POV FERDILA
.
Hingga sabtu ini aku belum bisa tahu siapa Naren sebenarnya dan mengapa Ardina sering berubah dalam waktu singkat. Sifat lugu dan mudah mengalah terkadang hilang begitu saja.
Ini membuat kepala sedikit sakit karena memikirkannya. Sekarang pun dia cuek saja ketika aku ingin memeluknya. Padahal kerap kali kami melakukan itu ketika waktu luang.
"Fer, aku ke luar sebentar."
"Ke mana, Vid?"
"Ke rumah ibu." Perempuan kedua itu menjawab singkat. Aku hanya mengangguk membiarkannya pergi diantar Naren.
Sudah beberapa hari ini rasaku berangsur hilang untuk perempuan berambut pirang tadi. Padahal sebelumnya seakan tidak ada perempuan lain yang bisa dilihat oleh mata sekalipun itu Ardina.
Aku selalu bingung dengan kenyataan yang mungkin bisa dibilang terkesan konyol. Ardina masih sibuk di dalam kamar dengan dalih membersihkan diri. Dia selalu mengunci pintu seakan aku ini bukan suaminya.
Pintu kamar terbuka lebar
Ardina beranjak membuatku harus mencekal tangannya dengan gerak cepat. Dia menoleh dengan tatapan sinis seakan ingin menghindar. Begitu lama kami di posisi ini hingga dia kembali menjatuhkan bobot di kursi."Kenapa, Ardina?""Ada sesuatu yang tidak bisa aku katakan padamu dan tidak ingin aku katakan. Jadi, tolong jangan tanya apa pun kali ini." Dia menjawab dengan suara pelan, tetapi penuh penekanan."Kamu Ardina, 'kan?""Tentu saja aku Ardina. Kenapa, Fer, apa sekarang sudah tidak bisa mengenali wajah istri sendiri?""Sesuatu apa yang kamu maksud, Din? Apa aku tidak penting bagimu? Suami istri itu harus saling terbuka agar hubungan itu bertahan lama. Kalau kamu sedang menyimpan kebohongan, mungkin sekarang masih bisa ditutupi, tetapi nanti akan terungkap."Istriku berdiri sambil menggenggam erat tanganku. Kami melangkah masuk, tentu karena aku diseret. Di dalam kamar kami saling beradu pandang. Mungkin ini cara agar tetangga tidak tahu masa
POV ARDINA"Setiap perbuatan akan ada balasannya cepat atau lambat. Aku menantikan masa itu ketika semua yang pernah melukai harus menitikkan air mata penyesalan."–Seseorang Yang Merasakan Luka.~~"Sesuatu apa yang ingin kamu tahu, Din?" tanya Ferdila. Aku tersenyum manis. "Jawab aku!" desaknya kemudian.Aku tidak langsung menjawab, melainkan mengatur napas agar tidak tersulut emosi. Sementara Ferdila, dia menatapku tajam penuh tanda tanya. Kasihan juga melihatnya seperti itu."Apa benar kamu mencintaiku atau ini hanya pura-pura saja agar ada rasa kasihan untuk Vidia?" tanyaku sambil memicingkan mata mencari kebenaran."A-aku ... aku mencintaimu, Din. Apa maksudmu dengan pura-pura dan kasihan itu?"Ferdila memang sedikit gugup, tetapi entah kenapa aku merasa yakin pada cintanya. "Baiklah kalau begitu." Aku mengakhiri obrolan begitu melihat mobil masuk pekarangan. Itu Naren yang baru saja sampai setelah mengantar Vidia.D
POV AUTHOR"Kenapa sore baru pulang?" tanya Ferdila setelah keduanya sampai."Capek banget, Fer. Aku mau mandi dulu." Ardina berlalu begitu saja, sementara itu suaminya melangkah ke luar menemui Naren yang sedang duduk di teras.Ferdila berdehem, kemudian ikut duduk di kursi kosong. Tanpa basa-basi dia langsung menanyai Naren habis ke mana saja. Lelaki yang sudah menyiapkan jawaban sejak tadi itu menjawab cepat penuh keyakinan. "Kami dari rumah Mita, Pak. Abis itu ke cafe–""Ngapain ke cafe?" kejar Ferdila."Sebenarnya ...." Naren pura-pura takut menjawab. "Tadi di jalan ketemu sama perempuan yang dipanggil Shella sama ibu tadi, Pak. Kami ke cafe dan mereka mengobrol berdua, aku gak tahu mereka bahas apa.""Shella?" Ferdila memicingkan mata, tetapi Naren gegas mengangguk.Ponsel Ferdila berdering, ada telepon dari seorang teman yang ingin menemuinya sekarang karena sudah harus balik ke Inggris malam nanti. Dia pun gegas melangka
Suara bell berbunyi membuat Shella terperanjat. Dia melangkah cepat ke luar karena merasa itu satu hal penting karena jam sudah menunjuk angka sembilan malam.Saat daun pintu terbuka lebar, dia mendapati Falen dalam keadaan wajah babak belur seperti habis berkelahi. Shella menautkan kedua alis lantas bertanya, "Abis dari mana?""Vidia, Shel!" pekik lelaki itu. "Vidia diculik preman!" teriaknya lagi sambil terus meringis memegang pelipis yang sedikit mengeluarkan darah."Kenapa gak lu kejar, Falen?!""Ban mobil gue pecah kena tembak. Sekarang kita harus menolong Vidia."Perempuan yang hanya mengenakan baju you can see dengan celana panjang itu mengikat rambutnya sambil melangkah masuk rumah. Dia langsung menyambar kunci mobil yang menggantung di tiang.Lima menit berlalu mereka sudah dalam perjalanan sambil berusaha menelepon Vidia. Nahasnya tidak ada jawaban hingga mereka berusaha menerka dibawa ke mana perempuan berambut pirang itu.
Malam begitu dingin memaksa mereka harus saling menghangatkan di balik selimut. Tepatnya Ardina dan Ferdila. Sepasang suami istri yang harus merasakan kepelikan dalam berumah tangga karena hadirnya perempuan kedua.Jantung Ardina berdegup cepat serupa kuda yang sedang berpacu. Wajahnya tepat berada di dada bidang sang suami. Ada kerinduan yang terpancar jelas di manik matanya. Diam-diam perempuan itu mengukir senyum paling menawan."Aku merindukanmu, Ferdila," bisiknya lembut berhasil membuat suaminya mengeratkan pelukan.Keduanya larut dalam cinta dengan rindu yang semakin megah sekalipun sering bertemu.Dalam hati Ferdila ada sejuta penyesalan yang sulit diungkapkan lewat kata-kata. Lidahnya hanya bisa kelu ketika ingin meminta maaf karena terlalu sakit. Dia tahu bagaimana besarnya luka dalam hati Ardina.Napas lelaki itu berembus kasar, dia gundah gulana. Diam-diam pula mengkhawatirkan Vidia yang dikata Shella diculik orang. Namun, jika me
"Dari mana aja, Ren, pagi-pagi baru pulang?" tanya Ferdila ketika lelaki itu masuk ke rumah."Tadi malam ada urusan bareng sahabat, Pak. O iya, izin rehat sebentar ya, sakit kepala soalnya. Kalau harus diantar bangunin aja."Ferdila mengangguk, kemudian Naren melangkah cepat masuk kamar. Semalaman dia tidak tidur karena harus menyusun rencana lainnya. Ardina tersenyum tipis sendirian."Sayang, hari ini mau jalan-jalan gak?" tawar Ferdila.Perempuan yang ditanya mengangguk karena dengan cara inilah Naren bisa melanjutkan misi tanpa ketahuan. "Berdua aja, ya.""Assalamualaikum!" Suara di balik pintu mengejutkan mereka."Wa'alaikumussalam, masuklah!" jawab Ferdila.Senyuman sepasang suami istri itu mereka ketika melihat yang datang adalah orangtua mereka, tepatnya mertua Ardina. Mereka menyambut dengan hati bahagia karena sudah sangat lama tidak bersua.Ibu dan bapak Ferdila melangkah masuk. Mereka datang diantar supir yang langsu
Pukul lima sore Naren sudah siap untuk melakukan misi selanjutnya. Dia melirik jam sekilas, kemudian membuka pintu kamar. Di luar semua orang berkumpul kecuali Ardina."Pak, izin ke luar sebentar. Kalau ada apa-apa hubungi saja," pamit Naren yang mendapat anggukan dari Ferdila.Lelaki itu mempercepat langkahnya karena harus menjemput sosok paling penting. Mobil hitam keluar dari halaman rumah dan melaju dengan kecepatan sedang.Tepat satu kilometer dari rumah, seorang perempuan berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada. Rambutnya bergelombang dengan mata diolesi eye linear. Cantik, pikir Naren."Lama banget," gerutu perempuan itu ketika Naren berhenti tepat di depannya.Keduanya sama-sama duduk di depan karena sudah akrab sejak dulu. Siapa lagi perempuan itu kalau bukan sahabatnya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi karena harus segera sampai ke gudang sebelum magrib tiba."Apa Ferdila tidak curiga?""Tidak
Pukul sepuluh pagi Naren menerima telepon dari bawahannya. Sungguh di luar nalar karena Vidia berhasil kabur ketika Rey lengah. Dia juga tidak sampai merasakan sakit yang sama dengan Ardina dulu.Beruntung orangtua Ferdila sudah pulang sejak tadi. Jadi, di rumah itu hanya ada dia dan Ardina. Naren memanggil nama perempuan itu sedikit sungkan, kemudian ketika mereka saling beradu pandang, Naren berkata, "Vidia berhasil kabur. Mereka yakin tidak ada yang membantunya. Entah di mana perempuan itu sekarang.""Jadi, kita harus gimana, Ren?""Ke gudang. Jangan lupa gantian sebentar."Ardina mengangguk, dia masuk ke kamar untuk mengambil tas. Tidak lama kemudian sudah kembali dan menyusul Naren yang sejak tadi menunggu di mobil.Tidak ada pembahasan dalam perjalanan itu. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi bahkan Naren hampir saja menabrak motor yang belok tanpa menyalakan sen. Untung saja takdir masih berpihak pada mereka.Matahari sudah sem