Share

Memalukan!

Makan malam berjalan dengan suasana dingin. Bukan karena udaranya, tapi lebih karena ibu yang biasanya bawel sekarang tiba-tiba diam. Enggan berbicara sepatah kata pun sejak pulang dari rumah Farah.

Aku tadi tak sempat mengajak Ibu ke belakang seperti yang disuruh oleh Bu Mega. Kulihat saat itu Ayah sudah menghentikan laju motornya ketika tampak keramaian di rumah Bu Farida. Tante Rahma dan Galang yang ikut di Ayah seketika turun. Bu Farida menyambutnya dengan ramah, mereka berbincang sejenak kemudian Ayah tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah keramaian lalu kembali melajukan sepeda motornya menuju rumah kami, meninggalkan Tante Rahma bersama Galang di sini.

Kulihat Tante Rahma bersalam-salaman dengan ibu-ibu lainnya, termasuk ibuku. Kemudian ia dan anaknya ikut bergabung bersama para tamu undangan lainnya.

“Ih, dasar si Rasti! Kenapa gak dijambak aja tu si Rahma?!” Bu Mega yang masih duduk di sebelahku ikut menyaksikan dengan pandangan yang gereget.

“Iya, masa lihat suaminya bonceng perempuan lain dia cuma senyum-senyum doang?!” sahut ibu-ibu lain yang memang satu geng dengan Bu Mega.

“Udahlah, ibu-ibu. Gak baik bergosip terus.” Sela Kak Faruq.

“Heh, diam kamu! Anak kecil tau apa!” balas Bu Mega.

“Lha, ini rumah saya, Bu. Kalo Ibu mau menggunjing orang ya silakan, tapi jangan di rumah saya, nanti keluarga saya kebawa pula dosanya,” balas Kak Faruq, tak mau kalah.

“Oh jadi kamu ngusir saya? Belagu banget kamu anak kecil! Rumah punya bapakmu juga!” sungut Bu Mega. Namun tak lama kemudian si Biang Gosip itu pergi juga dengan diseret kedua teman satu gengnya.

Malam demi malam selanjutnya rumah kami selalu terasa mencekam berkat suara pertengkaran Ayah dan isak tangis Ibu. Mereka baru berbaikan ketika kak Yumna datang untuk menjemput kak Abel.

Hari itu aku baru selesai salat Subuh---yang selalu saja kesiangan---ketika terdengar suara klakson di depan rumahku. Segera aku berlari ke jendela kamarku. Di sana sudah terparkir sebuah mobil MPV keluaran terbaru berwarna hitam. Dari dalamnya kak Yumna keluar bersama dengan seorang pria. Kulihat Ayah dan Ibu segera menyambut mereka. Aku merapikan peralatan ibadahku lalu keluar ikut bergabung bersama mereka.

“Naya, buatin kopi dua, sama teh manis satu!”

Baru saja aku sampai di pintu, ibu sudah menyuruhku.

Aku berbalik menuju dapur, ternyata di sana sudah ada kak Abel yang tengah menjerang air. Kakakku itu sudah rapi. Harum aroma sampo tercium dari rambutnya yang masih tampak sedikit basah. Ia mengenakan celana jin ketat serta kemeja polos panjang yang lengannya telah ditekuk sampai sikutnya. Tangannya cekatan menyusun gelas-gelas beserta sebuah teko kecil ke atas nampan.

“Jadi berangkat hari ini, kak?” tanyaku.

“Iya, kamu buruan mandi. Mau ikut gak?!” titahnya.

“Tapi tadi aku disuruh buat kopi sama ibu,” Ucapku keberatan. Aku takut ibu marah jika aku tak melaksanakan perintahnya.

“Biar aku aja. Udah kamu mandi sana! Kamu mandinya lama.” Perintah kak Abel yang tak dapat kutolak. Segera kuambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.

Kami berangkat menuju Ibu Kota satu setengah jam kemudian. Lelaki yang berada di belakang kemudi itu bernama kak Marwan. Ibu sempat menjelaskan bahwa dia adalah pacar sekaligus calon suami kak Yumna. Ibu tampak senang sekali, beberapa kali kulihat ia beranjak dari tempat duduknya ketika ada tetangga yang lewat di depan rumah kami lalu memandang heran pada mobil hitam yang terparkir di depan. Kudengar, Ibu begitu membangga-banggakan kak Marwan kepada mereka. Kata Ibu, lelaki itu adalah salah satu anak seorang pemilik perkebunan karet di sebuah pulau yang jauh di sana. Ia sedang berkuliah di Ibu Kota dan kebetulan magang di kantor yang sama tempat kakakku bekerja. Selepas kelulusannya nanti ia berjanji akan segera melamar kakakku lalu membawanya tinggal di pulau yang jauh.

Aku sendiri tidak begitu menyukai calon kakak iparku itu. Entah, aku hanya tak suka padanya. Firasatku berkata ia bukan laki-laki baik, meski nyatanya ia memperlakukan kami semua dengan sangat baik. Bahkan bersedia mengantar kami pulang kembali ke rumah seusai menjemput Kak Abel. Menurutku, ada hal ganjil tentang kak Marwan, yang belum bisa kupastikan itu apa.

Libur kenaikan kelas usai. Hari ini aku akan memulai kegiatan belajar pertamaku di kelas dua. Kakak beradik Farah dan Faruq sudah berangkat sejak beberapa hari sebelumnya. Mereka memberiku sebuah gelang dengan simbol huruf ‘FF●NAYARA’ sebagai kenang-kenangan, katanya kakak beradik itu membuatnya sendiri untuk semua teman-teman yang ada di sini sesuai dengan nama mereka masing-masing.

Mulai hari ini aku akan berangkat sendiri ke sekolah, tanpa diantar Ibu. Bukan. Bukan karena tahun ini Galang mulai bersekolah, tapi karena memang peraturan dari sekolahku sendiri agar anak kelas dua sudah tidak perlu diantar dan ditunggui lagi. Aku lega dengan hal itu. Jujur berada dekat Ibu selalu membuatku merasa tertekan.

Kelas berakhir cepat, karena memang hari pertama belum terlalu fokus belajar. Guru-guru lebih fokus pada perkenalan sekolah bagi siswa-siswi dan orang tua murid yang baru memasukkan anak mereka ke sana. Beberapa teman lelaki mengusulkan untuk bermain ke rumahku. Mereka gemas ingin memanjat pohon rambutan di depan rumahku yang buahnya sering kali berjatuhan ke jalan umum. Usul itu disetujui oleh anak-anak perempuan juga.

Aku keberatan, jujur aku takut ibuku marah.

“Gak bakalan! Tenang aja! Biar nanti aku yang minta izin ke ibumu,” sergah Agus. Aku pasrah saja. Toh banyak anak ikut bergabung.

Pukul setengah sembilan kami semua sampai di rumahku. Kuhitung, total ada sembilan anak yang ikut, sepuluh denganku. Enam laki-laki dan empat perempuan. Rumahku mendadak ramai. Agus menunaikan janjinya untuk meminta izin pada ibuku. Ibu menyediakan satu baskom besar untuk menampung rambutan sebagai tanda izinnya, kemudian beliau pamit akan pergi ke warung.

Kami semua bersenang-senang. Apalagi ketika melihat Danu loncat dari pohon lalu seperti orang kesurupan dia segera membuka bajunya. Rupanya ada dua ekor semut rang-rang yang menggigit bagian punggungnya.

“Yah cuma semut doang! Pohon rambutan di rumahku malah ada odengnya.” Riko berseloroh santai, ia masih tenang duduk di salah satu dahan pohon sembari mengupas buah rambutan yang ia petik langsung. Odeng adalah serangga sejenis tawon.

Selesai memanen semua buah, mereka semua kini berkumpul di bawah. Baskom besar yang disediakan Ibu penuh sesak. Sisanya kami kumpulkan saja menjadi satu gundukan di tanah lalu kami makan bersama.

“Nay, aku ikut kipasan ya di dalem. Panas ni!” pinta Agus.

“Iya, buatin kita minum juga lah Nay. Haus,” sambung Riko.

Aku mengiyakan lalu mengajak mereka semua masuk ke ruang tamuku yang di plafonnya terdapat kipas angin baling-baling.

“Nay, ini buku apaan?” Dinda bertanya sambil tangannya mengambil sebuah album foto dari bawah meja.

Malam tadi memang kulihat ayah menempel foto-foto kami waktu mengantar kak Abel ke Ibu Kota. Mungkin Ibu belum sempat mengembalikannya ke tempat semula.

“Oh, itu album foto,” jawabku.

“Boleh lihat?” tanya Dinda.

Aku mengiyakan sambil berlalu ke dapur untuk mengambil seteko air dan beberapa buah gelas kosong.

“Nay, kok kebanyakan isinya foto-foto bapakmu sih?” tanya Riko geli.

“Iya, aneh. Padahal biasanya album foto keluarga itu isinya foto anak-anak pas waktu bayi.” terang Danu.

“Iya sama. Album foto di rumahku juga isinya foto-fotoku sama kakak pas waktu kecil,” sambung Nana.

“Itu juga ada kok fotoku sama kak Abel dan kak Yumna pas mereka kecil,” sanggahku.

“Iya, tapi cuma dikit. Masih banyakan foto bapakmu,” ucap Riko diiringi tawa.

“Nay, perasaan banyak banget foto bapakmu sama cewek?” Agus ikut bertanya sambil tertawa geli, tangannya membolak-balikkan lembar demi lembar di buku album itu.

“Ih, bapakmu doyan cewek ya Nay?! Kok kayak seneng banget gini mukanya.” Riko kembali berujar sembari memperlihatkan foto ayahku yang ditemukannya pada teman-teman yang lain.

Aku menunduk malu. Kurasakan wajahku memanas dan kelenjar air mataku mulai bereaksi. Aku ingin marah dan merebut album foto itu lalu mengusir mereka semua, tapi kemudian Ibu datang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status