"Maafkan, Nur, Bu..."Nuraini semakin terisak ketika Bu Asih mengusap-usap punggungnya. Dalam hati, gadis itu merasa dilema. Dia mengutuk perbuatan kedua orang tuanya, tetapi dia juga tidak mungkin bicara jujur pada Bu Asih. Ketika Bu Sayuti sering belanja di toko milik Bu Asih, setidaknya seminggu dua kali, tanpa mereka sadari toko Bu Asih selalu kehilangan uang. Tetapi, sang pemilik toko tidak menyadari hal itu karena diam-diam, Nur mengganti uang tersebut dengan uang miliknya. Kini, Nur tidak memiliki uang untuk mengganti. Nur menatap Bu Asih dan Aris bergantian dengan tatapan nanar."Bu, boleh saya berhenti bekerja dulu?" tanyanya takut.Hal tersebut justru mengundang tanya di benak Bu Asih mau pun Aris. Keduanya menatap Nur dengan tatapan menyelidik. Bu Asih mengajak Nur untuk duduk. Hanya bertiga dengan Aris di ruang belakang. Hal itu dilakukan supaya tidak diketahui oleh karyawan yang lain."Sekarang ceritakan apa yang terjadi, Nur. Ibu merasa heran, kenapa kamu tiba-tiba ingi
"Ya, Allah ... Astaghfirullah."Nur tercekat. Ini kenyataan paling pahit yang dia ketahui, setelah mengetahui kedua orang tuanya menjadi pengikut iblis. Setega itukah orang tuanya? Hanya karena ingin bebas dari hidup miskin mengorbankan anaknya sendiri? Ternyata Pak Duki dan Hasan tidaklah cukup bagi mereka. Kini, justru dia dan Farrel yang ditargetkan menjadi tumbal. Setelah itu siapa lagi? Keputusan pergi dari rumah dan tidak ingin memakan uang haram, ternyata tidak cukup juga membuat kedua orang tuanya berbelas kasih padanya. Nur terpaku di tempat duduk.Dia menoleh ketika merasakan, Alisha mengusap-usap punggungnya. Gadis itu melirik ke arah Farrel yang justru bersikap begitu santai. Seolah hal ini bukan menjadi masalah besar bagi pemuda nyentrik tersebut."Maaf Nur, kami harus jujur dengan semua ini. Pakdhe tahu, kamu sulit menerimanya. Tapi itulah yang terjadi, Nur."Ucapan Pak Haji Imran menginterupsinya.Nur mendongak, menatap satu persatu orang yang berada di ruang keluarga l
Semenjak pertemuan di rumah Bintang waktu itu, Nur lebih membatasi diri dalam berinteraksi dengan orang lain. Gadis itu lebih sering menyibukkan diri di sekolah dan di toko. Kemudian, malamnya memilih berdiam di rumah bersama neneknya. Jika bepergian, paling hanya ke masjid yang tidak terlalu jauh dari rumahnya.Berbeda dengan Farrel yang notabene memiliki banyak teman. Latihan, nongkrong, dan mengendarai motor dari satu tempat ke tempat lain adalah hobi mereka."Rel, kamu sering ketemu Nur, nggak?" tanya pemuda seumurannya yang memang menaruh hati pada Nur.Farrel hanya mengangkat bahunya tak acuh. "Kalau pengin ketemu Nur, ya sana, ke tokonya Bu Asih. Siang sampai sebelum Maghrib. Dia kerja di sana." Farrel memberitahu.Sontak mata sipit Banu berbinar ceria. "Boleh nggak ya, kalau seandainya aku ngajak Nur ke danau hari Minggu? Tapi...," Banu menghentikan kalimatnya ragu."Tapi apa?" tanya Farrel mulai ingin tahu.Banu menarik napas sebentar kemudian berucap pesimis. "Pak Narso kan k
Farrel tersenyum satu sudut melihat kepanikan di wajah Pak Narso. Laki-laki tua dengan rambut memutih itu pun segera bangkit dan berusaha menghindari kontak mata dengan Farrel.Farrel tidak menyerah. Dia mengikuti gerak gerik makhluk kecil yang menempel pada pemiliknya. Aksi aneh Farrel itu pun menjadi pusat perhatian para pengunjung warung."Bagaimana Pakdhe Narso? Masih terus-menerus memfitnah bapakku dan Pak Bintang?" tanyanya sekali lagi. Namun, pandangan pemuda berambut biru itu tak beralih dari peliharaan Pak Narso.Pak Narso mengusap keringat dingin di dahinya. "Rel, kamu itu bicara apa? Aku nggak fitnah bapakmu. Aku hanya mengatakan apa yang aku dengar, Rel. Kalau nggak, ya sudah. Orang-orang kan seringkali bicara begitu, to?" dalihnya. Farrel tersenyum sinis. "Dasar munafik!" desisnya sembari melangkah menuju ke motornya. "Ada apa to, Kang? Kok sepertinya Farrel marah banget?" tanya salah satu di antara mereka. Pak Narso menggeleng seolah tidak mengetahui apa pun. "Ya nggak
Alisha dan Bintang tersenyum ramah pada Nur sebelum mereka keluar dari toko orang tuanya. Kesalahpahaman tempo hari sudah dijelaskan oleh Alisha pada ibunya. Namun, tentu saja mereka tidak mengatakan jika orang tua Nur memiliki pesugihan.Alisha dan Bintang tidak ingin keberadaan Nur di situ mendapatkan intimidasi dari teman-temannya. Karena menurut mereka, saat ini toko itu adalah tempat yang aman bagi Nur. "Terima kasih ya, Nur. Kamu hati-hati bekerja." Alisha berpesan pada gadis sederhana itu, ketika membantunya memasukkan beberapa barang ke bagasi mobil."Terima kasih kembali, Mbak, Pak." Nur menjawab dengan sopan. Bintang mengangguk dan menatap prihatin gadis itu. "Nur, ingat ya, pesan kami waktu itu, jangan sampai lupa." Kali ini giliran Bintang yang berpesan pada gadis tersebut. Nur kembali mengangguk dan membalikkan badannya, berjalan menuju toko."Nuraini!"Nur mengurungkan niatnya memasuki toko. Dia menoleh pada seorang pemuda yang hendak turun dari motor. Pemuda itu tersen
"Kalian diam kenapa, Nyet?" sentak Farrel gemas.Vio dan Dino saling pandang kemudian nyengir kecil. Farrel memandang ketiga sahabatnya bergantian. Memang ada rasa bimbang dalam hati.Di sisi lain, Vio dan Dino terus menatapnya. Mereka mengisyaratkan lewat sorot mata supaya Farrel tidak mengatakan hal yang sebenarnya tentang Pak Narso, pada Banu. Mereka tidak tega merusak kebahagiaan Banu yang baru saja dimulai bersama Nur. Farrel mengumpat lirih. Dia benar-benar dilema dan tidak tega melihat Banu. Dia bingung, juga takut jika Banu mengalami hal yang sama seperti almarhum Hasan."Kenapa diam, Rel?" Banu kembali memaksa.Vio bergerak mendekati Banu dan menepuk-nepuk punggung pemuda tersebut. "Sudahlah, Nu. Cuma masalah kecil. Em, nganu, masalah internal saja antara Farrel dan Pak Narso. Salah paham," terang pemuda itu hati-hati.Keterangan Vio cukup masuk akal. Banu melirik ke arah Vio dan mengangguk samar. Vio menatap Farrel yang berwajah masam. Terlihat jelas dari raut wajah Farrel,
Banu masih sulit percaya dan memilih tidak menggubris perkataan para sahabatnya. Hati pemuda itu masih sangsi jika Pak Narso memiliki pesugihan. "Apa benar? Masa iya?" tanya Banu retoris setiap kali ingat peringatan teman-temannya itu.Semakin hari, hubungan Nur dan Banu semakin dekat. Pemuda itu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nur, daripada bersama teman-temannya. Sejak Farrel dan kedua temannya berkata jujur waktu itu, Banu justru memilih menjaga jarak dengan mereka. Dengan hati dilanda kebimbangan, Banu ingin mengetahui secara langsung dari mulut kekasihnya itu. Harapan Banu hanya satu, yaitu Nur berkata sebaliknya dengan apa yang dikatakan Farrel dan Dino.Sekarang mereka berdua tengah berada di pinggir alun-alun kota. Banu mendekat ke arah Nur sambil membawa dua mangkuk es campur."Nur, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Banu hati-hati.Nuraini langsung mendongak. "Hm, iya Mas," jawabnya lirih.Banu menunduk sambil mengaduk-aduk potongan buah-buahan yang bercampur es serut
Setiap bulan, ibu-ibu berkumpul di aula balai desa. Pada kesempatan itu, mereka mengadakan pengajian yang diisi oleh Bu Halimah. Setelah selesai pengajian, acara dilanjutkan dengan arisan. Di antara mereka mempertanyakan ketidakhadiran Alisha. Tidak biasanya wanita cantik itu absen dan hanya menitipkan uang arisan pada Bu Halimah."Kok tumben, Mbak Alisha nggak datang, Bu Haji?" tanya seorang ibu yang duduk tak jauh dari Bu Halimah.Bu Halimah hendak menjawab, tetapi malah didahului oleh Bu Sayuti. Wanita berkerudung simpel berwarna merah menyala itu menyahut cepat, "Nganu paling, Yu, malu datang ke sini. Dia kan sudah pindah rumah dan bukan orang Karanglor lagi. Takut ditanyain tentang pesugihan dia, huh!" cibirnya memamerkan lipstiknya yang tebal. Mendengar hal tersebut, Bu Halimah memejamkan mata sesaat sembari beristighfar.Perempuan paruh baya dengan hijab lebar itu menggeleng samar dan menarik napas panjang. Dia tidak ingin terpancing yang justru akan membuka aib Bu Sayuti sendi