"Kurang dari dua bulan lagi, Bang Nunu bakal lulus, kan? Begitu juga aku." Percakapan Kamila dan Wisnu terdengar lebih intens di warung depan sekolah tersebut. Sudah setahun sejak mereka berteman dekat. Tak jarang keduanya menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah hanya untuk sekadar berjalan-jalan atau membaca buku. "Ya, aku akan melanjutkan kuliah di luar negeri.""Jadi, pertemanan kita cuma sampe di sini?" Kamila menunduk. Terlihat murung dengan fakta yang terjadi. "Aku juga bakal pindah ke Bekasi.""Tunggu aku empat sampai lima tahun lagi di sini!" ucap Wisnu tiba-tiba sembari menggenggam tangan Kamila. "Ngapain? Kelamaan lagi. Aku nggak yakin setelah 4-5 tahun masih inget jalan ke sini," tukasnya putus asa. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu saat itu.""Mau bilang apa? Pasti ngasih surat undangan, kan? Terus minta aku buat jadi bride's maid-nya? Nyaksiin abang bersanding dengan wanita sederajat, sama-sama anak konglowewe, eh konglomerat."Wisnu tertawa kecil. Lalu meng
Masih di tempatnya Kalina melihat suaminya diringkus polisi. Diseret untuk diadili sebab tindakan yang bahkan belum pasti. Luka di hatinya benar-benar sudah menjalar menggerogoti diri hingga tak ada lagi toleransi. Kabut pekat itu telat menutup satu-satu jalan nurani, di mana tak ada lagi tersisa sedikit ruang hanya untuk sekadar berkompromi. "Wisnu belum tentu melakukan hal sekeji itu," ucap Revan yang masuk ke ruangan, setelah para polisi membawa Wisnu pergi."Kita tak bisa menyimbulkan kalau tidak ada bukti," sahut Kalina datar, "Selama Kamila belum sadar, dia tetap tersangka bagiku." Dia memutar tubuh menatap lurus saudara kembarnya yang masih terbaring tak sadarkan diri."Apa ini berhubungan dengan perasaan pribadi?" tanya Revan hati-hati. Kamila menoleh ke arahnya. Kedua mata kecokelatan itu menatap nyalang menembus ulu hati. "Tidak sama sekali. Perasaan semacam itu tak akan mungkin menghalangi. Ini bahkan belum ada seperempatnya dari penderitaan yang sudah kualami selama ini
Menjelang sore Revan dan Kalina sampai di Surabaya, dijemput sopir pribadi, yang langsung meluncur ke Perumahan Citra Pelita. Menemui ayah dan ibu tirinya. Mobil Alphard itu terparkir di pekarangan seluas lapangan, Kalina dan Revan turun dari dalam dan berjalan menuju pintu yang sudah dibuka salah satu pelayan. Setelah apa yang perempuan itu ungkapkan, keheningan panjang sempat menyelimuti keduanya. Namun, beruntung Revan tak pernah berharap lebih dari apa yang dia rasakan. Baginya perasaan pribadi tak terlalu penting di saat seperti ini. Walaupun terbersit keinginan dan secercah harapan bahwa suatu saat nanti tersisa satu ruang di hati Kalina yang gersang. Untuk beberapa saat Kalina dan Revan terdiam di ambang pintu menatap Pak Hari yang duduk di kursi roda menatap sang putri yang selama ini dia kenal sebagai sosok yang tegar dan sangat pandai menyembunyikan perasaan. Namun, siapa yang tahu dibalik berlapis-lapis topeng yang Kalina gunakan, ada jiwa rapuh dan kepingan harapan yang
"Tersangka 205, ada tamu untuk Anda!" Seorang polisi penjaga menghampiri ruang tahanan Wisnu. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, karena kesaksian Kalina yang memberatkan tuduhannya. Untuk sementara Wisnu ditempatkan di kepolisian sektor Jakarta Selatan, sebelum sidang pertama diadakan saat Kamila sadar nanti. Terlihat lelaki yang nyaris kehilangan semangat hidup itu bangkit, dan mengekori seorang penjaga yang membawanya langsung ke ruang kunjungan. Dalam benak Wisnu, dia hanya berpikir bahwa papanya atau Yayang yang akan datang untuk melampiaskan kekesalan. Namun, asumsinya terpatahkan saat melihat seorang perempuan dengan dress bunga-bunga tanpa lengan dengan potongan rambut sebahu dan ekspresi datar itu. Dia merasa sesuatu yang lebih buruk akan segera terjadi. Dua hari sudah berlalu sejak rapat umum pemegang saham dilakukan. Kalina kembali ke ibukota untuk menyelesaikan apa yang sudah dia mulai. Kehancuran Keluarga Wijaya sudah terpampang di hadapan, dan dia semakin tak sabar
Tiga orang itu berkumpul di ruang keluarga dalam sebuah vila yang merupakan aset milik Keluarga Hartono. Berbagai berkas, memori card, audio record, juga USB tersebar di atas meja. Semua itu adalah bukti-bukti kejahatan Keluarga Wijaya yang sudah Kalina kumpulkan dibantu dua orang kepercayaannya selama ini. "Sekarang yang kita butuhkan hanya kesaksian Bu Nani. Pembantu rumah tangga yang dipecat Keluarga Wijaya, setelah peristiwa keji sembilan tahun lalu itu." Kalina menatap wajah Feri dan Cici bergantian. Perempuan itu duduk di antara mereka dengan bertumpang kaki dan tubuh tegak menghadap meja. "Saya sudah menemukan alamat beliau, Bu. Sekarang Bu Nani menetap di Bandung, tinggal di daerah pelosok Kabupaten Bandung Barat," sahut Feri.Kalina mengangguk. "Kerja bagus. Setidaknya kita sudah memastikan kalau salah satu saksi kunci masih hidup sampai saat ini. Tugasmu sekarang adalah memastikan wanita tua itu tidak kabur lagi."Feri mengangguk pelan. "Ci!""Iya, Nya." Cici menegakkan
Klik! Kalina mematikan tabletnya saat melihat Yayang sudah sampai di puncak emosi. Dia meletakkan gadget itu di atas nakas samping brankar, berikut pop corn dan bobanya. Perempuan itu bertopang dagu sembari menatap lekat wajah kembarannya itu. "Ngidamku sedikit aneh, Mil. Akhir-akhir ini aku bahkan tak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Tak tenang rasanya sebelum melihat mereka benar-benar menderita. Sembilan tahun aku menahan semuanya sendiri, sembilan tahun aku berkutat dengan segala rencana yang selalu berputar-putar di kepala." Kalina menegakkan tubuhnya, lalu menggenggam tangan Kamila. "Semoga apa pun keputusanku nanti. Kamu tak akan pernah menghalangi. Sebab tidak ada hal yang paling kuharapkan selain dukunganmu, Saudaraku."Kebeningan panjang menyelimuti ruangan. Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut perempuan itu. Dia hanya duduk geming menatap tubuh Kamila yang terbaring. Sampai suara pintu yang terbuka menginterupsinya. Dua orang wanita yang baru d
Semua anggota keluarga Kamila termasuk Revan sudah berkumpul di ruangan Kamila bersama seorang detektif polisi yang hendak meminta keterangan terkait peristiwa yang terjadi. Kurang lebih satu setengah jam menunggu, tiba waktunya bagi Kamila untuk diajak berkomunikasi."Mil, masih ingat semuanya, kan?" Kalina mulai bertanya dengan hati-hati. Kamila mengedarkan pandangan, menatap satu per satu orang yang ada di ruangan. Kemudian mengangguk pelan. "Aku, Revan, Ayah, Bu Hilma, dan anggota keluarga Wijaya?" Kalina kembali memastikan. Kamila terdiam sejenak, sebelum mengangguk lagi. "Sekarang kamu tahu apa yang harus dikatakan, kan?" Revan menyahuti. Kembali, anggukan kepala mereka dapati. "Jadi, apa yang kamu--""Lapar."Deg! Semua orang berpandangan. Kebingungan, kenapa kata itu yang pertama kali keluar?"Masih ada efek anestesinya kali," terka Revan spontan."Tapi operasinya udah dua hari lalu, Van," sahut Kalina. "Pengen Nasi Padang, pake extra Rendang," celetuk Kamila dengan pand
Dua minggu kemudian .... "Kamu yakin tak perlu bertemu dengan Wisnu lebih dulu sebelum sidang?" Revan menghampiri Kamila yang tengah mematut diri di depan cermin. Setelah dua pekan masa pemulihan, dokter menyatakan bahwa kondisi Kamila sudah stabil dan dia bisa beraktivitas dengan normal. Mengingat profesi sebelumnya, ketahanan fisik dan imun perempuan itu jelas lebih kuat daripada perempuan biasa sebayanya. Kamila menggeleng pelan. Pandangannya masih belum beralih dari cermin di hadapan yang menunjukkan bayangan dirinya dengan gaya rambut baru Classic Bob Hairstyle yang sangat cocok dengan kepribadiannya."Aku udah janji pada Kalina nggak akan menemui Wisnu sampai waktu sidang," ucapnya santai. "Sebenarnya apa yang tengah kalian rencanakan? Di mana Kalina sekarang?" tanya Revan yang penasaran karena selama dua pekan saudara kembar ini tak melibatkannya dalam rencana yang tengah dijalankan. "Jangan tersinggung, Van. Kita sengaja nggak libatin kamu karena ngerasa ini problem woman,