Share

MARI KITA BERPISAH
MARI KITA BERPISAH
Penulis: Mande Hanifah

MARI BERCERAI, SHA

Bukan rumah tangga yang sepi. Ranjang kami selalu hangat. Dua kursi di taman kecil kami adalah saksi bahwa tiada sore yang terlewat tanpa obrolan ringan yang menenangkan. Kecuali ketika suamiku sedang menjalankan tugas ke luar kota. Menatap lagit jingga dengan segelas teh kamomil, kudapan manis atau beberapa potong tahu goreng saja cukup membuat kami merasa semuanya baik-baik saja. Bahkan sampai di tujuh tahun pernikahan tanpa kehadiran seorang anak. 

Di depan cermin, aku mematut diri lagi. Mengagumi potongan rambut model terbaru yang masih lembap. Beberapa jam yang lalu aku baru saja kembali dari pusat perawatan perempuan paling terkenal di pinggir kota kami. Tempat yang selalu kukunjungi di akhir pekan. Sekadar menghabiskan waktu untuk mengikir kuku jempol kaki atau keramas dengan krim favoritku. 

Hari ini Ayash—suamiku—pulang. Sudah tiga hari dia keluar kota. Waktu yang terasa sangat lama bagiku. Mungkin baginya juga. Setidaknya begitu yang kutangkap dari pesan mesra atau panggilan telpon darinya. Bukankah kami terlihat seperti pasangan yang sangat bahagia? 

Telponku berdering. Aku membiarkannya begitu saja. Aku selalu suka membuat Ayash menunggu dan dilanda penasaran. Lelaki itu mungkin sedang menggerutu sekarang. Merutuki istrinya yang sengaja tidak menjawab telpon. Sabarlah Sayang, tidak lama lagi kita akan bertemu. Aku hanya perlu waktu untuk bersiap-siap, menyambutmu. 

Klakson mobil Ayash kudengar kemudian. Lalu suara pagar terbuka. Aku tidak perlu meragukan bahwa benar-benar Ayash yang sedang berada di luar sana. Aku sangat hafal caranya menarik pintu besi itu. Halus dan tertata. Sedalam itulah kucintai dirinya. Aku mengenalnya bahkan sampai pada hal-hal terkecil yang luput dari perhatian orang lain. 

Dengan langkah yang panjang-panjang, aku menujunya.  Sebuah kecupan mungkin akan menjadi pengantar pertemuan kami setelah memendam rindu berhari-hari. 

"Welcome home, King." 

Aku berseru dari ambang pintu. Sengaja aku memainkan rambut dengan jemari untuk menggodanya. Bulu mata yang beberapa saat lalu kupoles dengan mascara, kukedipkan beberapa kali. Ayash belum mengalihkan perhatian padaku atau pada dress putih selutut berbahan satin yang kukenakan. Padahal ini adalah stelan kesukaannya. 

Aku rindu? Tentu saja. 

Ayash tidak menyahut. Ia mengalihkan pandang pada ransel besar yang ia jinjing. Senyumannya yang tidak seramah biasa membuatku tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres.  Barangkali ada hal  tidak menyenangkan yang terjadi di kantornya. Masalah pekerjaan adalah satu-satunya hal yang berhasil merebut senyuman suamiku itu. Setidaknya begitulah yang aku tahu selama bertahun-tahun hidup seatap dengannya. 

"Miss you, King." 

Segera aku bergelayut di lengannya. Beriringan kami melangkah masuk ke rumah. Ayash membiarkan ransel yang tadi ia bawa tergeletak begitu saja di ruang tamu. Tugasku nanti yang membereskannya. Lelaki yang selalu wangi itu lantas berdiri menghadapku sambil menggulung lengan kemejanya. 

"Aku mau bicara, Sha." 

Tatapan kami berserobok. Suara Ayash terdengar tanpa tenaga. Sesuatu yang tak kutahu barangkali sedang bergelayut dalam pikirannya sekarang. 

"Nanti saja. Sekarang kamu mandi, kita ngeteh setelahnya. Tadi aku beli bolu pandan jadul kesukaanmu." 

"Tapi  Sha, aku hanya ingin bicara ...." 

"No. No. Tidak sekarang, Sayang. Kita bicara di taman." 

"Sha, plis ...." 

Aku tidak hirau. Segera kulangkahkan kaki meninggalkannya. Dua teh hangat harus segera kusiapkan. Pukul lima sore sekarang. Waktu yang paling pas untuk bersantai sambil mendengarkan ceritanya. Biasanya, setelah itu ia akan meringkuk di pelukanku dan bangun dengan semangat yang menggebu-gebu. Ayash kadang memang sekekanakan itu. 

"Waktunya ngeteh ...." 

Aku meletakkan nampan di atas meja bundar berkaca transparan. Pikirku Ayash beranjak ke kamar dan mandi selama aku menyiapkan teh untuk kami berdua. Ternyata dia malah berjongkok di pinggir kolam ikan kecil yang terletak persis di depan dua kursi dengan meja bundar berkaca transparan kesayangan kami. Jemarinya sibuk menyemai makanan ikan. Sementara itu, di dalam air yang mulai keruh, puluhan ikan koi berebut makanan. 

"Tumben gak mandi dulu." 

Aku melakukan hal serupa. Berjongkok di sampingnya. Baru saja aku merebut makanan ikan dari tangan Ayash, ketika lelaki itu memilih berdiri dan mendaratkan dirinya di kursi taman. 

Seberat itulah masalahmu, Sayang? Kau bahkan belum menanyakan kabarku.

“Duduklah, Sha. Aku ingin bicara.” 

Aku menurut. Segera kuambil tempat di sampingnya. Pada kursi taman kami yang menghadap langsung ke kolam ikan. Teh hangat yang masih mengepulkan asap menguarkan aroma kamomil dari atas meja kami yang berkaca transparan. 

“Ceritalah, Sayang. Aku di sini,” ujarku penuh semangat.  

Ayash berdiri, lalu menarik kursinya ke depanku. Kami saling berhadapan sekarang. 

“Sha ….” 

Ayash menarik  napas dalam. Ia tak perlu bicara untuk memberitahu bahwa beban yang sangat berat kini bergelayut di hatinya. 

“Sayang, bagilah denganku,” Aku mengurung jemarinya di dalam genggaman. Telapak tangan itu tak sehangat biasa. Dingin dan terasa kaku. Ada apa, Sayang? Apa yang telah terjadi? 

Ayash menepis tanganku. Untuk kali pertama. Ini di luar kebiasaannya. Biasanya ia yang selalu enggan melerai tautan jemari kami. Ia lalu menatapku, dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan. Lalu bola matanya berputar liar. Apakah ia sedang menyusun kalimat yang pantas?

“Sha, kita berpisah saja. Aku ingin bercerai.”  

Lelaki itu menunduk dalam-dalam. Badai bergelombang seperti baru saja menerjang jantungku. Rasanya ada seekor beruang besar yang tiba-tiba mencakar dadaku.  Kau tahu rasanya ketika semua kuku dicabut paksa dari jemari? Mungkin ini jauh lebih perih. 

“Bercanda kamu ga lucu, Sayang.” Aku menguatkan hati. Berharap ini hanya mimpi dan aku harus bangun secepatnya. Ayash hanya mengerjaiku saja. Dia tidak mungkin serius dengan perkataannya. 

“Sha, dia hamil. Dia mengandung bayiku, bayi kami.”

Ayash tidak mendongak untuk menatapku. Pandangan masih ia biarkan berlabuh pada ujung jempolnya yang pucat. Aku segera tahu bahwa ia tidak main-main. Ayashku tidak mungkin bercanda seketerlaluan kali ini. 

“Hamil?”

Semakin dalam Ayash menundukkan kepala. 

“Kau telah berzina?” Aku mencecarnya.

“Tidak Sha, tidak seperti itu. Dia perempuan baik-baik. Aku telah menikahinya Sha. Kami menikah tanpa dokumen resmi.” 

Ada kabut yang mulai berputar dalam benakku. Telingaku berdengung hebat. Kepalaku mendadak bising. Hamil, barusan Ayash mengatakan bahwa ia telah menghamili perempuan lain.  

Bagaimana mungkin? 

Ingatanku terlempar pada kejadian lima tahun silam. Aku masih ingat selembar kertas yang kupegang pada petang yang basah itu. 

“Hasilnya udah keluar, Sha. Kamu sehat. Tidak ada masalah dengan rahimmu. Kau sempurna. Kau bahkan bisa melahirkan sepuluh anak nanti.” Mata Arav berkilat-kilat. 

“Alhamdulillah. Aku senang sekali.” 

“Tapi … Ayash. Dia invertil, Sha. Dia mandul dan tidak akan mungkin bisa memiliki keturunan.” Wajah Arav berubah sendu. Selembar kertas hasil pemeriksaan laboratorium ia berikan padaku. 

Aku mencerna informasi yang tertera dalam selembar kertas berlogo laboratorium klinik itu dengan teliti. Lalu pikiranku sibuk menerka bagaimana perasaan Ayash jika mengetahui hal ini nanti. Tidak terbayangkan olehku betapa kecewanya ia. 

“Bisakah kamu melakukan sesuatu untukku, Rav?” 

“Tentu saja. Kau selalu bisa mengandalkanku, Shabira Altafunnisa.”

“Tolong ubah hasil tes milik Ayash. Jangan hancurkan impiannya, Rav. Ia pasti akan sangat terpukul jika mengetahui bahwa dirinyalah penyebab kami tidak bisa memiliki anak sampai saat ini.” 

“Tapi itu ilegal, Sha. Aku tidak bisa melakukannya.” 

“Kau dokternya, Rav. Mustahil kau tak bisa melakukannya. Kertas itu hanya akan aku berikan pada Ayash, sementara yang asli kau bisa simpan dan kirim sebagai laporan. Aku mohon, Rav. Aku tidak bisa melihat kecewa di wajah Ayash.” 

“Baiklah, Sha. Aku akan membuat salinan untuk kau perlihatkan pada Ayash. Tapi ini beresiko, Sha.” 

“Apapun resikonya. Aku siap menerimanya, Rav. Demi Ayash. Demi rumah tangga kami.” 

Tidak menunggu lama, hasil tes bohongan itu segera kudapatkan. 

**

“Sha … Shabira,  aku minta maaf.” 

Suara Ayash memenuhi pendengaran. Ingatanku pada petang basah itu tercabut paksa. Ayash mengguncang bahuku. Tidak kutahu entah sudah berapa lama aku menyusuri bilik ingatan tentang hasil pemeriksaan kesuburan kami waktu itu. Ayash jelas invertil. Ia mandul. Lalu siapa ayah bayi yang kini sedang meringkuk dalam kandungan perempuan itu?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Aniek Oktari Keman
cerita yg uďh lama sy tunggu,mksh mande
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau njing. sok paling dicintai. gimana rasanya diselingkuhi. sok2an jadi pahlawan kesiangan. menyembunyikan kebenaran lrn harya dan takut miskin. pemalas benalu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status