Dalam rumah yang berukuran lumayan besar itu duduk seorang Vidia yang baru saja selesai membersihkan diri. Dia meminjam pakaian sandi yang kebetulan sepantaran dengannya.
Lelaki itu bergeming sesaat, kemudian mengungkap apa yang ada dalam hatinya. "Vid, kamu mau gak jadi pacar aku?"
Vidia menoleh menatap Sandi tidak percaya. Dalam hati dia merasa bahagia, bukan karena tampannya atau memiliki rasa yang sama, tetapi lelaki itu lumayan tajir. Mata Vidia kini berkedip beberapa kali membayangkan indahnya menjadi pacar lelaki itu.
"Aku sudah menikah, San," jawabnya kemudian.
"Tapi suami kamu selingkuh, 'kan? Aku tahu perasaan kamu, Vid karena ... melihat gebetan atau kekasih kita bahagia dengan orang lain itu sakit banget."
"Lalu, kenapa ngajakin aku pacaran?" Vidia benar-benar sudah tertarik untuk selingkuh tidak peduli bagaimana nantinya ketika ketahuan Ferdila terutama Falen.
Lagi pula dua lelaki itu tidak mencariku, pikir Vidia lagi.
"H
"Gimana keadaanmu, Din. Kita ke rumah sakit, yuk!" Ferdila terpaksa pulang ke rumah karena ada sms dari istrinya yang mengatakan sedang sakit."Enggak, Fer. Di rumah aja gak apa-apa. Ini juga udah agak mendingan." Ardina tersenyum, wajahnya pucat pasi. "Kalau nanti aku meninggal–"Ferdila meletakkan jari telunjuknya di bibir Ardina. "Hust! Kamu gak boleh ngomong kayak gitu, Sayang. Kita akan hidup bahagia bersama.""Bagaimana dengan istri keduamu?""Aku sudah janji akan menceraikannya ketika sudah ketemu. Ponselnya gak aktif."Ardina yang lemah menutup mata perlahan, dia ingin menikmati masa-masa seperti ini. Ketika tangannya digenggam erat sang suami, air mata jatuh begitu deras membentuk anak sungai."Sayang?" panggil Ferdila. Dia khawatir terjadi sesuatu pada istri tercinta."Aku masih hidup, Fer," sahut Ardina masih menutup mata. Keadaannya begitu memprihatinkan dengan peluh yang menghiasi pelipisnya.***Vidia
Dua hari berlalu tidak ada peningkatan selain Sandi yang selalu menyuruh Vidia melakukan semua pekerjaan rumah. Shella yang sudah tahu keberadaan Vidia karena tidak sengaja melihatnya selalu mengintai rumah itu.Naren pun tahu kalau misinya sedang dalam bahaya. Dia diberitahu oleh bawahannya yang mengikuti mobil Shella dan Falen. Akhirnya tadi malam tepat pukul satu dini hari Vidia dikembalikan ke gudang karena Ardina merasa Sandi tidak becus bekerja.Rabu pagi ini Ardina yang masih sedikit lemah sudah berdiri di hadapan Vidia yang kakinya dirantai pun tangan diikat ke belakang. Mata Ardina memancarkan luka mengingat kedua sahabat yang harus meregang nyawa."Apa maumu, Ardina?" tanya Vidia dengan suara lirih."Tidak ada.""Lalu kenapa menyandraku di sini?" teriak Vidia mulai emosi. Wajahnya merah."Aku tidak pernah menyandramu, Vidia. Lagi pula jika keadaannya seperti ini, maka Yuni juga Genta akan merasa bahagia." Ardina menarik napas panja
"Jangan bertanya apa pun dulu, kepalaku nyut-nyut," sahut Ardina sambil menutup mata perlahan.Mobil melaju dengan kecepatan sedang dikemudi oleh Naren. Tidak ada percakapan dalam mobil itu karena Ardina benar-benar tidak ingin diusik dulu.Mereka bukannya melaju tanpa tujuan karena sejatinya Naren tahu harus ke mana. Mereka ke cafe yang jauh dari kantor Ferdila berada khawatir ketemu dan langsung ketahuan saat itu juga.Sebenarnya Ardina menutup mata karena rasa dilema. Dia memikirkan Vidia yang pasti merasa tersiksa. Jauh di lubuk hatinya ada rasa ingin memeluk sekalipun perempuan itu yang menjadi perusak rumah tangganya.Ardina menarik napas panjang karena betul-betul dilema. Baru kali ini dia merasa frustrasi sampai makan pun sebenarnya sulit. "Ah, pusing!""Jangan kasihan sama mereka bertiga, Din. Kamu tahu jika kita lepas atau biarkan mereka begitu saja? Resikonya kamu yang disiksa atau mungkin dibunuhlah seperti Yuni dan Genta," tegur
"Kamu memang pantas untuk dihukum karena mulutmu sangat kotor. Bebas sekali mengumpat pada Ardina tanpa harus meminta maaf. Jika aku menginjak-injak harga dirimu, maka pasti kamu ingin membunuhku," ucap Arnila."Iya, aku sangat ingin membunuhmu.""Lalu, kalau adikku kau injak-injak harga dirinya, kira-kira aku akan melakukan apa?""Tentu saja membunuhnya," sela Ardina.Vidia hanya diam, air matanya berlinang. Dia masih terkejut melihat ada dua perempuan dengan wajah yang sama, tetapi sikap sedikit berbeda."Tidak usah memasang tampang seperti itu di hadapanku atau akan tamat riwayatmu!" tegas Arnila kemudian menarik lengan adiknya.Dia tidak ingin berlama-lama menatap Vidia yang hanya cantik rupa saja. Tanpa Arnila sadari kalau adiknya sudah menitikkan air mata hingga sesegukan. Perempuan itu lantas menoleh. "Kenapa menangis?""Aku gak nyangka bakal mengalami takdir yang seperti ini. Bahkan juga tidak pernah bermimpi kamu akan m
POV ARDINAFerdila baru pulang kerja setelah jam menunjuk angka sembilan, katanya harus lembut bersama dua teman lainnya. Wajahnya sudah segar karena langsung mandi saat baru tiba tadi."Seharian ini ngapain aja, Yang?" tanya Ferdila sembari menyandarkan bekang di headboard."Anu, gak ngapa-ngapain.""Kalau bosan, gak apa keluar rumah asal tidak melirik yang lain."Aku tersenyum tipis menanggapi kalimat suami barusan. Dia mengatakan itu bukan karena serius, aku telah berhasil mengembalikan sifat lamanya. Dulu memang selalu bercanda dan saling cemberut ketika cemburu.Akan tetapi, untuk sesaat aku merenung tentang kehidupan esok harinya. Arnila berencana mengembalikan Vidia untuk melanjutkan misi. Jika hilang begitu lama khawatir keluarganya akan mencari dan melibatkan pihak berwajib."Kenapa merenung?" tegur Ferdila."Gak apa-apa." Aku yang memang sedang menyisir rambut wajar mendapat teguran karena menatap kosong ke arah
Belum lagi aku membanca pesan itu, Ferdila sudah memanggil dari dalam kamar. Aku harus melangkah masuk daripada harus dicurigai. Lelaki itu duduk di tepi ranjang sambil menatap serius.Saat kami saling berhadapan, dia berucap pelan, "Aku tidak ingin tahu banyak tentang Vidia Maida. Besok dia harus kucerai apa pun kondisinya. Jika menolak, terserah.""Sabar, Fer. Bisa jadi Vidia sedang sakit. Lihat saja pandangannya, begitu kosong dan hampa. Dia bahkan tidak pernah berucap sepatah kata pun." Aku tulus menenangkannya."Aku tidak ingin dia melukaimu lagi, Din. Sikap seperti itu bisa jadi hanya akal-akalan semata." Ferdila berdiri. "Aku ke rumah bos dulu, ada urusan penting," lanjutnya sambil memutar rekaman suara saat menelepon tadi. Aku mengangguk.Sepuluh menit kemudian, suamiku sudah benar-benar tidak ada di rumah. Aku kembali membuka ponsel untuk tahu jawaban Arnila. Jantung kembali berdegup begitu cepat.Arnila : Sebenarnya ada sesuatu yang membu
POV AUTHOR"Itu kenapa, ya, Jeng?" tanya Bu Nafis dengan penampilan sosialita."Pasti azab jadi pelakor. Makanya, Jeng Vidia kalau gak laku jangan ngerebut suami orang," timpal Bu Nur."Ngeri juga kalau harus gila karena ngerebut, tapi syukurlah karena Jeng Ardina jadi gak harus sakit hati," sela Bu Nafis. Lagi.Ardina mendekati Vidia yang sedang duduk memeluk lutut. Air mata perempuan itu luruh tanpa permisi. Dia sedih karena tidak bisa menolong madunya. Sejahat apa pun Vidia, Ardina tidak akan pernah tega jika melihat keanehan itu.Dipeluknya tubuh Vidia yang mulai lemas. Beberapa tetangga terus menggunjing si pelakor. Ardina tidak bisa mencegah terlalu tegas karena memang di lingkungan mereka bahkan mungkin di semua daerah kalau ada perebut suami orang, pasti kena batunya baik berupa cacian atau sumpah serapah dari tetangga."Jeng, jangan dikasihani perempuan model gitu!" geram Bu Nafis."Maaf, Bu. Vidia juga manusia dan aku punya
Ardina melangkah mundur melihat tatapan tajam perempuan di depannya. Naren ingin membantu, tetapi diberi kode untuk diam di tempat."Ada apa, Vid?"Perempuan berambut pirang itu menampar wajahnya sendiri. "Sakit sekali jika terkena tamparan, 'kan?""Maksud kamu apa?""Sudah, jangan diladeni!" tegas Naren. Bukannya marah, Vidia malah tertawa keras.Mereka berdua semakin bingung dengan sikap Vidia. Ada seribu tanya dalam hati yang enggan menepi."Jangan pernah mencoba untuk menghabisi Falen atau nyawamu akan melayang. Memang lelaki itu jelas memanfaatkanku, tetapi hati tidak bisa berbohong dia milik siapa!" tegas Vidia. Aku hanya bisa mengangguk sambil menyaksikan perempuan itu melangkah masuk."Naren, ikuti dia jangan sampai masuk kamarku!" titahku dengan suara tertahan karena shock melihat pemandangan seperti ini.Rasa nyeri bekas tamparan Vidia masih sangat terasa. Pipi berdenyut seakan meminta waktu berhenti sejenak saj