Share

Pura-Pura Sempurna

Ayah berhasil meyakinkan Ibu bahwa ia akan bertemu dengan Kepala Cabang. Tentang perempuan yang menelepon tadi, Ayah bilang itu istrinya Pak Kepala. Namun Ayah menolak saat Ibu menyatakan keinginannya untuk ikut.

“Halah... lain kali aja! Aku sudah telat ini!” Ayah tampak tergesa.

“Kenapa kau gak bilang dari kemarin kalau Pak Kepala mau ngajak istrinya? Aku juga kan pingin ikut...,” protes Ibu.

“Lah, dia gak bilang kemarin mau ngajak istrinya. Udahlah aku sudah telat!” Ayah berpamitan dan segera berangkat dengan sepeda motor antiknya. Menyisakan ibu dengan wajahnya yang masih merengut.

Tak lama kemudian, terdengar seseorang memanggil-manggil nama Ibu dari luar. Rupanya itu Bu Ratih.

“Bu Rasti, ini saya ketitipan uang kembalian dari Bu Haji.” Bu Ratih menyerahkan beberapa lembar uang pada Ibu.

“Oh iya, aduuh makasih Bu Ratih, maaf jadi ngerepotin.”

“Pak Darman sama si Rahma mau ke mana, Bu? Kok barusan saya lihat mereka boncengan di depan gang sana?” tanya Bu Ratih.

Aku melihat wajah ibu tampak gelagapan tapi sedetik kemudian ibu bisa kembali menguasai suasana.

“Oh, itu suamiku tadi mau ketemu temen kantornya. Kalo si Rahma tadi aku ketemu juga di jalan katanya mau naik angkot jemput anaknya. Mungkin angkotnya keburu lewat kali tu si Rahma, makanya nebeng ke suamiku. Kasihan kan daripada panas-panasan dia,” papar ibu.

“Oh, gitu. Saya takut kalau sampai ada apa-apa. Kasihan anaknya Bu Rasti perempuan semua soalnya.”

Ibu hanya tersenyum dan mengangguk mendengar simpati dari Bu Ratih.

“Oh, ya sudah kalau begitu saya permisi dulu ya, Bu.” Pamitnya kemudian.

Lama ibu berdiri di depan pintu setelah menutupnya. Ketika berbalik, kulihat matanya sedikit basah. Jujur aku tidak begitu paham dengan jalan pikiran ibu. Aku juga tidak begitu paham tentang apa yang dirasakan ibu. Yang kukenal dari ibu hanya sifat pemarah dan pengeluhnya.

Ibu memang selalu tampil baik di hadapan para tetangga. Namun kondisinya akan terbalik jika ia sudah berada di rumah. Aku khawatir ibu akan melampiaskan semua emosinya padaku sebagaimana yang biasanya terjadi. Kesalahan kecil yang kulakukan bisa membuat ibu murka dan menyakitiku di luar batas kewajaran. Untuk kemudian setelah amarahnya mereda, ia akan memintaku memaafkannya.

Apa ibu berpikir hanya karena aku seorang anak kecil maka aku akan selalu memaafkannya? Sebenarnya kalau boleh jujur, aku sendiri tak begitu paham dengan fungsi dari kata ‘maaf’. Apa orang-orang dewasa itu berpikir bahwa ‘maaf’ adalah sebuah kata ajaib yang dapat menghapus ingatan seseorang tentang perbuatan menyakitkan yang baru saja ia lakukan? Tapi nyatanya aku masih mengingat banyak hal tentang perbuatan menyakitkan yang Ibu lakukan padaku.

Aku masih ingat ketika ibu memukuliku secara membabi-buta tepat saat aku pulang dari mengaji. Padahal aku sama sekali tidak tahu letak kesalahanku di mana.

Usut punya usut, rupanya seorang anak laki-laki yang satu tempat mengaji denganku telah pulang lebih dulu dibanding anak-anak yang lain dan dia mengatakan bahwa aku beserta teman-teman yang lainnya sedang berada di warung makan milik orang tua Lusi.

Hari itu kegiatan belajar mengaji kami memang berakhir lebih cepat dari biasanya, karena ustadz dan ustazah kami kedatangan tamu dari kota. Tamu itu membawa satu keranjang penuh berisi roti sebagai oleh-oleh. Ustazah kemudian membagikannya kepada setiap anak, termasuk aku. Sebagian besar teman-temanku, termasuk kakak beradik Farah dan Faruq—yang waktu itu masih tinggal di tempat kami—memilih singgah di warung makan sekaligus rumah milik orang tua Lusi. Di sampingnya ada sebuah bangku panjang yang langsung menghadap pohon buah kersen yang sedang berbuah lebat, di sanalah kami berkumpul. Anak-anak perempuan membuka roti masing-masing yang mereka terima dari ustadzah. Sementara anak laki-laki memilih menaiki pohon kersen untuk memanen buahnya. Aku sendiri menyimpan rotiku untuk ibu. Dan lebih memilih memunguti buah kersen yang dijatuhkan oleh Kak Faruq. Selesai bermain dan memanen buah kersen, kami pun pulang bersama-sama.

Saat itu aku pulang dengan riang, membayangkan wajah ibu yang akan senang ketika tahu aku mendapatkan sebungkus roti juga setumpuk buah kersen yang kuhimpun dalam saku bajuku. Namun harapanku pupus sudah manakala ketika mengucap salam dan memasuki rumah, tanganku langsung diseret oleh Ibu. Wanita yang telah melahirkanku itu kemudian menampar pipiku berulang kali, tanpa memberi tahu di mana letak salahku.

Ayah ada di sana, ia sedang berzikir selepas salat. Namun yang membuatku kecewa adalah sikap ayah yang tidak melakukan apa pun untuk meredakan emosi Ibu atau pun berusaha melerai untuk melindungiku. Tidak ada. Ayah hanya duduk takzim di atas sajadah sambil memegangi tasbihnya. Sesekali ia hanya berkata pada Ibu, “udahlah, Bu. Naya gak tau apa-apa,” tanpa beranjak dari atas sajadahnya.

Aku tahu Ayah adalah orang yang tidak terlalu senang dengan perselisihan. Namun, bukankah Ayah adalah kepala rumah tangga di rumah kami? Bukankah Ayah adalah satu-satunya laki-laki di rumah kami? Hanya sekedar kata-kata seperti itu tak mungkin akan diindahkan Ibu yang sedang dikuasai emosi. Seharusnya Ayah mampu mengambil sikap sebagai seorang pemimpin sejati, bagiku juga bagi Ibu.

Aku heran dengan ayah dan ibu, mereka di luar tampak sempurna dengan sikap yang begitu anggun dan berwibawa. Tapi ketika masuk ke dalam rumah, mereka seperti sepasang serigala buas yang kelaparan.

Ibu tak berhenti, bahkan ia mengambil sapu lidi lalu memukulkannya berulang kali ke tubuhku sambil mencaci maki bahwa aku tak ubahnya seperti seorang wanita malam yang menjajakan dirinya di warung remang-remang. Aku heran dengan apa maksudnya. Rupanya ia beranggapan demikian hanya karena aku duduk di samping warung makan milik orang tua Lusi.

Apa itu ‘wanita malam’? Aku tak tahu. Dan apa itu ‘warung remang-remang’? Bukankah warung makan milik orang tuanya Lusi itu terang benderang dan jauh dari kesan remang-remang? Malah menurutku lebih mirip Rumah Makan Padang yang biasa kulihat di pinggir jalan lainnya—hanya karena orang tua Lusi menyediakan menu masakan khas Garut maka mereka tidak menamainya Rumah Makan Padang.

Namun, apakah itu masuk kategori ‘warung remang-remang’ bagi Ibu? Aku tak tahu, aku hanya bertanya-tanya apakah saat itu Farah, Dinda, Meli, Nada, Fitri, dan semua teman-teman perempuanku yang tadi ikut duduk di samping warung makan milik orang tuanya Lusi, ikut dimarahi juga oleh ibu mereka? Atau hanya aku yang saat itu dimarahi ibuku?

Setelah kemarahan Ibu mulai mereda aku coba menjelaskan bahwa aku hanya bermain-main bersama teman-temanku karena aku tak memiliki keberanian untuk pulang sendirian melewati kebun gelap serta perkuburan seperti yang dilakukan anak laki-laki yang memberi kabar pada Ibu.

Aku pun mencoba memunguti roti dan buah-buah kersen yang telah berserakan. Lalu menyerahkannya pada Ibu dengan tangan gemetar dan air mata yang masih berlinang. Ibu menolak pemberianku dan seperti biasa ia memintaku untuk memaafkan tindakan yang baru saja ia lakukan, lalu menyuruhku masuk kamar.

Di dalam kamar aku memandangi rotiku dengan perasaan yang entah. Aku membuka bungkusannya dengan tangan yang masih gemetar karena rasa dingin yang dihasilkan dari menyempitnya pembuluh darah di beberapa bagian tubuhku. Harum aroma selai nanas seketika menguar tertangkap indra penciumanku ketika makanan yang berbahan dasar tepung terigu dan ragi itu kucuil lalu kumasukkan ke dalam mulut. Rasanya manis, dengan campuran sedikit asin dari air mataku sendiri.

Aku masih belum mengerti tentang fungsi dari kata ‘maaf’. Menurutku kata ‘maaf’ bekerja dengan cara yang tak adil. Ia hanya membuat pihak pelaku menjadi lupa akan perbuatan salah yang telah mereka lakukan, untuk kemudian mereka melanjutkan hidup seolah tak pernah terjadi apa-apa bahkan tak segan untuk mengulangi kesalahan yang sama. Lalu bagaimana dengan kami para korban? Meski kata ‘maaf’ telah kami terima, nyatanya kami masih terus terbayang dengan ketakutan akan kejahatan yang pernah mereka lakukan.

“Nay, ibu capek.” Ibu berujar ketika melihatku tengah memandangnya. Air matanya mengalir. Wajahnya tampak kosong. Ia berjalan gontai menuju kursi ruang tamu, lalu merebahkan bokongnya di sana.

“Ibu, mau Naya pijitin?” tanyaku.

Tak terdengar jawaban dari mulut Ibu. Aku pun berinisiatif memijit bahunya untuk meredakan rasa capeknya.

“Aku capek hidup sama ayahmu, Nay…,”

“Apa aku bunuh diri saja ya?!”

Aku tertegun dengan kata-kata yang keluar dari mulut Ibu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status