Share

BAB 3

Setelah selesai mandi, Bintang bersiap untuk turun ke bawah. Dia membuka jendela dan melihat mobil orang tuannya sudah terparkir rapi di garasi. Kedatangan Moona sebelumnya tidak membuatnya curiga, tapi kali ini dia merasakan ada sesuatu yang tak biasa.

Bintang keluar dari kamarnya dan melihat ke ruang tamu. Dia berdiri di depan tangga, langkahnya terhenti saat melihat Agatha berada di antara kedua orang tuanya. Dia menarik nafasnya dan menghempaskannya perlahan. Jantungnya kembali berdebar.

"Mas, kenapa berdiri di sini?" seseorang menepuk bahunya.

Bintang berteriak kaget, mengambil alih perhatian mereka yang sedang bicara di bawah. Dia menatap orang yang baru saja menyentuhnya dengan jengkel, dia adalah Moona. Adiknya itu selalu muncul secara tiba-tiba. Semua mata kini menatap ke arah mereka berdua yang masih berdiri di atas tangga. Kedua orang tuanya sedang duduk di sofa bersama sepasang orang tua yang baru saja Bintang lihat wajahnya. Bintang tidak mengenal siapa mereka.

Bintang dan Moona segera turun ke bawah dan bergabung bersama mereka, Papa Bintang meminta putranya untuk duduk di samping Agatha. Kedua orang tua lainnya tersenyum ke arah Bintang, dia tidak mengenal siapa mereka. Bintang yang tidak tahu apa-apa, hanya diam menutup mulutnya.

"Ada acara apa ini?" tanya Bintang penasaran.

"Bintang, perkenalkan, ini Paman Jinwoo dan Bibi Shinta. Mereka berdua adalah sahabat lama papa. Dan ini putrinya, Agatha. Kalian sudah kenal kan?" jelas Mama Bintang.

"Ah, dia siswi yang aku ajar hari ini kan?" kata Bintang dengan santai.

"Bicara apa kamu ini, Agatha adalah calon istrimu," timpal papanya.

"Calon istri?" Bintang terkejut.

Bintang berdiri, dan menatap mereka semua dengan tidak yakin. Bagaimana mungkin, Bintang akan menikahi perempuan yang baru saja bertemu dengannya hari ini? Sementara dia sudah memiliki seseorang yang dia cintai.

"Bintang, ayo duduk yang sopan!" Mama Bintang menarik tangan putranya.

"Sebenarnya, perjodohan ini sudah kami rencanakan sejak jauh-jauh hari. Maaf, karena baru memberitahu kalian berdua," ucap pria yang disebut paman Jinwoo itu.

"Maaf, paman sebelumnya. Tapi, saya sudah punya—"

Bintang menghentikan ucapannya saat kakinya diinjak oleh Moona. Adiknya pasti ingin dia menutup mulut tentang Aera.

"Sepertinya, Mas Bintang butuh waktu untuk berpikir." Moona menyambung.

"Oh, tentu saja. Tidak perlu buru-buru. Kapan pun mereka berdua siap, kita akan atur tanggal pernikahannya." Bu Shinta tersenyum ke arah Bintang.

"Bintang, kamu kan sudah mapan, sudah siap untuk menikah. Pekerjaan juga sudah ada, apa lagi yang perlu di pikirkan? Kamu hanya butuh seorang istri untuk mengurusmu di rumah," kata papanya.

"Pa, bukan itu masalahnya," kata Bintang, berusaha menjelaskan dalam situasi yang sulit.

"Pa, sepertinya Mas Bintang dan Agatha harus lebih banyak mengobrol agar semakin dekat lagi." Moona menatap ke arah mereka, sepertinya dia sengaja agar Bintang tidak bicara lebih jauh.

"Oh, tentu. Silakan kalian mengobrol," kata Mama Bintang.

Agatha tiba-tiba saja berdiri dan berjalan ke arah Bintang, dia mengulurkan tangannya dengan sopan. Namun, Bintang tak segera meraih tangannya karena ragu. Ia menolak tangan Agatha dan berjalan sendiri ke luar rumah.

"Maaf Agatha, apa maksud dari semua ini? Kenapa kamu diam saja?" tanya Bintang dengan nada sedikit kesal.

"Ya, terus aku harus bagaimana, Mas?" tanyanya seperti tak ada beban.

"Kamu kan bisa bilang ke mereka kalau kamu tidak mau. Kamu juga terpaksa kan terima perjodohan ini?" ucap Bintang, dengan tegas.

"Aku suka!" seru Agatha.

"Maksud kamu?" tanya Bintang mulai frustrasi.

"Aku suka perjodohan ini, bukannya lebih menantang untuk di coba. Kayaknya seru juga," kata Agatha.

"Agatha, kamu pikir menikah itu buat main-main? Aku sudah punya pacar!" Bintang menurunkan nada bicaranya, khawatir akan terdengar ke dalam.

"Pacar yang mana? Yang tadi?" Agatha menertawakan Bintang.

"Agatha, tolong hentikan perjodohan ini," kata Bintang dengan tegas.

"Kamu kan bisa hentikan sendiri, kenapa meminta padaku?" tanya Agatha.

Mereka berdua terdiam sejenak, suasana tegang terasa di antara mereka. Bintang kemudian menatap Agatha dengan serius, ekspresinya menjadi lebih lembut. Agatha membalas tatapan itu dengan berani, tak ada rasa canggung dalam dirinya.

"Aku bisa jadi istri yang baik buat Mas, kok." Agatha menatap Bintang penuh percaya diri.

"Agatha, ini bukan tentang bisa atau tidaknya kamu menjadi istri yang baik. Ini tentang kenyataan bahwa aku sudah punya seseorang yang aku cintai," kata Bintang, terus berusaha membuatnya mengerti.

Agatha menghela napas, mengangkat bahu seolah tidak peduli. "Mas Bintang, kadang cinta yang direncanakan oleh orang tua bisa lebih kuat daripada cinta yang tumbuh begitu saja."

Bintang berusaha menghindari tatapannya, tapi ada sesuatu yang membuatnya tertarik. Pertahanannya seketika melemah oleh kecantikan Agatha, belum lagi suaranya yang lembut itu pasti akan terdengar indah saat mendesah. Fantasi liarnya terus bermunculan setiap kali melihat Agatha, apalagi jarak mereka sekarang begitu dekat.

Saat Agatha semakin mendekatinya, Bintang merasakan kehangatan nafas Agatha di wajahnya. Rasanya sulit menolak pesona yang begitu kuat, tapi dia juga harus membentengi diriku sendiri. Sama seperti dia menahan keinginan selama tiga tahun ini kepada Aera.

"Agatha, hentikan," ujar Bintang dengan suara bergetar.

Agatha menatap Bintang sebentar, kemudian melangkah mundur dengan senyum penuh kemenangan. Bintang memandangnya dengan tatapan marah dan bingung, seolah mengatakan, "apa yang sebenarnya dia pikirkan? Apa dia benar-benar serius dengan perjodohan ini?"

"Agatha, menikah saja tidak cukup jika kita tidak saling mencintai." Bintang memutar tubuhnya menjauh.

"Cinta bisa datang seiring berjalannya waktu. Ayo kita menikah minggu depan?" ucap Agatha, terdengar bercanda namun serius.

"Hah? Kamu gila!" Bintang memutar kembali tubuhnya dan menatap Agatha semakin emosi.

"Kenapa? Mas takut jatuh cinta sama aku, terus melupakan pacar Mas yang baik itu?" tanya Agatha, membuat Bintang semakin memanas.

Bintang meninggalkan Agatha di luar dan kembali masuk ke dalam rumah. Dia masih merasakan denyutan jantungnya yang berdegup kencang akibat insiden tadi. Kenapa ada perempuan seberani Agatha?

"Bintang, bagaimana perbincangan kalian di luar? tanya papanya.

"Pa, atur pernikahanku secepatnya!" kata Bintang sambil memandang Agatha yang baru saja masuk ke dalam rumah.

Bintang melihat senyum tipis tersungging dari bibir Agatha, wajah kedua orang tua mereka juga berseri-seri. Setelah pembicaraan selesai, Bintang kembali ke kamarnya. Dengan langkah gugup, dia duduk di tepi tempat tidur. Pikirannya kacau dan bercampur menjadi satu.

"Ah, aku harus bagaimana sekarang? Kenapa aku menerima perjodohan ini begitu saja? Bagaimana jika aku benar-benar menikahi Agatha? Bagaimana dengan pacarku Aera, aku tidak bisa mengatakan padanya jika aku akan menikah dengan orang lain. Dia pasti akan sangat terluka," gumam Bintang dengan perasaan serba salah.

Belum lama dia memikirkan hal itu, ponselnya berdering di atas meja. Ia terkejut menerima panggilan dari Aera, sejak tadi Bintang tak membalas pesan darinya.

"Mas, kamu baik-baik saja? Aku sangat menyesal soal tadi," suaranya terdengar cemas.

"Tidak masalah. Bagaimana dengan orang tuamu?" tanya Bintang, berusaha terdengar tenang.

"Oh itu, biasalah. Nilai ujianku sepertinya kembali buruk," kata Aera dengan lemah.

"Jangan khawatir, kamu pasti bisa mengatasinya. Aera, sepertinya untuk beberapa minggu ke depan kita tidak bisa bertemu dulu," ucap Bintang.

"Ah, kenapa? Apa terjadi sesuatu? Aku tidak bisa! Aku pasti akan sangat merindukanmu. Tolong bawa aku juga," kata Aera merajuk.

"Tidak, kali ini tidak bisa. Aku pasti akan segera menemuimu setelah pekerjaanku selesai, oke?" Bintang berusaha menenangkan Aera.

"Lakukan panggilan video, aku ingin memastikan kalau Mas baik-baik saja."

Bintang segera menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layar, melihat wajah Aera yang saat ini sedang cemberut.

"Ah, Mas Bintang, aku merindukanmu."

"Aku juga merindukanmu," jawab Bintang.

"Mas, kenapa kamu tidak seperti biasanya? Ada yang Mas sembunyikan?" tanya Aera curiga.

"Tidak, Mas harus segera mandi. Sebentar lagi hari akan gelap," ucap Bintang, berbohong.

"Kalau begitu, ayo mandi bersama."

Aera menunjukkan dirinya yang akan pergi mandi, ia menyampirkan handuk di pundaknya dan berjalan memasuki kamar mandi.

"Apa kamu sedang menggodaku, Aera?" Bintang segera beranjak dari tempat tidur.

"Ampun, aku hanya bercanda. Tapi, apa Mas menyukai yang tadi?" Aera terlihat malu.

"Kamu sudah dewasa sekarang, ya? Oh iya, sebentar lagi ulang tahunmu yang ke-23. Apa yang kamu inginkan dari Mas?" tanya Bintang.

"Menikahlah denganku, Mas," jawab Aera.

Bintang terkejut sampai ponsel yang berada di genggamannya terjatuh. Aera, di layar, masih menatapnya dengan penuh kekhawatiran.

"Mas, apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu terkejut?" tanya Aera.

"Aku... aku baik-baik saja, Aera. Maaf, aku hanya terkejut dengan jawabanmu tadi," ucap Bintang dengan gugup.

Aera tampak bingung, "Jawabanku? Aku serius, Mas. Aku ingin menikah denganmu. Aku tidak ingin kehilanganmu."

Jantung Bintang berdegup kencang. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada Aera. Dia ingin melepaskan diri dari perjodohannya, tetapi dia juga tidak ingin mengecewakan keluarganya. Dia juga tidak mau melibatkan Aera ke dalam masalahnya.

"Aera, aku... Aku akan berbicara denganmu nanti, mengerti?" ucap Bintang dengan nada ragu.

"Baiklah, Mas. Aku akan menunggumu. Jaga dirimu baik-baik selama kita berjauhan. Aku mencintaimu," kata Aera lembut sebelum memutuskan panggilan video tersebut.

Bintang duduk terdiam, merenungkan segala sesuatunya. Bagaimana dia bisa menyelesaikan semua ini tanpa melukai hati orang-orang terdekatnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status