Share

TENTANG ARAV

Beberapa hari yang lalu, Bunda Arav datang dari Surabaya. Dia memaksaku untuk menginap di rumah Arav. Kami tidur sekamar. Semalaman kami melakukan pillow talk. Aku dan Bunda berbicara tentang berbagai hal. Tentang persahabatan beliau dengan Ibuku, tentang Arav yang belum berkeinginan menikah sampai saat ini, tentang dia yang mulai hobi menekuni wajan dan panci di masa tua, juga tentang gosip artis yang sedang hangat. Kami menjadi kurang tidur karenanya. Paginya, aku sering menguap  karna masih mengantuk. 

Dulu, pillow talk adalah kebiasaan yang aku dan Ayash rutinkan. Kami ngobrol banyak hal. Dari topik maha penting sampai tema receh yang tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap rumah tangga kami. Seringnya kami berkhayal tentang hidup di masa tua. Tentang bagaimana kami tetap kokoh meski badai datang bergulung-gulung. Kami sepakat, akan saling menjaga satu sama lain bagaimanapun kondisinya. Kukira hal itu akan berlangsung selamanya. Tapi kenyataan tidak  selalu sejalan dengan harapan. Buktinya sekarang. Kami menjelma bagai orang asing yang tidak saling mencari dan menemukan.

Entah sudah berapa lama aku menekuri wajan yang berisi telur dadar. Bau gosong segera menyerbu penciumanku. Lintasan kenangan tentang Ayash sedikit merusak pagiku. Kukira aku sudah benar-benar lupa segala sesuatu tentangnya. Ternyata dia masih menetap di alam bawah sadarku. Tidak kupungkiri, sesekali lelaki itu hadir ketika aku dengan tidak sengaja melihat sesuatu yang ia sukai. Atau melewati jalan-jalan kenangan kami. Ketika aku melewati kampusnya. Atau di setiap kesempatan lain. Semua itu kadang membuatku amat tersiksa. 

“Eh, eh, gosong tuh.” Suara Bunda membuatku terkejut. Cepat-cepat aku matikan kompor dan mengangkat wajan yang mulai berasap. Aku geli sendiri ketika menengok nasib telur dadarku sekarang.

“Mikirin apa sih, Sayang?” Bunda menepuk-nepuk pundakku. 

“Gak ada, Bund. Cuma lagi blank aja tadi.” 

“Yowes, ayo kita sarapan. Arav udah menunggu tuh di ruang makan.”

Aku mengangguk sambil memindahkan telur dadar gosong ke piring kecil. Telur itu hampir menghitam seluruhnya. Pasti seharian ini aku akan jadi bulan-bulanan Arav. Dia senang sekali melakukan pembullyan terhadapku. Mengingat hal itu, aku dengan sengaja melemparkan telur itu ke dalam kotak sampah. Tidak ada gunanya juga kubawa ke meja makan. Yang ada aku malah memberikan Arav bahan untuk menertawaiku. 

“Kok sedikit sekali, Shabira? Tambahin dong. Lihat badanmu kurus begitu. Kalau Merty masih hidup dia pasti sangat prihatin melihat tubuhmu yang cungkring.” Bunda mengoceh sambil terus menambahkan nasi goreng buatannya ke atas piringku. Beberapa potong tomat dan mentimun dan sebuah telur mata sapi tidak ia lupakan. Padahal Bunda tahu aku benci telur mata sapi. Walaupun bertahun-tahun hidup bersama Ayash, membuatku sangat mahir membuat telur mata sapi dengan tingkat kematangan yang paling pas menurut seleranya. Nah kan, Ayash lagi. Kapan dia akan benar-benar hilang dari kepalaku?

Bunda benar, aku bertambah kurus sekarang. Berat badanku menyusut sampai lima kilogram. Pipiku tampak sangat tirus.  Mataku sedikit cekung. Bunda juga benar tentang yang dia katakana tentang Ibuku. Andai Ibu masih hidup, beliau pasti akan mengomel dan memberikan beberapa catatan yang harus kupatuhi, agar berat badanku kembali seperti semula. Aku tidak gendut. Kata Ayash, tubuhku sangat ideal, padat dan sesuai dengan seleranya. Menurutku sedikit berisi, dan aku sering melakukan diet ketika masih menjadi istrinya. Sekarang, aku malah kewalahan membuat badanku seperti sebelumnya. Ternyata apa yang orang-orang katakan sepenuhnya benar, obat diet paling ampuh dalah sakit hati karna dikhianati.

“Ayo cepat habiskan sebelum ibu suri mengomel lagi.” Arav mencibir padaku ketika Bunda beranjak ke dapur. Pipiku terasa mekar mengingat harus menghabiskan isi piring yang menggunung. 

“Selama bertahun-tahun belakangan, aku jarang sekali ngeliat kamu makan dengan lahap. Biasanya kamu kan tukang makan. Melihatmu menyuap saja orang-orang menjadi berselera,” katanya lagi. 

“Aku lupa kapan terakhir kali makan enak, Rav. Rasanya semua makanan gak ada yang menggugah selera. Entahlah, tapi akhir-akhir ini aku memang bermasalah dengan nafsu makan. Kamu punya obat atau multivitamin untuk agar selera makanku kembali?” Kuletakkan kedua tangan di atas meja dan menumpu daguku dengan jemari. Bola mataku pasti sedang berbinar-binar menunggu jawaban Arav sekarang. 

“Gak ada obat atau vitamin penambah nafsu makan. Kuncinya ada di sini. Di kepalamu.” Dengan jemarinya yang hangat, Arav menoyor keningku. 

“Kira-kira scott emulsion itu ngaruh gak sih?” candaku. 

“Coba aja kalau penasaran.’ Aku tahu Arav juga sedang bercanda. Mana ada dokter yang nyuruh nyoba-nyoba. Aneh. 

**

Rute kami kali ini adalah Candi Gunung Kawi, Tirta Empul dan Istana Tampak Siring di Ubud, Kabupaten Gianyar. Dari Denpasar kami hanya perlu menempuh perjalanan sekitar satu jam tiga puluh menit. Cukup lama sebenarnya, tapi aku senang karna Bunda tidak akan membiarkan suasana menjadi sepi. Beliau memiliki banyak sekali koleksi cerita lucu untuk dijadikan bahan. Bukan tanpa sebab Bunda mengajak kami ke tempat yang dituju itu. Candi Gunung Kawi adalah salah satu tempat wisata di Bali yang menjadi favorit Bunda.  Meskipun untuk mencapainya kami harus turun dan naik beratus-ratus anak tangga. Tak apalah yang penting Bunda bahagia. Lagipula rasanya sudah lama sekali aku tidak keluar dari cangkang. Rutinitasku hanya di kantor dan rumah. Bahkan selama beberapa bulan terakhir, aku mendelegasikan lebih banyak tugas kepada karyawan terbaik di firma kecil milikku. 

Bunda membiarkan aku tertidur sangat pulas. Harapanku mendengarkan ocehan Bunda di sepanjang jalan tidak terealisasi. Aku yang duduk pada kursi di samping pengemudi terbangun ketika kami sudah sampai. Arav yang mengemudi. Sementara Bunda memilih duduk di belakang. 

Candi Gunung Kawi adalah candi paling unik menurutku. Pembuatnya pastilah memiliki selera seni yang tinggi. Bagaimana tidak, candi itu dipahat langsung di tebing batu. Bukan dibangun dari batu yang bersusun-susun.  Candi Gunung Kawi merupakan tempat disimpan abu raja Gianyar , ratu dan selirnya. 

Aku terduduk pada sebuah batu setelah menuruni anak tangga yang sangat banyak. Napasku tersengal. Setengah botol air mineral ukuran sedang sudah kutandaskan. Sementara Arav sibuk melihat beberapa lelaki Bali sedang asyik melukat di sungai yang memang terletak di sekitar candi. Melukat adalah tradisi berendam di kolam air dingin atau menadahkan kepala dan badan ke pancuran air. Orang Bali percaya bahwa melukat dapat menghilangkan dosa-dosa.  

Bunda yang sejak tadi sibuk berswafoto kemudian mengambil tempat di sampingku. Beberapa kali ia mengembuskan napas. Sama sepertiku, ia juga tampak lelah. 

“Dulu ketika kalian masih kanak-kanak Arav selalu bilang bahwa dia akan menjadi pacar kamu.” Bunda mengubah posisi duduk hingga kami berhadapan sekarang. Sebenarnya aku sudah sering mendengar cerita itu, sejak dulu. Tapi entah mengapa rasanya selalu sama. Mengulang-ngulang kenangan yang menyenangkan bukanlah suatu yang salah. Malah dapat membuat energi kembali terisi. 

“Apa yang kurang dari Arav, Sha?”  Bunda melajutkan lagi. Kali ini wajahnya lebih serius dari biasa.

“Tidak ada, Bund. Bahkan dia nyaris sempurna, mungkin hal itu yang membuat gadis-gadis merasa insecure dekat dengannya.”  Kubalas tatapan Bunda tersenyum, sekadar meyakinkan bahwa tidak lama lagi Arav pasti menemukan jodohnya. 

“Umurnya udah 34 tahun loh.” Bunda menarik napas dalam entah untuk keberapa kali. 

“Insyallah sebentar lagi Bun. Percaya deh sama Shabira. Bunda udah kangen pengen cucu ya?” 

Entahlah, Nak. Nanti Bunda keburu mati. Bunda bahkan tidak meminta calon mantu dengan kriteria yang aneh. Cukup perempuan yang bisa membuatnya bahagia dan merasa dihargai. Juga sayang sama Bunda. Itu saja.” 

“Nah mungkin itu alasan Arav, Bunda. Dia belum menemukan perempuan yang benar-benar akan sayang sama Bunda kaya sayang sama ibunya sendiri.” 

“Kaya kamu sayang sama Bunda, kan Sha?”

“Iya. Kaya aku sayang sama Bunda.” 

“Apa kamu tahu, Sha? Arav sangat galau ketika kamu menikah dengan Ayash dulu. Dia memang tidak mengatakannya kepada Bunda, tapi sebagai Ibu ya Bunda tahu dong. Berhari-hari dia murung. Apa dia pernah bilang suka sama kamu, Sha?”

Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa mendengar penuturan Bunda. Ada rasa aneh yang tiba-tiba saja menelusup ke dalam dadaku. Arav menyukaiku? Yang benar saja. Atau … apa aku yang kurang peka? Yang ada lelaki itu hanya menggangguku saja.

“Kalau Bunda minta kamu jadi istri Arav, kamu mau gak, Sha?”

Komen (32)
goodnovel comment avatar
mimin
gaada lanjutannya nih?
goodnovel comment avatar
Iir Bunda Vira
lanjut kak
goodnovel comment avatar
Veronica Isnaini
ga lanjut yaa??
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status