Suara pintu yang terbuka membuat Pak Dahlan kelimpungan dan buru-buru mengenakan kembali celananya. Di ambang pintu dia melihat Bu Dahlia mematung dan membelalak lebar melihat tubuh Kalina sudah terkulai lemah dengan mulut tersumpal. "Sa-sayang aku bisa menjelaskannya. Ini hanya sa--""Cepat buka penutup mulutnya!" pekik Bu Dahlia. "Wisnu sebentar lagi pulang!""Ta-tapi.""Cepat, Sialan! Aku tak bisa membiarkan kehormatan keluarga Wijaya tercemar hanya karena nafsu binatangmu!"Pak Dahlan menurut, buru-buru dia melepas penyumpal mulut Kalina, lalu mendudukkan tubuh perempuan yang terkulai lemah itu. Suara mobil sudah terdengar di pelataran. Bu Dahlia semakin panik. Dia membantu Kalina yang tak berdaya merapikan pakaiannya."Maaf. Maafkan saya, Kalina." Kemudian menarik kasar pergelangan tangan Kalina yang berjalan sempoyongan menuruni tangga. "Hendri! Indra!" Dua bersaudara itu keluar dari kamar masing-masing. Bu Dahlia memberi isyarat dengan gelengan kepala pada kedua anaknya yan
"Kalina nggak amnesia, dia yang ada di balik semua teror yang terjadi. Gue nggak bekerja sendiri, ada mata-mata lain di rumah itu. Dia nggak berniat memperalat lo, Mil. Kalina melibatkan lo, karena dia pikir bakal mati dalam kecelakaan itu." Kamila dan Galih menatap saksama lelaki yang bercerita dengan menggebu itu, di sebuah warung kopi pinggir jalan masih di daerah Tanah Abang. Dia adalah Feri Irawan, sohib Kamila dan Galih sejak SMA dulu. Mereka juga pernah sama-sama berjuang untuk masuk STIN, walaupun cuma Kamila yang lulus. Sejak saat itu ketiganya berpisah. Meniti karir di bidang yang berbeda. Diketahui Feri sempat menjadi petinju sebelum direkrut Kalina sebagai orang kepercayaanya. Tak menyangka mereka bisa bertemu dan reuni dengan cara seperti ini. "Semua udah Kalina persiapkan dengan matang-matang, Mil. Dia bahkan sudah bersiap memberikan semua yang dia punya buat lo nanti."Kamila tertegun cukup lama. Dia mencoba percaya dengan segala yang dikatakan Feri, walaupun keragua
Plak! "Jadi, begini sambutanmu pada saudara kembar yang sudah begitu lama tak bertemu?" Kalina tersenyum kecil, sembari mengusap pipinya yang terkena tamparan Kamila. "Cukup basa-basinya, Kal. Aku cuma mau tahu apa tujuanmu? Apa rencana besar di balik semua ini, dan apa alasanmu melibatkanku!" pekik Kamila menggebu-gebu. "Tak ada alasan lain, selain menghancurkan Keluarga Iblis itu," balas Kalina tak kalah sengit. "Tapi semua ini terlalu berlebihan kalau hanya untuk membalas perlakuan mereka yang nggak menyenangkan. Berhenti mempermainkan nyawa seseorang, berhenti mengumbar aib sesama. Nggak semua yang kamu anggap benar, itu benar, Kal.""Berlebihan? Hanya perlakuan nggak menyenangkan? Mempermainkan nyawa? Mengumbar aib?" Kalina mengulang perkataan Kamila dengan nada cibiran sembari terkekeh ringan. "Asal kamu tahu, Mil. Yang mereka lakukan padaku lebih jahat dari yang bisa kamu bayangkan!"Deg! "Mereka membuatku mati berkali-kali, kemudian bangkit berkali-kali. Satu hari kejam y
Jakarta, Maret 2003"Psst, oi, Bang! Telat, ye?" Seorang gadis remaja berambut bob yang menenteng kotak berisi kue dagangan, mencolek punggung pemuda yang tampak kebingungan di depan gerbang sekolah swasta elite tingkat akhir di zamannya. Pemuda berkacamata dengan dengan rambut klimis berponi itu menoleh ke arahnya. "Iya, baru pertama kali telat," jawabnya kikuk. "Pantesan baru keliatan. Soalnya yang biasa telat itu anak bandel yang sering kelayapan malem, makanya kesiangan," tuturnya, kemudian merapatkan tubuh ke arah pemuda itu. "Btw, mau nggak aku kasih tahu jalan alternatif biar bisa masuk tanpa ketahuan?"Pemuda itu terdiam, lekat dia memerhatikan gadis di hadapan. Melihat gelagatnya, dia sudah bisa menyimpulkan bahwa gadis yang bisa ditaksir berusia empat belasan ini sudah biasa memanfaatkan situasi anak-anak yang telat masuk kelas. "Hmm ... boleh." Meskipun sudah tahu motifnya, pemuda itu tetap menerima usulan si gadis. "Ceban dulu tapi." Gadis itu menaik turunkan alis, la
"Kurang dari dua bulan lagi, Bang Nunu bakal lulus, kan? Begitu juga aku." Percakapan Kamila dan Wisnu terdengar lebih intens di warung depan sekolah tersebut. Sudah setahun sejak mereka berteman dekat. Tak jarang keduanya menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah hanya untuk sekadar berjalan-jalan atau membaca buku. "Ya, aku akan melanjutkan kuliah di luar negeri.""Jadi, pertemanan kita cuma sampe di sini?" Kamila menunduk. Terlihat murung dengan fakta yang terjadi. "Aku juga bakal pindah ke Bekasi.""Tunggu aku empat sampai lima tahun lagi di sini!" ucap Wisnu tiba-tiba sembari menggenggam tangan Kamila. "Ngapain? Kelamaan lagi. Aku nggak yakin setelah 4-5 tahun masih inget jalan ke sini," tukasnya putus asa. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu saat itu.""Mau bilang apa? Pasti ngasih surat undangan, kan? Terus minta aku buat jadi bride's maid-nya? Nyaksiin abang bersanding dengan wanita sederajat, sama-sama anak konglowewe, eh konglomerat."Wisnu tertawa kecil. Lalu meng
Masih di tempatnya Kalina melihat suaminya diringkus polisi. Diseret untuk diadili sebab tindakan yang bahkan belum pasti. Luka di hatinya benar-benar sudah menjalar menggerogoti diri hingga tak ada lagi toleransi. Kabut pekat itu telat menutup satu-satu jalan nurani, di mana tak ada lagi tersisa sedikit ruang hanya untuk sekadar berkompromi. "Wisnu belum tentu melakukan hal sekeji itu," ucap Revan yang masuk ke ruangan, setelah para polisi membawa Wisnu pergi."Kita tak bisa menyimbulkan kalau tidak ada bukti," sahut Kalina datar, "Selama Kamila belum sadar, dia tetap tersangka bagiku." Dia memutar tubuh menatap lurus saudara kembarnya yang masih terbaring tak sadarkan diri."Apa ini berhubungan dengan perasaan pribadi?" tanya Revan hati-hati. Kamila menoleh ke arahnya. Kedua mata kecokelatan itu menatap nyalang menembus ulu hati. "Tidak sama sekali. Perasaan semacam itu tak akan mungkin menghalangi. Ini bahkan belum ada seperempatnya dari penderitaan yang sudah kualami selama ini
Menjelang sore Revan dan Kalina sampai di Surabaya, dijemput sopir pribadi, yang langsung meluncur ke Perumahan Citra Pelita. Menemui ayah dan ibu tirinya. Mobil Alphard itu terparkir di pekarangan seluas lapangan, Kalina dan Revan turun dari dalam dan berjalan menuju pintu yang sudah dibuka salah satu pelayan. Setelah apa yang perempuan itu ungkapkan, keheningan panjang sempat menyelimuti keduanya. Namun, beruntung Revan tak pernah berharap lebih dari apa yang dia rasakan. Baginya perasaan pribadi tak terlalu penting di saat seperti ini. Walaupun terbersit keinginan dan secercah harapan bahwa suatu saat nanti tersisa satu ruang di hati Kalina yang gersang. Untuk beberapa saat Kalina dan Revan terdiam di ambang pintu menatap Pak Hari yang duduk di kursi roda menatap sang putri yang selama ini dia kenal sebagai sosok yang tegar dan sangat pandai menyembunyikan perasaan. Namun, siapa yang tahu dibalik berlapis-lapis topeng yang Kalina gunakan, ada jiwa rapuh dan kepingan harapan yang
"Tersangka 205, ada tamu untuk Anda!" Seorang polisi penjaga menghampiri ruang tahanan Wisnu. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, karena kesaksian Kalina yang memberatkan tuduhannya. Untuk sementara Wisnu ditempatkan di kepolisian sektor Jakarta Selatan, sebelum sidang pertama diadakan saat Kamila sadar nanti. Terlihat lelaki yang nyaris kehilangan semangat hidup itu bangkit, dan mengekori seorang penjaga yang membawanya langsung ke ruang kunjungan. Dalam benak Wisnu, dia hanya berpikir bahwa papanya atau Yayang yang akan datang untuk melampiaskan kekesalan. Namun, asumsinya terpatahkan saat melihat seorang perempuan dengan dress bunga-bunga tanpa lengan dengan potongan rambut sebahu dan ekspresi datar itu. Dia merasa sesuatu yang lebih buruk akan segera terjadi. Dua hari sudah berlalu sejak rapat umum pemegang saham dilakukan. Kalina kembali ke ibukota untuk menyelesaikan apa yang sudah dia mulai. Kehancuran Keluarga Wijaya sudah terpampang di hadapan, dan dia semakin tak sabar