Share

ES KRIM COKLAT

Sudah dua hari Ayash tidak pulang. Dia belum mengambil barang-barang. Atau bicara lebih lanjut tentang perpisahan kami. Tentang rumah ini atau tentang apa saja. Oh bukankah semua itu tidak penting lagi sekarang. Kami telah bercerai, dia tidak lagi memiliki tanggung jawab atasku. Lalu apa yang kuharapkan darinya?

 Apakah aku rindu? Tentu saja. Aku tidak memungkiri hal itu. Rumah ini terasa sepi tanpanya. Tapi kebencianku padanya juga meluap-luap. Aku benci mengenang segala hal yang pernah kami lalui berdua. Aku juga tidak ingin tahu wanita mana yang merebut hatinya. Atau mengapa ia begitu jatuh cinta kepada perempuan itu. Rasanya menyakitkan tapi semua ini pasti akan terlewatkan. Aku hanya butuh waktu untuk sembuh lalu memulai semuanya dari awal. 

Aku mengedarkan pandangan ke sekililing. Rumah ini tampak sangat berantakan. N*****x menayangkan serial kerajaan Inggris terkenal itu, entah sudah berapa jam lamanya. Aku lupa kapan terakhir kali mematikan televisi. Gelas bekas susu kosong terletak begitu saja di lantai. Tidak jauh dari sofa tempatku duduk. Sofa ini dulunya ada favorit Ayash. Dia yang memilih model dan membelinya.

Beberapa lembar bungkus burger dari restoran cepat saji yang buka dua puluh empat jam, berserakan di lantai. Sisa rotinya sedang dikerubuti semut sekarang. Aku juga belum mandi sejak kali terakhir bertemu dengan Ayash sebelum dia pergi kepada perempuan itu. Yang kulakukan hanyalah duduk berselonjor di lantai, kepala kusandarkan pada sofa. Ponselku entah ke mana. Sudah beberapa jam aku membiarkannya mati karna kehabisan daya. Biarlah begitu, toh tidak ada yang akan kehilangan meskipun ponselku akan mati untuk waktu yang lama. 

Aku sedang menengadah menatap langit-langit ketika mendengar bel berdering. Rumah ini tidak terlalu luas tapi sedikit kedap suara, hingga aku dan Ayash memutuskan untuk memasang bel agar memudahkan tamu yang datang. Seringnya aku dan Ayash menghabiskan waktu di taman belakang. Bercengkrama atau sekadar melihat puluhan ikan koi berenang kian kemari. Tiba-tiba aku teringat ikan-ikan itu. Apa kabar mereka sekarang? Seingatku, aku belum memberi mereka makan. 

Dengan malas aku berdiri setelah membiarkan bel itu berbunyi selama beberapa menit. Pikirku, mungkin Ayash kembali untuk mengambil barang-barangnya.  Atau menjelaskan duduk perkara tentang rumah ini atau hal lainnya. SEgera aku masuk kamar dan kembali setelah menutup kepalaku dan memakai pakaian yang pantas. Kami bukan muhrim hingga aku tidak bisa berpakaian semauku di hadapan Ayash. 

Sayup-sayup aku mendengar suara Arav. Lelaki itu, mungkinkah dia yang datang mencariku? 

“Seharian ini ponselmu mati. Aku menjadi cemas.”  Arav menodongku dengan kalimat-kalimatnya setelah pintu terbuka sempurna. Ia tidak meminta izin untuk masuk. Ia melakukannya begitu saja. 

Aku sudah mengenal Arav sejak masa kanak-kanak. Orang tua kami bersahabat. Aku tahu baik dan buruk lelaki itu. Apa yang ia suka dan tidak suka. Pun dengannya. Bisa kubilang bahwa dialah yang paling paham tentangku. Ia yang selalu bersabar atas keras kepalaku. Sampai kini, Arav belum menikah, katanya belum menemukan perempuan yang pantas. Sejak menikah dengan Ayash, aku sedikit berjarak dengan Arav. Ayash tidak terlalu menyukai Arav. Kata mantan suamiku itu, tidak ada persahabatan yang benar-benar murni antara lelaki dan perempuan. Salah satunya pasti ada yang menaruh hati. Kupastikan itu bukan aku. Dan Arav? Jatuh hati padaku? Mustahil. Mantan-mantannya jauh lebih cantik dibanding aku. 

“Hei, kenapa bengong?”

Arav menjentikkan jemari tepat di depan mukaku. Aku menggoyang kepala dua kali, sekadar membuat kesadaranku kembali. 

“Kau bau sekali,” katanya lagi

“Aku ingin ke pantai,” ucapku tanpa berpikir panjang. Tidak kutanggapi pernyataannya beberapa saat lalu. 

“Sekarang?” 

“Iya.” 

“Dalam keadaanmu yang seperti itu?” Arav memindaiku dari ujung kepala ke ujung kaki. 

“Yah. Apa kau malu?”

“Tentu tidak. Ayo kita berangkat.”

Selama di perjalanan aku hanya diam. Hanyut dalam genangan kenangan bersama Ayash. Sementara Arav tidak sekali pun mengangguku. Ia mengemudi dengan tenang. Arav selalu begitu. Ketika aku sedang bersedih ia hanya akan memberikan ruang yang banyak untukku menyendiri. Ia tidak akan memaksaku untuk bercerita sebelum aku yang melakukannya sendiri. 

Arav tahu tempat apa yang ingin kudatangi tanpa memberitahunya. Dulu, aku sering mengajaknya ke tempat ini. Pantai itu bukanlah pantai landai yang bisa dijadikan tempat berenang. Tempat itu adalah sebuah tebing yang menjorok ke lautan. Jika kau ingin bermain air, bukan di sini tempatnya. Kau hanya dapat merasakan tiupan angin kencang yang akan menerbangkan rambutmu. Kau juga tak akan dapat mendengarkan suara-suara kecuali orang itu berteriak tepat di telingamu. 

Aku berdiri persis di tepi tebing. Di mana sebatang pinus beridiri kokoh. Tepat di bawahku, laut biru toska bergelombang. Arav berdiri sejejar di belakangku. Ia membiarkanku berteriak seperti orang gila. Ketika suaraku hampir parau, aku kembali ke dalam mobil. Arav mungkin masih dapat melihat sisa air mata di pipiku. 

“Sejak kapan kalian punya masalah?” Arav memulai lebih dulu setelah aku berhenti menangis. Aku mungkin terlihat sangat bodoh di hadapannya sekarang. Menangis untuk lelaki yang jelas-jelas tak menginginkanku. Padahal aku telah berkorban banyak untuknya. Aku memang setolol itu. 

Setelah Arav bertemu dengan Ayash di rumah sakit. Lelaki itu menelponku dan meminta penjelesan terhadap apa yang ia dengar. Tentu saja ia ikut terguncang mendengar pengkhianatan Ayash. Sama sepertiku. Namun waktunya yang sempit menghalanginya langsung menemuiku. 

“Tidak, kami tidak pernah punya masalah. Setidaknya begitulah yang kuingat. Mungkin baginya tidak begitu. Barangkali aku tidak memenuhi semua kriteria yang dia inginkan.”

“Kau sesempurna ini dan dia masih mencari perempuan lain?” Suara Arav hampir diterbangkan angin yang masuk melalui jendela kaca mobil yang terbuka separuh. 

“Kau pernah mendengar tentang es krim coklat dan stroberi?”

Aku tidak menunggu reaksinya untuk melanjutkan kalimat berikutnya. 

“Meskipun kau adalah es krim coklat paling enak di dunia, tapi dia mengingkan es krim rasa stroberi, kau bisa apa?. Mungkin akulah es krim coklat itu. Banyak hal yang telah kulakukan untuknya. Sekarang kau lihat balasannya untukku?” Lanjutku. Aku masih menatap laut biru yang berkilat disinari matahari pukul dua siang.

“Aku akan mengatakan kepadanya perihal hasil tes kesuburan itu. Kadang lelaki memang harus diberitahu tentang kekurangannya agar ia tidak berani macam-macam.”

“Tidak, Rav. Kau tidak akan melakukan hal itu.” 

“Dia harus tahu bahwa dia infertil. Perempuan Jepang itu telah menipunya, Sha.” 

“Untuk apa? Agar dia kembali padaku? Dia sudah membuangku, Rav. Sejak pertama kali ia menjatuhkan hati pada perempuan itu ia telah menyingkirkanku dari hatinya. Andai cintanya padaku sebesar aku mencintainya, ia akan menundukkan pandangan dari perempuan lain.”

“Kau ingat kata Ibuku?” Arav memlingkan wajah kepadaku. Aku melakukan hal serupa. Kubiarkan mata dan hidungku yang merah terlihat olehnya. 

“Tentang apa?” desakku. 

“Bahwa tak ada kebohongan yang membawa kebaikan di dunia ini, Sha.” 

“Yah, meskipun kau berbohong demi kebaikan. Bukankah kisahku ini terlihat seperti senjata makan tuan?” Aku menyeringai, menertawakan kebodohanku sendiri. 

Ada pedih berkelindan di dadaku. Andai waktu itu aku menuruti Arav, semua ini tidak akan terjadi. Ayash mungkin masih menjadi suamiku. Kami mungkin masih bahagia. Duduk berdua di taman belakang sambil menghirup aroma the kamomil kesukaanku. Ah, andai saja. 

“Kau mengenal Kimiko?” Dari intonasi Arav, aku tahu bahwa ia sangat berhati-hati. 

“Siapa dia? Aku baru pertama kali mendengar namanya. Apakah dia ….” 

“ Yah. Dia perempuan itu. Perempuan yang merebut Ayash.” 

Kimiko, nama itu terdengar tidak asing. Pasti dia cantik dan punya sesuatu yang membuat Ayash tunduk. Oh aku lupa. Perempuan itu memiliki anak. Maksudku akan memiliki anak. Dan Ayash terlalu percaya diri bahwa dialah ayah dari janin yang perempuan itu kandung. 

“Nama yang bagus. Kau mengenalnya, Rav?” 

“Yah. Dia adalah mantan pasien Dokter Yanuar. Orang yang kuanggap ayah di rumah sakit. Dan … kami pernah dekat selama beberapa bulan. Aku tidak menceritakannya kepadamu karna aku ingin memberimu kejutan. Tapi sesuatu membuatku mengurungkan niat untuk melangkah lebih jauh dengannya.”

Wow ini benar-benar kejutan. Penjelasan Arav barusan membuatku semakin penasaran kepada perempuan yang bernama Kimiko itu. Siapa dia sebenarnya dan mengapa dia menipu Ayash. Oh apa peduliku tentang itu? 

“Kau tahu di mana Ayash bertemu dengan perempuan itu?” 

“Tidak. Dan …. Arav, bisakah kita tidak membicarakannya lagi? Maksudku aku tidak ingin membicarakan tentang perempuan itu lagi. Juga Ayash, aku ingin melupakan mereka. Selamanya. Saatnya memulai bab baru."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status