Lavendra senang mendengarnya. Mertua dan iparnya menyukai brownies buatanya saja sudah sangat syukur sekali. Tak henti-hentinya dirinya tersenyum saat melihat mereka senang.“Kamu belajar membuatnya dimana? Kamu tidak mau buka toko saja? Laku lho kalau rasanya seperti ini,” ujar dari Diana yang memujinya secara berlebihan.“Haha, aku belajar dari desa awalnya, lalu saat kuliah aku ambil kelas. Tapi, terima kasih sudah memuji sampai seperti itu,” Lavendra membalas.“Sungguh, aku tidak bohong sama sekali. Ya kan, ma?” Diana mengajak mamanya berbicara, “kalau buka toko, pasti bisa laris manis,” sambungnya.“Iya Nak, kamu tidak mau coba?” tanya mama mertua.Lavendra hanya bisa tersenyum tipis menanggapi ucapan mereka tersebut. Rasanya sakit sekali dadanya mendengarkan perihal dirinya yang disarankan membuka toko tersebut.Memang siapa yang tidak mau? Lavendra hanya terus merasa ragu dengan dirinya sendiri. Banyak ketakutan yang sudah membuatnya tidak berani melangkah lebih dulu ketimbang
Merasa mendapatkan pujian daritadi tak membuat Lavendra besar kepala, karena ini bukan sesuatu yang pantas Lavendra sombongkan, makanya dia sangat merasa malu karena mama mertuanya terus memujinya tiada hentinya.Daza yang melihatnya juga merasa penasaran, ia kemudian ikut menyicipi kue kering tersebut. Satu gigitan dilakukan oleh Daza. Wajahnya yang tadi lusuh dengan tatapan lemas dan juga kelelahan tersebut langsung berubah menjadi seringai semangat dan juga kesenangan.“Enak!” ucapnya.“Kan? Mama bilang juga apa. Kalau mama bantu kamu pikir rasanya akan sama?” Mama memberitahukannya.Daza melihat ke arah mamanya sendiri dengan tatapn paling datar, yang berbeda dari sebelumnya, “Mengingat kalau kue buatan terakhir mama terasa seperti ampas, Daza yakin mama akan merusak rasanya,” sahut Daza.Bukannya memperhalus ucapannya dan menghibur sang mama, Daza yang begitu jujur justru membuat mama yang semula kesenangan tersebut berubah menjad naik pitam.“Apa kamu bilang?! Ampas?!” Mama ters
Selama seharian penuh, Lavendra merasa sangat sesak sekali. Ia tidak bisa merasa tenang dari tadi setelah mendengar kabar tersebut dari mertua dan juga iparnya tersebut. Terlebih, Daza tidak mengatakan apa-apa sama sekali kepadanya.Padahal Lavendra sangat berharap dengan Daza bahwa semua alat tersebut bisa digunakan kembali. Atau paling tidak diberi kepada orang yang perlu saja. Cat dan kuas sebanyak itu juga siapa yang akan menghabiskannya, kan?Bahkan, dirinya tak lagi menyapa Daza saat mereka di rumah. Padahal mereka berada di dalam satu mobil, tapi, tidak sedikit pun Lavendra mau membuka obrolan, atau paling tidak menggubris Daza yang berusaha mengajaknya berbicara.“Honey…, anything wrong?” tanya Daza seraya memeluknya dari belakang.Lavendra masih terdiam tak bisa banyak bicara. Ia masih kesal dan juga sedikit tidak senang. Rasa-rasanya kalau bisa marah sekali pun, Lavendra merasa sekarang itu bukan waktunya lagi.“Dari tadi kamu terus mengabaikanku. Kalau aku memang ada salah,
Daza yang sudah tidak akan menahan diri tersebut akhirnya mengeluarkan kata-kata yang sudah dari lama ia tahan karena sudah mengusik Lavendra. Termasuk Rosa ini. Dia memang sengaja memancing, jadi, sekalian saja.Rosa gemetar melihat Daza yang tidak pernah ia lihat marah dengan sebegitu besar di hadapannya. Perlahan dan gemetar, Rosa menundukkan kepala karena merasa takut melihat mata Daza yang benar-benar kelihatan sangat menyeramkan tersebut.‘Kenapa dia marah sekali? Aku tidak memancingnya, aku hanya memancing Lavendra. Tapi kenapa dia yang tersulut?’ batinnya yang tidak merasa bersalah sama sekali meski sudah membuat seseorang marah sampai sedemikian rupa.Daza tidak langsung pergi. Dia ingin menunggu bagaimana wanita sialan ini mengatasi amarah yang memang sudah sengaja dipancing ini. biar dia merasakan apa yang telah dia perbuat tersebut.Cukup lama, Rosa seperti membeku di atas lantai. Tangannya sama sekali tidak berkutik, dan bahkan bisa dirasakan dengan jelas dia merasakan se
“Astaga mama, aku kira masalahnya besar,” Daza merasa keheranan sampai hanya bisa memijak batang hidungnya tersebut.“Apa katamu? Kamu kira ini masalah kecil?!” mama memekik memarahinya.“Ma. Isi dari ruangan itu hak dan milikku, jadi aku bebas mau kuapakan barang-barang di dalam sana. Memang apa hubungannya Lavendra dengan ruangan itu? Dia juga baru tahu, kan?” Daza menjelaskan dari sudut pandangnya.Mama memukul lengan Daza yang menganggap enteng apa yang barusan dikatakannya. Seorang pria yang dikira mengerti bagaimana perasaan wanita ternyata tidak ada bedanya sama sekali. Bahkan dia lebih buruk daripada apa pun.“Bodoh! Bodoh!” Berkali-kali mamanya memukul setiap kali kata keluar dari dalam mulutnya.“Wanita itu tidak suka tidak dilibatkan dalam urusan orang yang dicintainya! Dia itu maunya dianggap! Kalau kamu memutuskan tanpa mengatakannya kepadanya, itu sama saja kamu menganggapnya tidak ada!”“Tapi aku masih tetap bersamanya. Aku masih mempedulikannya, dan aku masih berusaha u
Lavendra begitu terkejut sampai tidak bisa berkata sama sekali. Ia sama sekali tidak menerka bahwa barangbarang yang dirinya pertanyakan ternyata semuanya ada di sini dan tidak ada yang hilang sama sekali. Ia tidak tahu.Langsung matanya melihat ke arah sang suami yang telah memandanginya dengan penuh pengertian dan juga kasih sayang yang begitu tulus. Jujur saja, Lavendra merasa sangat malu sekali.Apa yang ia marahi dan ambeki daritadi ternyata tidak seperti yang dirinya pikirkan. Ia terlalu berpikiran buruk dan juga tidak mau sedikit pun bersabar atas penjelasan yang mungkin saja sudah dipersiapkan oleh suaminya, kan?“Aku bukan tidak mau memberitahu. Hanya saja ruangannya belum siap saja,” jelas singkat dari Daza sembari tersenyum tipis kepadanya, dan juga mengoyakkan rambut Lavendra tersebut.Senyum Lavendra memang terpancang, tetapi menunjukkan rasa malu yang tidak dapat dibendung sama sekali. Ia merasa sangat malu karena tidak bisa mengendalikan dirinya tersebut.“Aku bukan ora
Lavendra merasa senang sekali. Sebenarnya dibalik alasan dia tida mau bekerja lagi bukan lah perihal mengenai keramaian lagi. Melainkan karena orang-orang yang sudah tidak memandangnya selayaknya sesama pekerja.Semenjak mereka tahu bahwa Lavendra adalah istri Daza, mereka seolah mencoba memanfaatkan momentum dengan bersikap baik untuk mendapatkan nilat plus dari dirinya ini. Padahal Lavendra sama sekali tidak ingin hal itu terjadi.Belum lagi, ada banyak wanita yang mulai secara terang-terangan mencoba mengincarnya, jadi, ia harus menjaga jarak untuk menghindari terjadinya sesuatu yang buruk.“Tapi, kalau kamu jualan seperti itu, bukannya berarti kamu akan keluar saat aku tidak ada di rumah?” tanya Daza.Lavendra tampak sumringah mendengarnya. Daza mengkhawatirkannya dengan sangat terang-terangan. Itu membuat Lavendra makin yakin bahwa Daza memang hanya untuk dirinya seorang.“Kenapa? Kamu pikir aku akan bertemu seseorang mencurigakan di luar sana?” Lavendra sedikit menggodanya karen
Wanita itu sepertinya berumur di bawah dari Lavendra, atau mungkin bisa saja lebih tua. Dirinya memberikan senyuman terbaik dan juga menatap wanita tersebut dengan sangat lembut. Ia ingin membuatnya merasa terintimidasi.“Hai,” sapa Lavendra.“Ha- Hai,” sapanya.Lavendra tidak langsung melabrak atau pun langsung menegurnya. Biasanya yang seperti ini hanya angin lalu saja, atau bisa dikatakan tidak perlu dikhawatirkan sama sekali. Karena bukan ancaman.Wanita tersebut membawakan kopi kepada Daza, dan dengan sangat berhati-hati sekali. Seperti takut akan mendapatkan sebuah serangan balasan yang begitu besar sekali.“Begini-“PRYANGGG. “Aduh!” kaget dari wanita tersebut, yang pada akhirnya menjatuhkan gelas tersebut di meja Daza.Daza tidak merespon, namun dari raut wajahnya sudah jelas sekali dia marah dan tidak senang. Karena kopi tersebut tumpah sampai mengenai jasnya. Lavendra tidak melakukan apa-apa. Dia bahkan tidak melotot melihat wanita tersebut. Namun wanita itu lah yang sepert