Share

SEBUAH FOLDER MASA KECIL

Gadis cilik itu bernama Takiya. Dia lahir lebih awal dari perkiraan dokter. Mungkin sekitar tiga atau empat minggu dari tanggal yang seharusnya. Aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Yang penting putri kami sehat dan tidak kurang satu apapun. Melihat Kimiko berjuang melahirkan secara normal membuatku iba. Perjuangan perempuan itu tidak akan kulupakan. 

Muka Kimiko tercetak di setiap inci wajah Kiya. Mereka begitu mirip. Berambut keriting dengan warna coklat kehitaman. Mata sipit itu tampak serupa bulan sabit ketika tertawa. Satu-satunya hal yang Takiya warisi dariku adalah gampang tertawa. Kami memang begitu, kadang ada saja hal kecil yang membuat kami terpingkal-pingkal.

Aku membangun sebuah rumah yang tidak terlampau besar untuk Kimiko dan Kiya. Bangunan bergaya Jepang itu memiliki taman kecil di sampingnya. Ditumbuhi rumput gajah yang selalu dipangkas rapi, sebuah ayunan anak-anak menjadi ciri khasnya. Rumah ini aku yang merancangnya sesuai dengan keinginan Kimiko. Ia ingin merasakan hidup di negara asalnya. 

Setidaknya, dengan memilki rumah seperti itu, Kimiko bisa sedikit membayangkan tinggal dengan orang tuanya yang asli. Entah mengapa, selama tiga tahun menjadi suami Kimiko, aku merasakan kehangatan yang tidak kudapat sebelumnya. Mungkin karna Takiya. Gadis dua tahun ini selalu menghadirkan hal hal baru ke dalam hidup kami.

Dari pintu yang menghubungkan taman dengan ruang keluarga, aku tersenyum sendiri melihat Kiya yang sedang berloncatan mengejar bola di taman. Tawanya berderai. Rambutnya yang dikepang bergoyang-goyang. Ingin sekali rasanya mencubit pipi gembil Kimiko versi kecil itu. 

"Apa kau bagagia memiliki kami?" 

Entah sejak kapan Kimiko berada di belakangku. Ia lantas melingkarkan kedua tangan di pinggangku. Aku dapat merasakan hangat pada punggung karna Kimi menempelkan kepalanya pada punggungku. 

"Tentu aku sangat bahagia. Terima kasih karna telah membawa Takiya ke dunia ini."

Aku mengelus lembut punggung tangan Kimiko. 

"Takiya akan menjadi anak yang paling bahagia di dunia. Memeiliki keluarga yang lengkap dan sangat menyayanginya. Terlebih, dia memilikimu. Arsitek berbakat yang sayang kepada keluarga." Satu kecupan Kimi daratkan di pipiku kemudian. Aku membalasnya dengan sayang.

"Dia akan tumbuh dengan baik. Tanpa dibanding-bandingkan denga orang lain."  Kimiko menarik napas panjang.

"Tidak ada yang akan membanding-bandingkannya dengan orang lain di dunia ini, Sayang. Mengapa kau bicara seperti itu?" 

"Tidak, aku hanya melantur. Mmm, kau tahu, Ayash, kalian adalah hartaku yang paling berharga. Dan aku sangat bersyukur memiliki kalian. Apalagi memberikan semua yang terbaik untuk Takiya." 

"Aku pun sama denganmu." 

Aku merangkul tubuh Kimi, kami sejajar sekarang. Kukurung ia dalam dekapan. Kepalanya berkali-kali kuhujani dengan kecupan.

"Ayash ...." kimi bicara di dadaku. Aku belum melerai dekapan.

"Mengapa ada orang tua yang rela memberikan buah hatinya kepada orang lain? Maksudku, untuk diadopsi. Padahal mereka tidak tahu orang tua seperti apa yang akan membersarkan anaknya. Bagaimana karakternya, apakah mereka orang yang baik. Apakah anaknya akan mendapat kasih sayang yang layak?" Kimiko tiba-tiba saja menjadi sangat cerewet. 

"Mungkin ......"

Aku belum menyelesaikan kalimatku ketika Kimi menginterupsi.

"Bahkan sampai seusia ini, aku selalu berharap dapat tinggal dengan keluargaku yang asli." 

Jika sudah begini, aku tahu bagaimana akhir dari pembicaraan ini. Aku cepat-cepat menggamit lengan Kimi. Kupapah dia menuju Takiya yang sedang asyik. Aku tak ingin melihat air mata menumpuk di kelopak mata Kimi. Kimi menurut saja. Wajahnya yang tadi murung kini berubah sendu. Ketika sampai di hadapan Takiya, kami bertiga berpelukan layaknya keluarga yang bahagia.

"Aku mencintai kalian."  Kùdekap Kimi dan Takiya semakin erat. 

**

Kimiko sedang meninabobokkan Takiya ketika aku berniat untuk memakai laptop milik Kimiko. Entah mengapa aku menjadi sangat ceroboh. Laptopku ketinggalan di kantor. Padahal ada beberapa desain yang harus kuselesaikan malam ini. Aku tidak memberi tahu Kimiko perihal ini. Karna ia sudah sangat kewalahan membuat Kiya tertidur. Aku tidak ingin suaraku membangunkan bocah itu.

Kuseduh kopiku sendiri dan duduk di ruang kerja. Sejak bersama Kimiko semua seleraku berganti. Aku yang menyukai teh berganti jadi menggilai kopi. Padahal dulu Shabira selalu mewanti-wanti agar aku tidak  minum kopi secara berlebihan.

Laptop Kimi menyala. Aku segera membuka aplikasi W******p dan menautkan perangkatku di sana. Sembari menunggu jaringan menjadi lebih baik, aku iseng memeriksa folder yang terakhir kali Kimi lihat.

Masa Kecil.

Folder dengan judul itu, begitu menarik perhatian. Pikirku, pasti di sana bertebaran foto-foto Kimi semasa kecil. Rasa penasaranku bertunas kemudian. Segera kuklik folder itu dan seketika saja aku tertegun. Tidak ada foto Kimi di sana. Semua yang tampak olehku adalah foto Shabira. 

Shabira dengan Ibu dan Ayahnya. 

Shabira dengan teman-temannya.

Shabira sedang bermain bola.

Shabira dengan gigi ompongnya.

Shabira dengan tawanya yang lebar.

Shabira lagi, semua benar-benar tentang Shabira. 

Dan anehnya, hanya beberapa foto Shabira yang pernah kulihat sebelumnya. Selebihnya aku bahkan baru pertama kali melihatnya. Kuingat ingat, Shabira pun tak pernah memajang foto-foto itu di media sosialnya. Dari mana Kimi mendapatkannya? Sebagian besar foto itu bahkan diambil secara candid.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status