Share

Yang Berubah

Di sekolah, rumor tentang ayahku yang ‘doyan cewek’ telah beredar luas. Entah siapa yang menyebarkannya. Belum lagi tentang berita bahwa aku disiksa oleh ibuku. Ibu memang tidak marah di depan teman-temanku. Malah dengan lembut Ibu membagi rambutan-rambutan di dalam baskom besar itu ke dalam keresek-keresek kecil lalu menyerahkannya pada anak-anak sekalian untuk dibagikan pada tetangga-tetangga yang lain.

Baru setelah teman-temanku pergi, Ibu mulai menghajarku seperti biasa. Menyalahkanku mengapa aku membiarkan teman-temanku melihat album foto itu. Entah, mungkin ada anak yang kembali lewat di depan rumahku lalu mendengar sumpah serapah dan makian Ibu saat wanita itu melampiaskan emosinya padaku.

Beberapa ibu-ibu yang mengantarkan anaknya sempat menanyaiku, namun aku hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Aku tahu mereka bertanya hanya untuk sekedar mencari berita, bukan benar-benar peduli padaku. Sekarang tidak ada lagi Farah, atau kak Faruq atau bahkan Bu Farida yang biasanya membelaku. Sekarang, aku harus menghadapi semuanya sendirian. Sejak saat itu, sekolah telah menjadi neraka keduaku setelah rumah.

Hari Minggu—yang entah ke sekian ratus berapa—kembali tiba di hidupku. Tanpa ajakan Farah dan kak Faruq, aku tidak tertarik untuk bermain ke mana-mana. Aktivitasku sekarang hanya berkutat di seputar rumah-sekolah-tempat mengaji, atau terkadang ke warung jika disuruh Ibu untuk membeli sesuatu.

Ibu menyadari perubahanku. Berkali wanita yang telah melahirkanku itu menyuruhku untuk lebih bersosialisasi. Apalagi sekarang Ayah sudah menjadi imam mesjid dan Ibu jadi ketua pengajian ibu-ibu di tempat kami. Ibu bilang mereka malu memiliki anak yang ‘kuper’ sepertiku. Kujelaskan pada Ibu, bahwa teman-temanku membenciku, aku bisa merasakannya. Namun, Ibu menganggap semua itu hanya perasaanku saja.

Sampai suatu sore ketika hendak berangkat mengaji, aku memutuskan untuk berangkat sendiri. Ibu mencegahku dan mengatakan setidaknya aku harus berangkat bersama Nada, adik kelas yang rumahnya paling dekat denganku. Kukatakan pada ibu bahwa aku tak mau karena aku bisa merasakan bahwa Nada kurang suka padaku. Namun ibu memaksa.

“Kau mau membantah?! Aku ini ibumu! Surgamu ada di bawah kakiku! Kalau kau tak mau, tak akan lagi kuanggap kau anakku!”

Aku menyerah jika ibu sudah mengeluarkan kata-kata seperti itu.

Dengan berat hati aku berbelok ke rumah Nada lalu memanggil-manggil namanya di depan rumahnya. Sekilas kulihat bayangan seseorang dari balik jendela. Aku yakin itu Nada, tapi ia tak membukakanku pintu, juga tak menyahuti panggilanku.

Selang beberapa menit, tampak olehku Dinda, yang kutahu masih memiliki hubungan kerabat dengan Nada. Ia datang lewat jalur pintu belakang rumah Nada. Aku yakin ia sempat melihatku berdiri di depan rumah sepupunya ini, namun ia hanya berjalan mengacuhkanku. Aku punya firasat tak menyenangkan, bahwa mereka akan berangkat bersama tanpa mengajakku. Lama aku menunggu di depan rumah Nada hingga jadwal mengajiku lima menit lagi akan dimulai, terpaksa aku berangkat sendiri.

Sesampainya di tempat mengaji aku terlambat beberapa menit, namun ustazahku masih mempersilakanku untuk masuk. Kulihat Nada dan Dinda sudah duduk santai di sana, mereka saling berbisik satu sama lain. Oh, rasanya aku ingin tertawa pada Ibu!

Ibu tak pernah tertarik dengan kemajuan teknologi. Jangankan untuk urusan sekelas ponsel atau komputer, menanak nasi menggunakan magic com saja Ibu enggan. Ibu masih setia mengukus nasi selama dua puluh lima menit di dalam langseng. Jika lebih dari itu, ia akan marah-marah dan menyalahkanku karena nasinya terlalu lembek.

Ayah memiliki beberapa ponsel. Ada yang layarnya masih hitam putih, ada pula yang sudah berwarna, berkamera, dan bisa digunakan untuk memutar siaran televisi dan radio. Biasanya akan Ayah akan mengambil ponsel-ponsel rusak untuk diperbaiki kemudian ia jual kembali sebagai usaha sampingannya. Ponsel yang cukup canggih ia gunakan untuk kepentingannya sendiri.

Aku sangat senang bermain game di ponsel ayah. Hingga suatu ketika, saat aku tengah asyik bermain game, ponsel itu tiba-tiba berdering, ada panggilan masuk. Kulihat ayah masih tertidur lelap. Aku coba mengangkat panggilan telepon dari ‘Pak Kepala Cabang’—sesuai nama yang tertera di layar gawai itu—untuk memberitahukan padanya bahwa ayahku sedang tidur.

Setelah diangkat, ternyata di seberang sana adalah suara seorang perempuan. Ia bertanya perihal ayahku, kukatakan padanya bahwa ayah sedang tidur tapi ia menyuruhku membangunkannya karena katanya ada sesuatu yang penting. Aku pun membangunkan ayah, dan menyerahkan telepon itu padanya. Aku menunggu ayah selesai bertelepon karena ingin melanjutkan permainan gameku di ponselnya.

Selesai bertelepon ayah tampak cemas, berkali ia melirik jam di dinding. Aku meminta ponsel itu pada ayah untuk melanjutkan permainanku sebelumnya. Namun terdengar bunyi khas yang menandakan bahwa ponsel itu perlu diisi daya. Ayah marah.

“Game terus! Game terus! Lihat ini aku mau pergi batrenya habis gini!” Ayah tak memberikan ponsel itu padaku. Ia berlalu menuju stop kontak lalu mengisi daya pada ponselnya.

“Kau tadi yang matikan alarm di hp-ku?” Ayah bertanya.

“I…iya.” Aku menjawab takut. Itu pertama kalinya dalam hidupku melihat ayah marah. Sebelumnya ia tak pernah marah sekali pun, meski tak pernah terlihat peduli juga jika aku dimarahi ibu.

“Dasar anak bodoh! Lihat, aku jadi terlambat!” Ayah melemparkan sesuatu dengan kasar ke arahku. Aku hanya menunduk takut. Aku tak tahu jika alarm yang tadi berbunyi itu ternyata penting bagi Ayah.

“Main game terus! Main game terus! Cuma itu saja kerjaanmu! Bukannya bergaul sana sama teman-temanmu!” Ayah mengambil sapu lidi lalu memukulkannya padaku, sebagaimana yang biasa dilakukan Ibu.

Aku meringis, tapi aku sudah terlatih untuk tidak menangis dalam situasi seperti ini. Aku tahu sekarang Ayah telah jauh berubah. Ayahku bukan Ayah yang dulu kukenal.

“Sana cari ibumu! Bilang aku mau pergi!” Ayah melempar sapu lidinya, mengambil handuk lalu sosok lelaki pemimpin di rumahku itu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Aku mengusap kakiku yang terasa kebas. Jejak tamparan sapu lidi membekas di betisku membentuk garis-garis panjang berwarna merah yang sedikit menonjol.

Aku berlalu dari rumah. Menyusuri jalan mencari Ibu seperti yang diperintahkan Ayah. Kutemukan wanita itu di warung Bu Haji. Ia tengah asyik berbincang dengan sang empunya warung. Aku bilang padanya bahwa Ayah akan pergi dan Ibu disuruh pulang.

“Oh, iya lupa. Tadi ayahmu pesen ada janji sama kepala cabang di kantornya, katanya. Duh kok bisa lupa aku ya?!” Ibu menepuk-nepuk jidatnya.

“Kenapa kok kamu kayak abis nangis, Nay?” tanya Bu Haji.

Akibat pertanyaan Bu Haji, Ibu jadi ikut memperhatikan raut wajahku. “Kenapa kamu?” tanyanya.

“Ngga, gak papa kok,” jawabku singkat.

“Itu kakinya kamu juga kenapa kok merah-merah bengkak gitu?” tanya Bu Haji lagi.

“Nggak, gak papa, kok,” Aku menjawab sambil cengengesan untuk memberi kesan bahwa aku baik-baik saja.

Ibu menunduk memeriksa kakiku. “Kamu kenapa? Dimarahin ayahmu, ya? Makanya kamu jangan nakal sama ayahmu! Udah tau ayahmu capek kerja malah kau ganggu!” ucap ibu.

Ibu berpamitan pada Bu Haji pemilik warung untuk pulang, aku mengekorinya.

“Aku gak ganggu ayah, Bu. Aku tadi Cuma lagi main game terus tiba-tiba ada telepon dari perempuan minta bangunin ayah, ada penting katanya,” jawabku kesal.

“Perempuan?” Ibu menoleh ke arahku. Dari arah berlawanan kulihat tante Rahma berjalan sendirian dengan pakaian rapi. Melihatku terbengong, ibu mengikuti arah pandanganku.

Tante Rahma semakin dekat, harum aroma parfumnya tercium menyangat di hidungku.

“Mau ke mana panas-panas gini, mama Galang?” sapa Ibu ramah.

“Eh, ini mau jemput Galang dari rumah neneknya, Bu Rasti,” jawab tante Rahma tak kalah ramah.

Aku tak mengerti dengan sikap orang dewasa. Mereka bisa terlihat begitu akrab bak saudara bila saling berhadapan, tapi di belakang mereka akan saling menjatuhkan laksana musuh bebuyutan. Kapan orang-orang dewasa itu bisa benar-benar jujur pada diri mereka sendiri?

“Oh, naik apa, Bu?” tanya Ibu. Jujur aku gemas sekali dengan kepura-puraan ibu.

“Naik angkot, Bu. Saya permisi ya takut angkotnya keburu lewat,” pamit Tante Rahma.

“Oh, iya silakan, silakan.”

Ibu dan aku menyingkir untuk memberi jalan. Aku merasa mual mencium aroma parfumnya dari dekat. Entah berapa liter yang ia semprotkan. Apa dia tidak mandi berhari-hari sehingga harus memakai parfum sebanyak itu?!

“Apa jangan-jangan ayahmu mau pergi sama si Rahma, ya?” Ibu bertanya padaku dengan berbisik setelah Tante Rahma agak jauh. Kulihat raut wajahnya sedikit cemas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status