Banu masih sulit percaya dan memilih tidak menggubris perkataan para sahabatnya. Hati pemuda itu masih sangsi jika Pak Narso memiliki pesugihan. "Apa benar? Masa iya?" tanya Banu retoris setiap kali ingat peringatan teman-temannya itu.Semakin hari, hubungan Nur dan Banu semakin dekat. Pemuda itu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nur, daripada bersama teman-temannya. Sejak Farrel dan kedua temannya berkata jujur waktu itu, Banu justru memilih menjaga jarak dengan mereka. Dengan hati dilanda kebimbangan, Banu ingin mengetahui secara langsung dari mulut kekasihnya itu. Harapan Banu hanya satu, yaitu Nur berkata sebaliknya dengan apa yang dikatakan Farrel dan Dino.Sekarang mereka berdua tengah berada di pinggir alun-alun kota. Banu mendekat ke arah Nur sambil membawa dua mangkuk es campur."Nur, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Banu hati-hati.Nuraini langsung mendongak. "Hm, iya Mas," jawabnya lirih.Banu menunduk sambil mengaduk-aduk potongan buah-buahan yang bercampur es serut
Setiap bulan, ibu-ibu berkumpul di aula balai desa. Pada kesempatan itu, mereka mengadakan pengajian yang diisi oleh Bu Halimah. Setelah selesai pengajian, acara dilanjutkan dengan arisan. Di antara mereka mempertanyakan ketidakhadiran Alisha. Tidak biasanya wanita cantik itu absen dan hanya menitipkan uang arisan pada Bu Halimah."Kok tumben, Mbak Alisha nggak datang, Bu Haji?" tanya seorang ibu yang duduk tak jauh dari Bu Halimah.Bu Halimah hendak menjawab, tetapi malah didahului oleh Bu Sayuti. Wanita berkerudung simpel berwarna merah menyala itu menyahut cepat, "Nganu paling, Yu, malu datang ke sini. Dia kan sudah pindah rumah dan bukan orang Karanglor lagi. Takut ditanyain tentang pesugihan dia, huh!" cibirnya memamerkan lipstiknya yang tebal. Mendengar hal tersebut, Bu Halimah memejamkan mata sesaat sembari beristighfar.Perempuan paruh baya dengan hijab lebar itu menggeleng samar dan menarik napas panjang. Dia tidak ingin terpancing yang justru akan membuka aib Bu Sayuti sendi
Mobil jenis hatchback warna merah itu, parkir di seberang jalan deretan pertokoan, semenjak beberapa menit yang lalu. Tidak ada niat bagi si pengemudi mobil untuk turun. Tetapi kedua pasang matanya, memperhatikan gerak-gerik pasangan sejoli yang tengah berinteraksi di depan salah satu toko. Gadis berseragam putih abu-abu itu turun dari motor matic milik seorang pemuda. Mereka terlihat berbicara untuk beberapa saat, sebelum si Gadis memutuskan memasuki toko yang paling besar di antara toko-toko lainnya."Serasi sekali mereka. Tapi maaf ya, pestaku nggak akan lengkap tanpa kalian," ucap gadis itu.Dia terus memperhatikan Banu dan Nur sambil tersenyum penuh arti. Jari-jari lentiknya yang bercat merah menari di atas setir mobil. "Mas Banu, ngapain masih di sini, balik sana. Bukankah Mas Banu kerja?" tanya Nur sambil menyipitkan mata ketika mendapati Banu belum juga mau beranjak.Nur menentang kantong belanjaan di kedua sisi tangannya. Banu bergegas turun dari motor dan mengambil alih pek
"Maaf, Pak, Buk."Pak Haji Imran dan Bu Halimah kehabisan kata-kata. Keduanya menatap Farrel dengan tatapan kecewa, marah, dan sedih. Kejujuran dari sang anak jelas menamparnya. Bagaimana tidak? Pak Haji Imran dan Bu Halimah orang yang sangat dihormati sebagai pasangan yang paham agama. Pengakuan Farrel yang terlibat kejahatan dengan cara memberikan ide pada Sigit, menyewa preman untuk memperkosa Karina, terasa seperti bom meledak di dekat telinga keduanya.Telapak tangan Pak Haji Imran terkepal kuat di atas meja. Farrel, si pemuda nyentrik dengan ciri khas rambut biru, dengan kedua anting kecil terpasang di telinganya itu, menunduk dalam.Di depan musuhnya dia garang. Di tengah gengnya dia disegani. Namun, sekarang di hadapan orang tuanya tak lebih dari anak ayam yang bertemu musang pemangsa. Nyalinya langsung ciut. Hanya ekor matanya melirik gerak-gerik sang ayah.Farrel berucap sangat lirih, "Maaf, Pak." Hanya kata itu yang berani dia ucapkan.Bu Halimah memijit kening. "Astaghfiru
"Banuuuu! Farreeeelll!!" teriak Danang dengan ketakutan.Keringat dingin membasahi wajah Danang. Pemuda itu duduk sambil mengatur napasnya yang tersengal-sengal.Gelas di tangan Bu Ningsih mendadak jatuh ke lantai semen di ruang dapur yang luas itu. Wanita sepuh itu tertegun, meyakinkan pendengarannya. Dia mencubit lengannya sendiri. Terasa sakit. Bergegas, dia kembali memasuki kamar sang anak, mengabaikan beling-beling yang berserakan di lantai.Sesampai di ambang pintu yang hanya tertutup gorden, Bu Ningsih dibuat terpaku beberapa detik. Mulutnya menganga dan tanpa bicara apa pun, Bu Ningsih menghambur ke pelukan anaknya."Danang, anakku. Alhamdulilah, ya Rabb. Kamu bangun, Le, kamu bangun!" pekiknya sambil menumpahkan air mata.Danang masih diam terpaku. Dirinya seolah baru keluar dari tempat yang gelap, sunyi, dan tidak ada kehidupan.Tangannya yang agak kurus bergerak membalas pelukan sang ibu. Sekali lagi, Bu Ningsih tertegun. Dia mengikuti arah gerakan tangan Danang di bahunya.
"Banuuuu!!""Astaghfirullah, Ndul!"Suara hantaman dua sepeda motor itu terdengar begitu keras. Disusul dua sosok tubuh yang terpental. Farrel, Vio, dan Dino terperangah. Ketiganya kompak melompat dari motornya dan berlari mendekat. Teriakan histeris keluar dari mulut ketiga pemuda itu."Banu! Bangun Nyet, bangun! Astaghfirullah!" pekik Farrel sembari mendekap tubuh Banu.Vio mendekat ke arah korban yang lain. Dia menempelkan dua jarinya di leher dan bergantian ke nadi pemuda yang meringkuk di aspal itu.Selanjutnya, Vio menggeleng pelan sambil berbisik lirih, "Innalillahi wa innailaihi roji'uun." Vio melepaskan tangannya dari tubuh pemuda tanggung tersebut."Arrrgh! Ya Allah!" teriak Vio.Mobil polisi berhenti tepat di samping tubuh Banu yang berada di pelukan Farrel. Pemuda itu melepaskan helm yang melindungi kepala Banu dengan hati-hati.Farrel mendekatkan bibirnya ke telinga Banu. "Nu, bangunlah. Bukankah kamu akan melindungi Nur, Nu. Kamu bertahan, ya," bisiknya tepat di depan tel
"Dasar pengikut iblis! Bertobatlah Sutoro!" teriak Farrel lagi."Mas, sudah, sudah!" Farrel menoleh sekilas pada Bintang yang masih setia memeganginya. Lalu, tatapan Farrel kembali tertuju pada makhluk hidup bertubuh gempal, bernama Sutoro itu.Wajah Kepala Desa Karanglor tersebut babak belur menjadi bulan-bulanan Farrel. Laki-laki tua itu tidak peduli akan wajahnya yang penuh memar. Yang dia pedulikan hanya bagaimana caranya, mengembalikan nama baik yang sudah hancur di tangan pemuda slengekan macam Farrel Eka Alamsyah.Kepercayaan masyarakat pada Sutoro mulai luntur. Mereka menyadari, kebaikan yang selama ini ditunjukkan kepala desa itu, tidak lebih hanyalah kamuflase. Semua orang terbuka matanya saat itu juga."Huuu! Dasar munafik. Astaghfirullah, nggak nyangka!""Untung cepat ketahuan, ya?""Iya, pantas saja, dia sugeh ora umum!"Di setiap tempat, Pak Sutoro menjadi bahan ghibahan. Warga Desa Karanglor protes. Hari ini juga, laki-laki kaya raya itu diminta mundur dari jabatannya s
Di antara kesadarannya yang semakin menurun, Nuraini merasakan tubuhnya diangkat, lalu dimasukkan ke mobil. Samar terdengar suara laki-laki dan perempuan yang tidak asing. Akan tetapi, dia tidak sanggup menggerakkan anggota tubuhnya. Gadis itu hanya pasrah tidak tahu bagaimana nasibnya berakhir.Di tempat lain...Bintang menjadi orang pertama yang membaca pesan di grup dari Nur. Bintang bergegas menuju ke tempat gadis itu terakhir kali menghubunginya. Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia memanggil Nur berkali-kali, tetapi tidak mendapati keberadaan gadis itu. Bintang memperhatikan motor dan barang-barang Nur yang tergeletak di samping motor. "Pak Bintang, di mana Nur?" tanya Sigit yang turun tergesa dari motornya. Bintang menoleh ke arah sumber suara, dia menatap sebentar pada Sigit. Bintang menarik napas panjang, lalu menggeleng lemah.Sigit ikut memperhatikan barang-barang milik Nur. "Nuraini tadi meminta tolong ke saya," jelasnya sambil menunjukkan chat dari gadi