Share

Siksaan Ibu

“Loh, kok bisa sih Papa Naya ngasih sepeda ke Galang? Padahal Naya sendiri kan gak pernah punya sepeda.” Dinda, teman yang ikut berjalan bersamaku berujar.

Aku hanya diam. Ayah memang tidak pernah membelikanku sepeda, bahkan yang roda tiga sekali pun. Alasannya, sudah ada sepeda milik Kak Abel, aku bisa meminjamnya. Tapi sepeda Kak Abel masih terlalu tinggi untuk kupakai belajar.

“Loh, Bu Rasti, kok bisa Pak Darman ngasih sepeda ke Galang?” Bu Ratih ikut bertanya pada ibuku.

“Iya. Hati-hati loh Bu Rasti, jangan-jangan Galang mau diangkat jadi anaknya,” sambung Bu Mega.

“Anak tiri!” Bu Mega berbisik yang masih terdengar jelas olehku. Disusul kemudian oleh tawa tertahan beberapa ibu-ibu yang berjalan mengantar anaknya.

Kulihat teman-temanku pun mulai berbisik-bisik. Farah, teman yang berjalan di sampingku mengusap punggungku untuk membesarkan hatiku. Aku hanya bisa berjalan menunduk sambil memainkan dasiku.

“Oh itu, kemarin Mas Darman ketitipan dana amal dari partainya. Katanya buat anak yatim. Dari pada bingung nyari panti asuhan, sudah malem juga kan, jadi mending kusuruh aja sumbangin ke si Galang. Kan dia juga anak yatim,” terang ibuku.

“Wah, ternyata Pak Darman amanah ya orangnya. Cocok memang kalau jadi politisi,” sahut Bu Ratih yang disambut anggukan oleh ibu-ibu yang lain.

“Ah, ibu bisa saja. Suami saya cuma pengurus biasa, Bu.”

“Iya, Bu Mega. Gak mungkinlah suaminya Bu Rasti sampai macam-macam. Wong anaknya tiga perempuan semua. Apa gak takut tuh Pak Darman, karmanya turun ke anaknya.” Bu Irma membela ibuku.

“Iya, betul itu Bu Mega, jangan asal menggosip.” Bu Ratih setuju.

“Tapi Bu, setahu saya dalam agama kita gak ada yang namanya karma. Yang ada perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan berkali-kali lipat. Sementara perbuatan jahat hanya akan dibalas sesuai kadar kejahatannya.” Bu Farida yang terkenal alim di desa kami ikut memberi komentar.

“Nah, itu maksud saya Bu Farida. Saya takut kalau Pak Darman ngasih sepeda ke anak orang lain, sementara anaknya sendiri gak pernah dia belikan sepeda. Apa gak jahat tuh Pak Darman sama Naya?” Bu Mega menggunakan namaku untuk membela dirinya.

“Eh, Bu Mega, kan Bu Rasti tadi sudah bilang kalau itu teh dana sumbangan dari partai bukannya uang Pak Darman sendiri.” Kata Bu Irma.

Suara obrolan ibu-ibu semakin menghilang dari jangkauan pendengaranku seiring aku memasuki gerbang sekolah, sementara para ibu itu melanjutkan kegiatan merumpi mereka di teras toko seberang sekolah. Dari kejauhan, kulihat Galang mengayuhkan sepedanya ke sana ke mari dengan wajah yang riang.

Galang belum bersekolah. Mungkin usianya satu tahun lebih muda dariku. Tapi kakaknya, Chandra, setahuku dia sudah kelas lima sekolah dasar. Aku tidak terlalu mengenal mereka. Aku hanya sering mendengar nama ibu mereka, Tante Rahma, yang terkadang disebut-sebut ketika Ayah dan Ibu bertengkar. Rumahku dengan rumah tetangga lainnya cukup berjarak. Sehingga kecil kemungkinan para tetangga mendengar pertengkaran Ayah dan Ibu semalam, kecuali jika ada yang melintas tepat di depan rumahku. Kalau pun ada yang mendengar, ibu selalu berdalih dengan mengatakan itu suara kucing mengejar tikus, lalu mulai mengarang cerita yang menarik seperti biasa.

Pulang sekolah, ibu masih menungguku. Ia terlihat sedang merumpi bersama ibu-ibu lainnya di teras sebuah toko. Aku heran, kenapa ibu selalu marah kepadaku karena harus mengantar-jemputku ke sekolah, padahal aku tak pernah meminta. Lagi pula, aku merasa aku sanggup pulang-pergi ke sekolah sendirian tanpa ibu.

“Taruh yang benar sepatumu! Setelah itu ganti baju, makan, lalu kerjakan PR-mu!” Ibu bertitah segera setelah masuk rumah.

Aku menurut, segera merapikan sepatuku ke tempatnya. Lalu berlari ke kamarku sendiri.

Kubuka almari bajuku. Isinya penuh oleh potongan kaus serta celana pendek dan panjang. Tidak ada satu pun gaun atau rok, kecuali mungkin seragam sekolah dan baju-baju bekas kakakku yang sudah sangat usang. Bahkan baju-baju yang biasa kupakai untuk mengaji pun berupa setelan kemeja model tunik dan celana panjang. Kadang aku iri dengan Dinda, Farah, Tiara dan teman-teman perempuanku lainnya yang selalu memakai gamis atau setelan rok ketika mereka mengaji. Mereka tampak cantik dan anggun dengan pakaian seperti itu, seperti Kak Yumna dan Kak Abel sewaktu kecil. Foto-foto mereka yang menggunakan gaun-gaun indah masih tersimpan rapi di buku album foto keluargaku.

Ah, aku ingat jika Kak Yumna dan Kak Abel masih menyimpan banyak koleksi busana mereka waktu kecil di bagian terbawah lemarinya. Aku ingin mencobanya, siapa tahu sekarang baju-baju itu sudah muat di badanku.

Aku berlari menuju kamar kakakku. Binar mataku langsung tertuju pada sebuah almari kayu besar tempat sebagian baju-baju masa kecil kedua kakakku dimuseumkan. Aku segera menghampirinya. Membuka pintunya. Mataku segera menangkap buntalan-buntalan baju tak terpakai yang tersimpan rapi di bagian bawah. Aku duduk bersimpuh, mulai mengeluarkan satu buntalan, membukanya, dan memeriksanya satu-persatu.

Baju kakakku masih bagus-bagus. Sayangnya ini masih terlalu besar, ukurannya belum ada yang pas di tubuhku. Aku mengambil satu buntalan lagi, lalu kembali memeriksanya.

“NAYA!”

Aku terperanjat. Seketika kuhentikan aktivitasku memeriksa busana kakakku. Kulihat Ibu sudah berdiri di ambang pintu kamar kakakku dengan wajah yang amat murka. Ia melangkah terburu menghampiriku. Wanita yang telah melahirkanku itu kemudian menjewer telingaku dengan kasar untuk menarikku agar mengikuti langkahnya.

“Kau ini budeg atau apa, hah?! Kusuruh kau ganti baju malah mengacak-ngacak lemari kakakmu! Aku pula nanti yang harus beresin! Kau ini! Sudah di dalam perut kau nyusahin, lahir pun kau nyusahin, sekarang sudah besar kau masih terus nyusahin aku! Dasar anak sialan! Sini kau!”

Ibu melepas jewerannya di telingaku lalu menjatuhkanku kasar di depan lemari bajuku. Sakit. Telingaku terasa panas. Air mata tak dapat ditahan lagi, ia mengalir sendiri dengan derasnya walau tanpa suara.

Wanita yang dinikahi ayahku 22 tahun lalu itu membuka kasar baju seragamku seraya terus mengomel. Ia kemudian memakaikanku kaos dan celana pendek yang sembarang diambilnya dari lemari bajuku. Aku hanya bisa menurut sambil menahan tangisku agar tidak bersuara. Ibu biasanya akan lebih murka jika mendengar aku menangis.

Selesai membereskan pakaianku, Ibu menarik tanganku menuju meja makan, aku pasrah mengikutinya. Ia masih terus saja mengomel tentang betapa repotnya dia mengurusiku. Membandingkan aku dengan kedua anaknya yang lain atau pun dengan anak-anak tetanggaku. Anehnya, ibu masih menuangkan nasi ke atas piringku, lalu menyuapiku dengan kasar. Padahal aku merasa, aku pun bisa makan sendiri tanpa disuapi ibu.

“MAKAN! Bukannya nangis!” bentaknya.

Aku tergugu demi mendengar bentakan ibu. Sulit untukku menelan makanan di situasi seperti ini. Aku jadi terbatuk lalu memuntahkan makanan yang belum sempat kutelan. Bisa ditebak, hal itu membuat ibu semakin murka padaku. Ia mengambil piringku lalu melemparkannya ke wajahku, seraya terus memaki. Tak berhenti sampai di situ, ibu juga melemparkan semua benda yang ada di meja ke arahku. Lalu berjalan ke dapur mengambil sapu lidi dan mulai memukuliku berkali-kali dengan benda itu.

“Nangis terus kau! Nangis yang kenceng biar semua orang tau!” Ibu mulai membereskan meja makan sambil terus mengomel kepadaku. Aku hanya bisa menangis, tak berani bergerak melakukan apa pun takut ibu semakin marah.

Selesai membereskan semuanya, kemarahan ibu mulai mereda. Wanita itu mengambil handuk lalu mengajakku ke kamar mandi. Membersihkan sisa-sisa nasi di rambutku. Ia juga memandikanku tanpa banyak bicara. Kupandangi wajahnya sekilas, kemarahannya sudah hilang, berganti dengan rona dingin yang memancarkan kehampaan.

Selesai memandikanku, ibu kembali mengajakku ke kamar. Ia membalurkan minyak kayu putih dan bedak tabur ke seluruh badanku. Kemudian mengambil kaos dan celana baru dari almari baju dan memakaikannya padaku. Ia juga membantu mengeringkan rambut pendekku dan mulai menyisirnya rapi.

“Maafin ibu ya, Nay. Maaf kalo ibu sering marah-marah sama Naya.” Ibu membingkai wajahku dengan kedua tangannya kemudian mengecup keningku.

“Naya mau kan maafin Ibu?”

Aku hanya mengangguk sambil tetap menunduk. Tak berani menatap wajahnya.

“Udah sekarang Naya bobo siang dulu, ya. Nanti sore baru kerjain PR-nya.” Ibu berkata dengan lembut. Tiada lagi tanda-tanda kemarahan dalam suaranya.

Ibu merapikan ranjangku. Aku mengambil si Melvin, lalu mulai naik ke atas ranjang yang telah selesai dibereskan Ibu. Tidur siang, seperti perintah ibu. Aku berbaring menghadap jendela, membelakangi ibu yang sepertinya mulai berjalan keluar kamarku.

Aku mulai berpikir, bagaimana jika nanti Kak Abel pindah ke Ibu Kota, lalu ayah semakin sering terlambat pulang? Bagaimana aku harus melewati hari-hariku nanti dengan 24 jam bersama Ibu? Ya Tuhan, berilah aku beasiswa agar aku juga bisa bersekolah di Ibu Kota bersama Kak Abel. Aku janji, aku tidak akan merepotkan Kak Abel atau pun Kak Yumna. Aku akan berangkat ke sekolah sendirian, aku akan makan sendiri, aku juga akan membereskan lemariku sendiri. Yang pasti aku tak mau tinggal berdua bersama Ibu di sini. Ibu jahat. Dia suka marah-marah gak jelas. Ibu suka memukuliku, kadang mengusirku dengan melempar semua baju dan mainanku keluar rumah lalu mengunciku di luar tak peduli bila cuaca sedang panas atau pun hujan, hanya bila Kak Abel atau Ayah pulang maka aku bisa kembali masuk. Namun bagaimana nanti jika Kak Abel tidak tinggal lagi di rumah? Bulir hangat kembali menetes dari sudut mataku sesaat sebelum dunia mimpi mengajakku pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status