"Memangnya Mama kenapa?" "Mama makin ke sini kayaknya makin nggak senang sama aku." "Kenapa kamu bisa berpikir begitu?" Nazwa menatap Reza. "Iya, Mas. Sejak tahu aku belum bisa kasih kamu keturunan, sikap Mama Rissa dan Papa Galih berubah ke aku. Aku ingat dulu waktu awal-awal kita nikah, Mama dan Papa begitu menyayangiku, menganggapku sebagai menantu kesayangan, selalu mengistimewakan aku, tapi sejak itu ...." Kalimat Nazwa terputus. Wanita itu malah terdiam dan menggeleng. "Dan sampai sekarang sikap mereka berubah ke aku." Reza memegang kedua pundak istrinya erat dan menatap wajah istrinya lekat-lekat "Nggak begitu ... Kamu jangan overthingking dulu, dong. Mungkin sikap Mama begitu tadi karena Mama lagi badmood aja, atau Mama terlampau panik karena nyariin aku. Jadinya imbasnya marah-marah ke kamu, aku paham kok Mama Papa itu gimana orangnya. Mama dan Papa nggak berubah kok. Mereka tetap menganggap kamu menantu kesayangan. Kamu kan istri kesayangan aku ...." "Tapi aku ngerasanya
Reza menatap mamanya dengan tenang, berusaha menahan perasaannya yang kini seperti deburan ombak. "Maksud apa ya, Ma?" Reza pura-pura tak mengerti. Nazwa pun berbalik badan, menatap Mama. Mama Rissa berjalan mendekat. "Nazwa mau memberi kesempatan kedua buat kamu itu apa maksudnya, Reza? Kamu habis melakukan kesalahan apa?" Tatapan Mama Rissa tajam menatap anak dan menantunya, menuntut penjelasan. Nazwa pun tahu, ternyata Mama Rissa tak mendengar semua percakapan mereka. "Eng--" Reza malah gelagapan. "Kesempatan itu, Ma ...." "Kesempatan untuk memperbaiki diri, Ma," sahut Nazwa. Mama Rissa malah mengernyit tak percaya. Nazwa pun meyakinkan. "Iya, itu kan akhir-akhir ini Mas Reza susah kalau dibilangin. Ngajinya masih bolong-bolong mesti tunggu di suruh-suruh gitu, Ma. Kan aku juga ngeluh, nanya ke Mas Reza kapan sih dia bisa benar-benar berubah gitu. Mas Reza bilang beri dia kesempatan waktu buat berubah, gitu, Ma." "Bener?" Mama Rissa menatap keduanya ragu. "Iya, Ma." "Be
Nazwa menoleh kala suaminya kembali memeluk pinggangnya. Bahunya terasa hangat karena ada bahu pria itu yang bertopang. Reza membalas pandangannya dan menaikkan kedua alis. "Kenapa, Sayang?" "Kita udah banyak bohong, Mas." "Nggak pa-pa. Bohong demi kebaikan. Alhamdulillah Mama percaya. Dan setelah ini kita akan memperbaiki semuanya. Makasih tadi kamu udah bantu aku jawab." Nazwa diam saja. "Nazwa," bisik Reza yang membuat kembali menatapnya. Mereka bersitatap dengan jarak yang amat dekat. "Aku kangen sama kita yang dulu. Kita yang selalu romantis dan mesra kayak gini." "Iya, Mas." "Iya apa?" "Iya, aku juga kangen ...." Nazwa lalu teringat sesuatu. "Kok aku jadi berasa kayak ABG labil yang baru pacaran, ya?" Reza terkekeh mendengarnya. "Bagus kalau gitu. Itu artinya, kamu udah beneran maafin aku, nggak ragu-ragu lagi. Nggak ada yang mengganjal lagi kan di hati kamu?" Nazwa hanya menggeleng, lantas tersenyum. "Eh, kamu ngomong begitu barusan, emangnya kamu pernah pacaran? Tahu
"Mas! Mas!" Pagi itu Nazwa tergesa mendatangi suaminya yang sarapan lebih dulu di meja makan. Di sana juga ada Pak Rahman. Reza yang tengah mengunyah roti tawar menoleh heran melihat wajah istrinya terlihat begitu senang. "Ada apa? Keliatannya berseri-seri gitu?" tanya Reza. Nazwa tersenyum lebar hingga giginya nampak. "Iya, Mas. Aku senang karena barusan dapat undangan." "Undangan apa?" Pak Rahman ikut bertanya. Nazwa menatap bapaknya. "Iya, Pak. Aku di undang untuk menjadi pembicara di acara seminar remaja muslim gitu. Dan kayaknya bukan cuma aku yang di undang, ada beberapa orang penting juga yang di undang jadi pembicara di sana." "Oh, jadi kamu diundang jadi pembicara? Kapan?" tanya Reza. "Hari ini, Mas." "Hari ini?" "Iya, bentaran lagi sekitar jam delapan pagi ini. Boleh kan Mas, Pak?" Nazwa menatap suami dan bapaknya bergantian. Reza mengernyit. "Kok mendadak? Kapan undangannya?" "Sebenarnya sih undangannya udah ada dari kemarin, Mas. Aku belum sempat kasih tahu kamu.
"Banyak yang salah kaprah tentang siapa yang pantas berdakwah. Berpikir dakwah itu hanya boleh dilakukan oleh kalangan tertentu saja. Seperti ustadz atau ustadzah saja, kyai saja, nabi saja. Atau orang-orang alim yang ilmu agamanya tinggi. Padahal tentu tidak, ya. Dakwah itu artinya mengajak pada kebaikan dan menjauhi larangan, amar ma'ruf nahi munkar, berlaku bagi siapa saja yang merasa umat islam, jadi hukumnya wajib, termasuk bagi kita-kita, kalian sebagai mahasiswa islam." Nazwa lagi-lagi terkagum menatap sosok pria yang amat dikenalinya itu berbicara di depan khalayak ramai. Sejak pertama melihat sosok itu dipanggil naik ke atas panggung, Nazwa tak lepas menatapnya. Bukan, bukan menatap matanya, tapi menatap gerak-gerik dan bahasa tubuhnya yang terlihat menarik dan percaya diri. Dia tak menyangka, teman lamanya itu telah menjadi penulis sukses yang menginspirasi para pemuda. Mengingatkannya akan hobinya menulis cerita akhir-akhir ini. Lihatlah gaya bicaranya di depan umum. Dia
Acara itu sempat terjeda oleh Coffee Break sebelum akhirnya dilanjutkan dengan penyampaian materi kedua oleh Nazwa. Mendekati waktu dia dipanggil ke depan, jantung Nazwa makin terasa berdebar. Dia menarik napas dan menghembuskannya, menenangkan diri. " .... materi tersebut akan disampaikan oleh Ustadzah Nazwa Salsabila! Kepada Ibu Nazwa Salsabila, waktu dan tempat kami persilahkan!" teriak si pembawa acara dari depan panggung. Nazwa pun berdiri, melangkah menuju panggung dengan hati-hati seiring dengan jantungnya yang berdebar, melewati para peserta yang duduk di kursi besi. Sebagian besar para peserta menoleh ke arahnya, berseru-seru riang. Walau sudah berpengalaman, tetap saja dia nerveous. Sesampainya di depan panggung, dia mengucap salam yang disambut oleh peserta tak kalah membahana dari pembicara pertama. Melihat antusias peserta, Nazwa tahu mereka begitu mengharapkan kehadirannya. Mereka semangat menimba ilmu darinya. "Masya Allah. Semangat sekali, ya, adek-adek di sini.
Acara itu berjalan lancar dan memakan waktu kurang lebih tiga jam. Nazwa cukup merasa lelah. Begitu acara itu selesai, dia langsung buru-buru pulang. Berjalan tergesa menuju keluar gedung kampus. Sesampainya di teras, dia mendengar orang memanggilnya. "Nazwa!" Sontak langkahnya terhenti. Perempuan mengenakan gamis mewah itu menoleh ke sumber suara. Spontan membelalak melihat siapa yang memanggilnya. "Hanif." Pria itu mendekatinya. "Assalamu'alaikum, Nazwa," ucap Hanif sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Nazwa membalas salam itu dan melakukan hal serupa. Hanif tersenyum menatap Nazwa. "Nggak nyangka ketemu kamu di sini, aku kaget tadi liat kamu jadi pembicara di depan. Udah lama banget ya kita nggak ketemu." Nazwa tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, aku juga nggak nyangka, kamu udah jadi penulis sukses ya sekarang? Aku liat lho tadi para peserta itu antusias banget, curiga sebagian peserta seminar itu fans kamu, ya?" Hanif terkekeh lepas. Dia tak sangka N
Dapat fee menjadi pembicara, Nazwa mampir dulu ke Mall untuk membelikan suaminya sesuatu. Dia mampir ke toko baju khusus pria. Ya, dia ingin menghadiahkan suaminya kemeja dari hasil kerja kerasnya. Nazwa menilik kemeja yang bergantungan. "Mas Reza biasanya suka kemeja yang kayak gini. Ukurannya pun kayaknya pas di tubuh Mas Reza." Nazwa memegang ujung kemeja cowok ukuran large. Kemeja polos dengan warna maroon. "Tapi untuk warnanya dia suka nggak, ya?" Nazwa menimbang-nimbang, memilih baju yang paling cocok untuk suaminya. "Beli apa, Mbak?" Seorang SPG yang menjaga toko tersebut, menghampirinya. Nazwa menoleh. "Emm ... aku mau beli kemeja tapi bingung yang mana." Nazwa terkekeh kecil. "Kalau yang ini harganya berapa?" Nazwa akhirnya memilih kemeja polos dengan bahan lebih tebal dan berwarna navy. "Itu empat ratus ribu, Mbak." "Boleh, deh. Dua, ya. Navy sama hitam, deh." "Oke, Mbak." Sambil menunggu pesanannya dikemas. Nazwa berkeliling melihat barang-barang lain, bagian sepatu