapat kuandalkan dalam banyak hal. 

‘Kimi, aku di sini.’

Aku segera menjawab ketika mendengar suara rengekan Kimiko. Ia memang sedang demam. Kemarin ia bahkan tidak bisa keluar dari kamar karna meriang. Kehamilan itu membuatnya sedikit kewalahan. Ia bahkan tidak bisa jauh-jauh dariku. Orang bilang perangai wanita hamil itu memang beragam. Sebentar lagi mungkin Kimiko akan mengidam yang macam-macam. Aku sedikit cemas namun sangat antusias menunggu. Rasanya menyenangkan mengetahui bahwa sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. 

‘Aku tidak tahan lagi. Sekarang aku di rumah sakit. Perutku kram, Ayash. Datanglah segera setelah urusanmu selesai.’  Suara Kimiko bercampur tangis. Aku tak tega mendengarnya. 

‘Baik. Tenangkan dirimu, Kimi. Aku segera datang.”

Sambungan telepon lantas ditutup oleh Kimiko. Segera aku bergegas. Kimiko dan bayinya adalah hal yang paling penting sekarang. Aku belum sampai pada langkah yang kelima ketika Shabira setengah berteriak memanggilku. 

“Ayash ….!” 

Aku berbalik. Bersiap-siap pada ledakan amarah Shabira. Tak apa Sha. Marahlah. Kau berhak melakukannya. 

“Ayash, mari kita berpisah. Aku setuju untuk bercerai.”

 Hanya itu. Shabira tidak bicara lagi. Ia kembali menutup pintu kamar. Sedangkan aku baru saja akan mengatakan sesuatu padanya ketika Kimiko menelpon sekali lagi. Kuhela napas perlahan-lahan. Kimiko tidak perlu tahu ketegangan yang kurasakan. Aku harus menjaga mood perempuan itu. 

‘Ayash. Di mana sih?’

‘Iya. Aku baru saja akan berangkat. Sabar ya.’

‘Baiklah, bayimu menunggu.’ 

Lalu Kimiko mengakhiri pembicaraan. 

Aku mengemudi dengan kepala yang bising. Semua kenangan dengan Shabira berputar dalam kepalaku. Kenangan selama kami menjadi sepasang suami istri. Banyak hal telah kami lalui berdua. Aku mungkin tampak baik-baik saja ketika bersamanya. Tidak pernah kuutarakan bahwa aku menginginkan keturunan. Pun dengan Shabira. Menurutnya berdua saja sudah cukup yang penting bisa saling setia. Namun melihat teman-teman kantor memamerkan foto putra putri mereka, tidak dapat kupungkiri bahwa aku mengingkan hal serupa. Terlebih hasil tes kesuburan itu telah membuktikan bahwa aku bisa memiliki anak berapa pun jumlahnya. Tapi mungkin memang bukan dengan Shabira. Kimikolah orangnya. 

Kemudian wajah Kimiko memenuhi ceruk memori. Lalu berganti dengan mata sipit dan senyum khas milik perempuan itu. Tidak ada darah Indonesia yang mengalir di tubuh Kimiko. Ia adalah perempuan keturunan Jepang yang diadopsi oleh sepasang suami istri dari Bali. Sejak berusia enam bulan Kimiko telah diboyong ke Indonesia oleh orang tua angkatnya. Kimiko ingin sekali mengetahui siapa orang tua aslinya. Hal itu menjadi keinginan terbesarnya. Barangkali suatu saat nanti aku bisa mewujudkan keinginannya itu. 

Aku bertemu dengan Kimiko secara tidak sengaja. Tepat beberapa bulan setelah Kimiko memeluk agama islam. Perempuan itu dulunya adalah calon istri Zein__ temanku kantorku__. Namun entah mengapa mereka gagal menikah setelah Zein memperkenalkan Kimi kepada kedua orang tuanya. Tidak butuh lama untukku menjadi dekat dengan Kimiko. Lalu perempuan itu berhasil menyingkirkan Shabira dari dalam hatiku. Kimiko yang polos, unik dan menggemaskan. Keinginannya belajar agama islam sangat kuat. Dan aku merasakan getaran aneh yang tidak pernah kurasakan selama bersama dengan Shabira. Kata orang perempuan Jepang memang memiliki daya tarik tersendiri. 

Gerimis baru saja mulai turun ketika aku sampai di parkiran rumah sakit. Bergegas, aku sudah tidak sabar melihat keadaan Kimi dan mengetahui apakah janin yang ia kandung baik-baik saja. Pikiranku kacau seketika. Takut kalau bayi kami kenapa-napa. Tadi Kimi bilang bahwa ia masih menunggu giliran periksa di dokter spesialis kebidanan dan kandungan. Ia juga mengaku bahwa sakitnya sedikit mereda. Berbekal petunjuk arah yang terdapat di lobby rumah sakit, aku menjadi tahu bahwa ruangan itu terletak di lantai dua. 

Aku melirik jam dan tahu bahwa sudah hampir magrib sekarang. Wajah Shabira melintas begitu saja di pelupuk mataku. Sedang apa perempuan itu sekarang? Sedang menangiskah ia? Segera kualihkan perhatian pada lantai rumah sakit yang putih. Sebelum akhirnya pandanganku tertumbuk pada seorang perempuan yang duduk di atas kursi roda. Dia Kimi.  Lelaki berjas putih tampak sedang berjongkok di depannya. Tangan lelaki itu sedang memegangi pergelangan kaki Kimiko. Kimiko meringis tapi setelahnya ia tersenyum. Mereka tampak dekat. 

“Ayash.” Suara Kimi penuh semangat. Ia kegirangan melihat kedatanganku. Aku mendekat dan berdiri tepat di hadapannya. Dokter yang tadi berjongkok kini telah berdiri. Kami sejajar sekarang. Tidak butuh bermenit-menit untukku mengetahui siapa lelaki itu. Aku sangat mengenalnya. 

“Ayash. Kau harus berkenalan dengannya. Dia Arav. Dokter Arav. Dokter favorit semua pasien di rumah sakit ini.” Ujar Kimi dengan luapan kebahagiaan. 

“Arav. Tentu aku mengenalnya. Dia ….” 

“Bro. Kau mengenal Kimiko?” Aku belum menyelesaikan kalimatku ketika Arav bertanya dengan wajah penasaran yang tidak bisa ia sembunyikan. 

“Dia suamiku, Arav,” Kimi tidak menyiakan kesempatan. Entah apa yang dipikirkan Arav sekarang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status