"Maaf, Bapak-bapak saya ke sebelah dulu." Reta turun setelah pamit, mengikuti dua pekerja yang mendahului, kebetulan waktu ishoma telah selesai.Mataku tak berkedip memandang punggung sahabatku itu sampai menghilang di balik pintu. Serasa ada yang teremas di balik dada mendapati mata yang selalu ceria tak lagi berseri. Ah, sungguh diri ini lebih memilih persahabatan dari pada cinta. "Ada masalah, Nak Bulan?" tanya Pak Saleh menyadarkanku dari hampa yang tiba-tiba tercipta."T-tidak ada apa-apa, Pak," jawabku gamang sambil berusaha bersikap biasa. "Mobilnya disesuaikan dengan dana, bisa nyicil kok. Jangan khawatir, tanpa riba," jelas Pak Mahmud semangat, bibirnya tak lepas mengukir senyum."Nanti saya pikirkan, Pak. Kalau masalah dana sebenarnya sudah cukup. Cuman ..." Kalimatku terhenti untuk melanjutkan atau tidak. "Kalau buat Nak Bulan tanpa DP juga boleh," Lagi, Pak Mahmud menambahkan. Tak salah beliau sudah tahu persoalanku dengan atasannya. "Bulan rencana buka cabang di sekita
"Apa yang telah kamu lakukan, Ta?" kataku mendekat. Gadis ayu itu mengarahkan pandangan ke langit-langit kamar, seakan menghitung berapa paku yang menempel di palfon tripleks di atasnya. Dua hari dia terbaring lemah tapi tak ingin dirawat di rumah sakit. Hampir empat tahun kami bersama, paling flu, kecapean, demam, atau luka lecet, yang menghampiri. Ini? Pertama kali melihatnya sakit parah, karena down lagi. Rasanya tak percaya. Gadis tangguh, tegas, cuek, dan ceria, terbaring lemah akibat sebuah penantian. Ajaibnya, penantian yang tak pernah terungkap. Tidakkah itu termasuk kesia-siaan yang hakiki? Ya, semua orang pernah berada di fase terpuruk. Tak terkecuali aku. Hanya beda cerita saja. Cuman, ada sesal di hati, bila sahabatku itu, jatuh akibat perjuangan yang belum dimulai. Ibarat permainan catur, skakmat sebelum melangkah."Kalau memang engkau mencintai seseorang dan tak mampu melupakannya, kenapa tidak jujur, Ta? Bukankah mendengar penolakan lebih baik daripada hanya menung
"Aku mau ke toko, Man. Azmi sama kamu atau aku bawa?" tanyaku saat sambungan telepon terhubung. Lelaki supel itu lebih sering bersama putraku kemana-mana. Biar dia tidak sendiri katanya dan aku bebas ngapa-ngapain, terutama soal memasak. Dasar anak tengil, mau dimasakin saja, terlalu lebay. Ck! "Azman pergi jemput Simbah dan Nailah, ponselnya ketinggalan." Deght, baru saja memantapkan hati untuk abai semua tentangnya, kini suara berat itu yang menjawab di ujung telepon. Dan ajaibnya, tetap saja membuat ketenanganku terganggu. Betul-betul ini sudah salah!"Azmi diikutkan?" tanyaku berusaha rileks. Dan mulai sekarang, aku memang harus membiasakan seperti itu. Entah jantung setuju apa tidak, entah organ utama berpacu apa tidak. Semua mesti terlihat normal. Titik!"Aku sama abi ke pondok, Ummi. Om Azman telpon Ummi tadi, tapi nggak aktif. Tidak apa-apakan Azmi ikut sama abi?" jawab Azmi panjang lebar khas anak kecil, ada nada menyesal di sana. Kekhawatiranku terhadap Reta, membuatku l
Hampir setiap matahari pagi menyinsing, nampaklah kesibukan di rumah minimalis Reta, mulai kegiatan memasak, bercanda, berbenah, sampai meluncur ke toko.Hari ini terasa sangat berbeda. Kami makan dalam diam, hanya suara sendok dan piring yang terdengar sering beradu.Biasanya jika aku membakarkan ikan kesukaan gadis manis itu, maka dia akan melahapnya sampai habis sambil berkomentar banyak. Tapi kali ini dia cuma tiga kali menoelnya, lalu berkemas. Betapa hatiku terasa tercubit, sedih, nelangsa. tertekan, dan ... arght ... Tak mampu lagi membahasakannya."Apa kalian baik-baik saja?" Kepala mengangguk pelan seraya tersenyum ke arah Mas Gading yang memicingkan mata, dia telah siap dengan seragam kantornya. Aku tahu pertanyaan itu mencari kejelasan, Reta tak gampang berbagi cerita. "Bulan masak banyak tadi, Mas. Sarapanlah dulu sebelum berangkat." Aku melangkah ke rumah Simbah sambil menenteng baki kecil, ikan bakar dan sayur dalam porsi banyak akan mubazir jika tak dibagi."Ada nggak
"Apa, Mbak, sudah yakin?" Aku mengangkat wajah melihat Azman, dia menatapku penuh selidik."Kalau mbah, mana yang terbaik saja. Oh, ya, aku ke kamar dulu, badan mbah sepertinya sakit, lagian ini juga pembicaraan anak muda," ucap Simbah, kemudian melangkah sambil memegang pinggangnya. Aku menatap punggung beliau yang mulai bongkok, serasa ada yang berdenyut, menyaksikan wajah beliau yang bermuram durja."Maaf, anggap saja saya tak pernah berkata apa-apa, saya pamit dulu," kataku hendak berdiri. Rasanya pembahasan ini terlalu sensitif tanpa Simbah, apalagi Abi Nailah tak ada niat merespon, semakin menambah dobel rasa malu dan kelancanganku saja."Kenapa kamu sampai berpikiran begitu?" Tiba-tiba suara lelaki datar itu menghentikan pergerakanku, dia melihatku dengan alis bertaut."Abaikan saja, Mas. Saya salah bicara ta-""Memulai tanpa melanjutkan, seperti seseorang yang menawar, tapi tak jadi membeli. Kira-kira bagaimana perasaan penjual yang terlanjur setuju?" potong pemilik netra kelam
"Terima kasih atas pengertiannya, Sayang." Walau pernyataan Nailah tidak langsung menyelesaikan masalah, setidak membuka sedikit celah ruang hati untuk bernafas, pun otak berfikir jernih."Apa Om Azman yang menjelaskan ke Nailah? Atau Simbah?" tanyaku setelah merasa agak tenang kemudian membersihkan sisa air mata di pipi Nailah."iya, semuanya, abi juga yang ngantar, tapi sudah pulang." Serasa ada aliran hangat di hati mendengar jawaban Nailah. Sungguh keluarga yang sangat berjiwa besar. Meski ada luka mereka masih mau membantu memperbaiki kekacaun yang telah kuciptakan, bahkan masih mengamanahkan putrinya padaku.Ya, aku harus jujur sama Reta, tak boleh membiarkan sahabatku itu berprasangka buruk tentangku.Sampai jam sembilan aku menunggu sangat gelisah, tidak biasanya Reta ke toko siangan. Apa karena masih marah? Mencoba menghubungi ponselnya, tak diangkat. Anak ini memang tipe wanita keras, lama memendam, jika sedang tak menyukai sesuatu, tapi dasarnya sangat baik.Aku benci situ
"Mobil yang diinginkan Pak Saleh, masih ada nggak?" Azman yang bemain bersama Nailah dan Azmi di teras masjid setelah salat Duhur segera memperbaiki duduk saat melihat kedatanganku, sementara Simbah dan Lelaki dingin masih dalam posisi semula sambil berzikir. Mereka memang keluarga agamis."Masih ada, lah, Mbak. Kapan mau lihat langsung?""Tak perlu lihat, Aku percaya sama kamu pull, mana juga aku ngerti begituan.""Deal, nih, ceritanya?""Hari ini juga boleh kalau bisa.""Okey, ahsyiap. J-jangan hari ini juga kali, besok, deh, aku langsung jemput barangnya.""Thanks banget dah. Emang pantes kamu dipercaya.""Ya, iyalah, siapa dulu? Betewe, Mbak nggak jadi bunuh diri, kan?" Ck! Anak ini, kepo banget urusan orang."Aku mau gantung diri di pohon tomat saja. Pengen banget lihat aku mati, ya?" Azman terkekeh sampai kelihatan giginya yang putih. "Azmi di sini sama Mbak Nailah, ya!?" Aku melangkah setelah mendapat anggukan dua anak tanpa dosa itu. Jika membawa Azmi, maka Nailah akan ikut,
Meski berat aku meninggalkan Nailah yang setia terpaku, masih dari kaca spion aku melihat anak itu berkali-kali mengusut bening di pipi gembulnya. 'Maafkan umi, Nak, inilah satu-satunya cara menghukum diri umi yang sedari awal salah dan jahat," lirihku dalam hati menguatkan diri. Ya, setuju apa tidak, memang akulah sumber segalanya, karena terlalu ramah memberi ruang tanpa berfikir efek selanjutnya. Sesampai di pertigaan jalan umum, yang kukhawatirkan terjadi. Avanza veloz putih familiar itu muncul entah darimana sambil membunyikan klakson beberapa kali, aku pura-pura tak mendengarnya sambil berusaha tetap fokus di jalanan. Rencanaku sudah matang, tak ada tempat lagi di sini, mau menginap semalam saja rasanya sangat berbeda.Terdengar decitan ban beradu dengan aspal saat aku merem mendadak, avanza veloz putih menghentikan laju pas di depanku. Namun naas, banper mobilnya tetap dapat, mengakibatkan retakan sedikit. Tak ayal, pengendara lain ikut berhenti, pun orang-orang sekitar yang