Ardina melangkah mundur melihat tatapan tajam perempuan di depannya. Naren ingin membantu, tetapi diberi kode untuk diam di tempat.
"Ada apa, Vid?"
Perempuan berambut pirang itu menampar wajahnya sendiri. "Sakit sekali jika terkena tamparan, 'kan?"
"Maksud kamu apa?"
"Sudah, jangan diladeni!" tegas Naren. Bukannya marah, Vidia malah tertawa keras.
Mereka berdua semakin bingung dengan sikap Vidia. Ada seribu tanya dalam hati yang enggan menepi.
"Jangan pernah mencoba untuk menghabisi Falen atau nyawamu akan melayang. Memang lelaki itu jelas memanfaatkanku, tetapi hati tidak bisa berbohong dia milik siapa!" tegas Vidia. Aku hanya bisa mengangguk sambil menyaksikan perempuan itu melangkah masuk.
"Naren, ikuti dia jangan sampai masuk kamarku!" titahku dengan suara tertahan karena shock melihat pemandangan seperti ini.
Rasa nyeri bekas tamparan Vidia masih sangat terasa. Pipi berdenyut seakan meminta waktu berhenti sejenak saj
"Aku tidak peduli Vidia itu kekasih atau siapa pun karena yang pasti dia sudah jahat. Kalian juga harusnya sadar diri!" tegas Arnila mulai melangkah ke arah Shella. Tangan kanannya memegang dagu perempuan itu dengan kasar. "Dan kamu Shella, ini baru awal dari segalanya!""Terserah!" teriak Shella, kemudian membatin, Saat aku lepas dari sini pasti akan ada pembalasan. Lihat saja, aku akan merobek bibir sombong itu!Arnila hanya mengukir senyum, sementara keadaan di rumah adiknya semakin kacau. Naren masih terus berdiri memikirkan cara agar Vidia bisa diam. Detik itu pula sang pemilik rumah datang."Ada apa, Ren?""Anu, Pak. Vidia kayaknya lagi stres banget jadi teriak-teriak gitu. Malu kalau didengar tetangga, apa baiknya dilakban mulutnya?""Iya, Fer. Sekalian diikat daripada kita jadi cibiran tetangga," tambah Ardina yang langsung disetujui suaminya.Naren bergegas membuka pintu kamar dan sedikit terkejut karena Vidia sudah baring di tempat
88. Teror"Ferdila tidak suka perempuan kasar apalagi yang mudah mengeluarkan kata-kata kotor. Jadi, jangan semakin menampakkan keburukanmu. Di sini sama sekali tidak ada yang takut," sindir Ardina.Vidia hendak membalas dengan makian, tetapi dihentikan oleh ketukan di pintu. Naren yang sejak tadi diam melangkah cepat ke pintu. Akan tetapi, ternyata tidak ada orang melainkan sebuah surat tepat di bawah pot bunga."Siapa, Ren?" Ferdila menghampiri. Dia meraih surat itu tanpa mendapat jawaban. Dibukanya perlahan, ternyata ada pesan tertulis."Jangan ceraikan Vidia Maida atau nyawa istrimu akan terancam!" ucap Ferdila membaca surat itu. Dadanya serasa sesak, dia yakin ini baru permulaan dan akan ada lebih banyak kejutan lagi.Naren segera menutup pintu utama. Baru saja ingin melangkah masuk, ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras. Namun, saat melihat ke luar tetap tidak ada orang.Lagi, ada sebuah amplop yang tertinggal. Ferdila
89. Boneka Santet"Iya, Fer. Apa jangan-jangan kamu tidak tahu kalau istri tercintamu ini punya saudari kembar?"Ferdila menggeleng. "Tidak.""Sayang sekali, padahal mereka sangat mirip hanya saja beda sikap. Saudari kembar Ardina lah yang menculikku kemarin bahkan dia terlampau kejam menganggap aku, Falen dan Shella adalah bin*tang!" ungkap Vidia. Ardina hanya bisa menelan saliva sambil terus memutar otak mencari alasan.Ferdila menutup pintu kamar Vidia kasar, kemudian menarik tangan sang istri ke kamar. Mereka saling menatap dengan napas seakan saling berkejaran. "Jelaskan!""A-aku ... anu ...." Jantung Ardina semakin berdegup cepat. Dia tidak tahu cara menyampaikan pada suaminya.Memang Arnila dulu tidak ada di rumah ketika saudarinya menikah karena ada di luar kota. Baru-baru ini dia kembali setelah mendengar masalah rumah tangga sang adik. Keluarga yang tertutup menjadikan Ferdila tidak tahu hal itu.Jika menjelaskan sekar
Pukul delapan pagi, Ferdila menuntun istrinya ke mobil untuk menemui ustaz berharap ada jawaban dari teka-teki mereka mengingat semalaman Ardina terus meraung sambil menyebut nama Vidia.Jika dilihat sekilas, perempuan berparas ayu itu seperti orang gila. Tadi malam saja dia berteriak histeris mengaku melihat kepala tanpa tubuh di jendela kamar. Sebenarnya Ferdila sedikit tidak percaya, tetapi wajah Ardina pucat pasi.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, Ferdila terus memohon kepada Allah agar istrinya dilindungi. Bagaimana tidak karena perempuan itu melotot setiap lima menit. Dia meraung kesakitan dengan sesekali tergelak mengaku melihat bayangan hitam yang menertawakan mereka bertiga.Sementara Naren, dia mengembus napas kasar berusaha menebak apa yang terjadi dengan Ardina. Ada kemungkinan seseorang mengirim santet atau azab karena memperlakukan ketiga orang jahat itu seperti bin*tang."Berapa lama lagi, Ren?" Ferdila akhirnya membuka suara."S
POV ArdinaSetelah sampai di rumah, aku merebahkan diri di tempat tidur. Hati sedikit lega karena tidak lagi merasakan luka di sekujur tubuh sekali pun masih ada sedikit hal mengusik pikiran. Seribu tanya tentang Naren yang tiba-tiba pergi tadi.Pintu kamar terketuk keras, mungkin saja itu Ferdila karena sejak tadi ke luar dengan alasan ditelepon rekan kerja. "Masuk saja, Fer!" pintaku dengan suara sedikit keras.Ketika daun pintu terbuka lebar, betapa terkejutnya aku melihat Vidia muncul dengan seringai tajam. Oh, perempuan ini kenapa harus mengganggu ketenangan? Dia melangkah mendekat sambil membawa dompet kecil di tangan kanannya."Besok, aku pastikan rencanamu akan gagal total, Ardina!" tegas perempuan berambut pirang itu dengan mata melotot. "Kamu akan kembali merasakan luka dan kali ini pasti lebih perih," lanjut Vidia lagi masih dengan seringai yang sama."Apa yang kamu bicarakan, Vid?""Kamu akan mengerti jika sudah terjadi. Ini keju
Setelah mencuci piring, aku langsung masuk kamar karena jam pun sudah menunjuk angka sembilan malam. Seharian ini benar-benar lelah terlebih magrib tadi beradu mulut dengan Vidia.Perempuan berambut pirang itu memang sengaja menumpahkan dua gelas kopi di depan kamar, kemudian menuduhku membuang kulit pisang sembarangan hingga dia terpeleset. Ferdila langsung percaya pada Vidia tanpa memberiku sedikit saja kesempatan untuk mengelak.Dia lihai dan pandai bersilat lidah. Perempuan model seperti itulah yang paling aku takutkan. Seandainya saja kemarin-kemarin dia benar sudah pergi daru sini, pasti tidak akan ada kejadian yang mengharuskan aku makan hati.Ferdila duduk di tempat tidur dengan menyandarkan kepala di headboard. Kepalanya menunduk dalam dengan kedua tangan saling terkepal."Kenapa, Fer?" tanyaku setelah duduk di sampingnya. Lelaki itu menoleh dengan mata sendu. Helaan napasnya terdemgar berat seakan memikul beban."Apa ... apa kamu m-
Biar bagaimana pun aku juga yang membereskan serpihan kaca tadi. Tidak ada yang mengerti bahkan aku takut jika harus melibatkan orang tua dalam hal ini. Mereka sudah tua dan tidak seharusnya memikirkan banyak hal.Pintu terketuk begitu keras dan berulang kali. Tidak lama, Naren muncul di baliknya setelah aku suruh masuk saja. Tidak ada Arnila yang menyusul. Aku semakin gamang."Gimana, Din? Vidia sudah pergi?""Sudah, Ren. Dia pergi bareng Ferdila tadi.""Loh, diantar Ferdila?""Mereka bakal menikah sabtu nanti." Aku menjawab lirih meskipun tidak sesuai apa yang ditanyakan lelaki itu.Kedua matanya membulat tanda terkejut. Tentu saja karena beberapa hari kemarin Ferdila nekat mengusir Vidia, sangat marah ketika melihat wajahnya dan kini minta menikah kembali.Akan tetapi, keterkejutannya semakin menjadi ketika tahu aku setuju dengan pernikahan mereka."Kenapa, Din?""Dengan syarat Vidia memeluk Islam. Aku aka
Waktu terus berputar, Naren sudah pergi. Aku lagi-lagi sendiri di rumah. Dia ditelepon asisten rumah tangga untuk Arnila tadi. Sengaja lelaki itu tidak mau membawaku karena alasan tertentu.Jika ditebak, mungkin karena kami sama-sama merasakan luka. Jika terus larut, maka sulit menyelesaikan masalah. Aku termangu dalam kamar sambil memikirkan bagaimana cara menghibur hati sendiri agar bisa damai dengan luka.Dengan langkah tertatih aku menuju kamar. Rapuh semakin terasa karena sendirian. Tidak ada sesiapa yang bisa diajak meluahkan rasa.Pada keadaan sekarang aku butuh seseorang yang telah tiada dan sangat mustahil untuk ketemu. Yuni dan Genta. Merekalah yang selama ini menyokong untuk terus berdiri."Ardina!" Aku yang sedang menghadap ke jendela terperanjat, kemudian menoleh dan mendapati Vidia di ambang pintu. Dia melangkah masuk tanpa kuminta."Apa?""Mulai sekarang kita harus akur karena akan kembali menjadi madu. Aku terima Ferdil