Pov DanielNAYARA HANIFA, adalah nama yang tercetak pada name-tag baju seragam putih biru gadis itu.Iya, aku mengenal—atau lebih tepatnya: menyadari keberadaannya, sejak ia datang ke sekolah ini untuk melakukan pendaftaran ulang. Seorang lelaki mengantarnya dengan mengendarai sepeda motor sport idaman kami semua, para anak remaja.“Cih, baru aja tamat SMP udah jadi piaraan om-om,” komentar Yudi, rekan OSIS-ku yang juga ikut menyaksikan kedatangannya.“Hush! Jangan gitu! Bapaknya itu! Mana ada om-om nganterin sugar baby-nya daftar sekolah?! Paling ponakannya kalau iya!” jawabku kesal.Si Yudi ini, semua dia komentarin. Anak-anak yang datang sendiri, dia bilang orang tuanya gak peduli. Ada anak yang datang dengan diantar mobil mewah, dia bilang orang tuanya terlalu memanjakan. Ada anak yang diantar dengan berjalan kaki, dia bilang orang tuanya terlalu tega membiarkan anaknya harus menaiki ratusan anak tangga. Ah, memang berkumpul dengan orang semacam dia semua jadi terasa serba salah.
Aroma khas minyak kayu putih begitu menusuk indra penciumanku. Tampak wajah Elina yang begitu khawatir, tengah memandangiku ketika aku membuka mata.“Lin? Ini di mana?” tanyaku. Aku sedikit bingung. Ada sesuatu yang penting yang baru saja kutahu, tapi aku tak ingat apa.“Kamu di UKS, Nay...,” jawab Elina.“Kamu pingsan tadi abis dari perpus.”Elina mengulum senyum dengan raut menggodaku. “Untung ada Kak Daniel. Ciee....”Tak kuhiraukan Elina yang menjawil pipiku. Aku harus mengingat sesuatu....“Bukuku mana, Lin?” Aku mencari diari Kak Yumna, tapi tak tampak di ruangan itu.“Buku apa, Nay?”“Buku catatan warna item. Kamu lihat gak? Tadi aku abis baca buku di perpus,” terangku.“Gak tau aku, Nay. Bentar, aku tanya Kak Daniel ya.”“Ini, kamu minum dulu yuk tehnya. Kamu pucet banget gitu.”Teman sebangkuku itu memberikan segelas teh hangat padaku sembari mengeluarkan ponselnya. Ah, ia begitu perhatian, bahkan sampai rela melewatkan jam pelajaran demi menungguiku di sini. Aku berterima ka
“Kenapa tadi datang pagi banget?”Kak Daniel mengajukan pertanyaan sembari tangannya bergerak menarik tuas persneling.Aku memilih menggelengkan kepala. Enggan menjelaskan. Namun terlalu lelah untuk mengarang sebuah alasan.“Gak papa, kak.”Kak Daniel seperti memahami maksudku. Lelaki berkulit putih bersih itu kemudian hanya diam, fokus pada kemudinya.Perasaanku mendadak tak enak ketika kendaraan kami berpapasan dengan sebuah mobil jenazah dari arah berlawanan. Dengan sirene dimatikan, artinya kendaraan pengangkut jenazah itu sudah menurunkan muatannya.Badanku bergerak mengikuti pandanganku yang mencoba membaca tulisan pada mobil jenazah itu. Benar. Itu mobil jenazah dari Ibu Kota. Aku menelan saliva. Apa ibu sudah sampai?“Kenapa?” tanya lelaki di sebelahku.Aku kembali menggeleng.“Ra ....”“Kamu bisa cerita ke aku kalau ada masalah. Jangan apa-apa serba dipendem sendiri. Gak baik buat kesehatan sama mental kamu. ” Kak Daniel menasihatiku. Sesekali kepalanya menoleh kepadaku, kemu
Bu Haji adalah orang pertama yang menyambutku. Perempuan baik hati itu mempersilakanku dan Kak Daniel untuk masuk.“Ayo, sebentar lagi mau disalatin,” ujarnya.Aku masuk ke rumah, orang-orang di dalam sama, semuanya menatapku dengan tatapan malas, lalu beralih seolah tak melihatku sama sekali. Rasa dingin tiba-tiba menjalar dari ujung kakiku hingga ke ujung kepala. Aku menutup mata sejenak. Situasi seperti ini, rasanya aku ingin kabur saja, tapi ini rumahku, dan itu kakakku tengah dibaringkan.Ibu tampak lelah, Kak Abel memijati pundaknya. Oh, apa kakakku tahu bahwa aku mengetahui perbuatannya? Aku merasa benar, tapi kenapa aku harus takut? Maksudku, aku tidak berbuat kesalahan seperti yang dilakukan Kak Abel, tapi kenapa di sini aku seolah merasa dihakimi oleh tatapan benci mereka?“Orang tuamu yang mana, Ra?” tanya Kak Daniel berbisik.Aku menunjuk dengan kedua bola mataku pada ibuku yang sedang dipijati oleh Kak Abel. Seketika Kak Daniel melangkah maju, aku pun mengikutinya.“Sore
“Keterlaluan kau, Mas! Kenapa kau tak pulang saja ke rumahnya sekalian, ha?! Tidur sampai pagi di rumah si janda sialan itu!”Aku mengerjapkan mata. Melayangkan pandangan ke sekitar yang diselimuti keremangan cahaya lampu tidur. Tatapanku berhenti pada jam meja analog milik kakakku yang berpendar mengeluarkan cahaya lembut pada jarum jam dan angka-angkanya. Jarum jam dan menit pada benda itu sama-sama menunjuk pada angka satu. Lagi-lagi aku harus terbangun oleh suara keributan yang ditimbulkan Ayah dan Ibu.“Apa sih, Ras? Kebiasaan kau sembarangan nuduh! Aku ini ada rapat sama para pengurus partai lainnya sampai tengah malem. Aku Cuma kebetulan ketemu Rahma pas pulang.”“Prang,” suara benturan dari benda pecah belah yang beradu dengan lantai menyusul terdengar.“Sudah kubilang jangan kau sebut nama si janda laknat itu! Dasar kau banyak alasan! Kau tak ingat ha, tiga anakmu itu perempuan semua, Darman?! Kau tak takut karmamu jatuh pada anak-anakmu, ha?!”“Seharusnya kau ngaca Rasti! Sia
“Loh, kok bisa sih Papa Naya ngasih sepeda ke Galang? Padahal Naya sendiri kan gak pernah punya sepeda.” Dinda, teman yang ikut berjalan bersamaku berujar.Aku hanya diam. Ayah memang tidak pernah membelikanku sepeda, bahkan yang roda tiga sekali pun. Alasannya, sudah ada sepeda milik Kak Abel, aku bisa meminjamnya. Tapi sepeda Kak Abel masih terlalu tinggi untuk kupakai belajar.“Loh, Bu Rasti, kok bisa Pak Darman ngasih sepeda ke Galang?” Bu Ratih ikut bertanya pada ibuku.“Iya. Hati-hati loh Bu Rasti, jangan-jangan Galang mau diangkat jadi anaknya,” sambung Bu Mega.“Anak tiri!” Bu Mega berbisik yang masih terdengar jelas olehku. Disusul kemudian oleh tawa tertahan beberapa ibu-ibu yang berjalan mengantar anaknya.Kulihat teman-temanku pun mulai berbisik-bisik. Farah, teman yang berjalan di sampingku mengusap punggungku untuk membesarkan hatiku. Aku hanya bisa berjalan menunduk sambil memainkan dasiku.“Oh itu, kemarin Mas Darman ketitipan dana amal dari partainya. Katanya buat ana
“Nay, Nay, Naya ... itu bukannya ayah kamu, ya?” Lusi menunjuk ke arah sebuah Swalayan yang berada di seberang jalan raya.“Mana? Mana?” Tanya teman-temanku yang lain.“Eh, iya kayaknya itu ayahmu deh, Nay!” Farah memastikan, ia menyipitkan indra penglihatannya yang terlindungi oleh sepasang kaca mata minus.Aku berjalan membelah kerumunan teman-temanku. Di sana, mungkin sekitar seratus meter di seberang jalan raya, tampak seorang lelaki dewasa menggunakan setelan jaket hitam dan celana jin biru tua berjalan menuju sebuah sepeda motor yang amat kukenali karena sering terparkir di halaman belakang rumahku. Seorang anak lelaki berjalan mengikuti di belakangnya. Anak itu tampak sedang memakan sebuah es krim dengan lahapnya.“Ayaaah ...!” Aku berlari sambil berteriak memanggil ayahku.“NAYA! AWAS MOBIL!” Seru teman-temanku.Sepasang tangan dengan sigap mendekap erat tubuhku seraya menarikku ke belakang ketika aku hampir berlari melintasi jalan raya yang dipenuhi lalu lalang kendaraan.Itu
“Ke...ke...kenapa, Bu?” Tanyaku terbata-bata. Aku mencoba memastikan pendengaranku.“Kau tadi lihat ayahmu ngebonceng si Galang?” Ibu kembali mengulang pertanyaannya, kali ini dengan suara yang pelan tidak berbisik seperti sebelumnya. Namun suara itu terdengar datar, tidak seperti orang bertanya. Tangannya berhenti memetiki kangkung. Kulirik sekilas, matanya pun menatap ke arah lain dengan raut wajah yang hampa.“I...iya, Bu.” Aku coba menjawab pertanyaan ibu walau dengan nada ragu, jujur aku takut ibu marah.Lama tak terdengar lagi kata-kata dari mulut ibu. Perlahan aku mengambil sebatang demi sebatang kangkung lalu mulai ikut memetikinya sambil menunggu ibu kembali bicara.“Nay, kalau ayah dan ibu berpisah, dan ibu pulang ke pulau seberang, kau mau ikut siapa?” Akhirnya ibu kembali bicara, tapi tatapan matanya masih kosong.Kakakku sering bercerita bahwa Ibu berasal dari pulau seberang yang jauh sekali dari rumah kami yang sekarang. Katanya, untuk sampai ke sana, kita harus menaiki