Hmm bakalan ada ML baru nih. Kira2 siapa ya Hanif? Apa Nazwa kenal juga? Ikuti terus kelanjutannya, ya.
"Banyak yang salah kaprah tentang siapa yang pantas berdakwah. Berpikir dakwah itu hanya boleh dilakukan oleh kalangan tertentu saja. Seperti ustadz atau ustadzah saja, kyai saja, nabi saja. Atau orang-orang alim yang ilmu agamanya tinggi. Padahal tentu tidak, ya. Dakwah itu artinya mengajak pada kebaikan dan menjauhi larangan, amar ma'ruf nahi munkar, berlaku bagi siapa saja yang merasa umat islam, jadi hukumnya wajib, termasuk bagi kita-kita, kalian sebagai mahasiswa islam." Nazwa lagi-lagi terkagum menatap sosok pria yang amat dikenalinya itu berbicara di depan khalayak ramai. Sejak pertama melihat sosok itu dipanggil naik ke atas panggung, Nazwa tak lepas menatapnya. Bukan, bukan menatap matanya, tapi menatap gerak-gerik dan bahasa tubuhnya yang terlihat menarik dan percaya diri. Dia tak menyangka, teman lamanya itu telah menjadi penulis sukses yang menginspirasi para pemuda. Mengingatkannya akan hobinya menulis cerita akhir-akhir ini. Lihatlah gaya bicaranya di depan umum. Dia
Acara itu sempat terjeda oleh Coffee Break sebelum akhirnya dilanjutkan dengan penyampaian materi kedua oleh Nazwa. Mendekati waktu dia dipanggil ke depan, jantung Nazwa makin terasa berdebar. Dia menarik napas dan menghembuskannya, menenangkan diri. " .... materi tersebut akan disampaikan oleh Ustadzah Nazwa Salsabila! Kepada Ibu Nazwa Salsabila, waktu dan tempat kami persilahkan!" teriak si pembawa acara dari depan panggung. Nazwa pun berdiri, melangkah menuju panggung dengan hati-hati seiring dengan jantungnya yang berdebar, melewati para peserta yang duduk di kursi besi. Sebagian besar para peserta menoleh ke arahnya, berseru-seru riang. Walau sudah berpengalaman, tetap saja dia nerveous. Sesampainya di depan panggung, dia mengucap salam yang disambut oleh peserta tak kalah membahana dari pembicara pertama. Melihat antusias peserta, Nazwa tahu mereka begitu mengharapkan kehadirannya. Mereka semangat menimba ilmu darinya. "Masya Allah. Semangat sekali, ya, adek-adek di sini.
Acara itu berjalan lancar dan memakan waktu kurang lebih tiga jam. Nazwa cukup merasa lelah. Begitu acara itu selesai, dia langsung buru-buru pulang. Berjalan tergesa menuju keluar gedung kampus. Sesampainya di teras, dia mendengar orang memanggilnya. "Nazwa!" Sontak langkahnya terhenti. Perempuan mengenakan gamis mewah itu menoleh ke sumber suara. Spontan membelalak melihat siapa yang memanggilnya. "Hanif." Pria itu mendekatinya. "Assalamu'alaikum, Nazwa," ucap Hanif sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Nazwa membalas salam itu dan melakukan hal serupa. Hanif tersenyum menatap Nazwa. "Nggak nyangka ketemu kamu di sini, aku kaget tadi liat kamu jadi pembicara di depan. Udah lama banget ya kita nggak ketemu." Nazwa tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, aku juga nggak nyangka, kamu udah jadi penulis sukses ya sekarang? Aku liat lho tadi para peserta itu antusias banget, curiga sebagian peserta seminar itu fans kamu, ya?" Hanif terkekeh lepas. Dia tak sangka N
Dapat fee menjadi pembicara, Nazwa mampir dulu ke Mall untuk membelikan suaminya sesuatu. Dia mampir ke toko baju khusus pria. Ya, dia ingin menghadiahkan suaminya kemeja dari hasil kerja kerasnya. Nazwa menilik kemeja yang bergantungan. "Mas Reza biasanya suka kemeja yang kayak gini. Ukurannya pun kayaknya pas di tubuh Mas Reza." Nazwa memegang ujung kemeja cowok ukuran large. Kemeja polos dengan warna maroon. "Tapi untuk warnanya dia suka nggak, ya?" Nazwa menimbang-nimbang, memilih baju yang paling cocok untuk suaminya. "Beli apa, Mbak?" Seorang SPG yang menjaga toko tersebut, menghampirinya. Nazwa menoleh. "Emm ... aku mau beli kemeja tapi bingung yang mana." Nazwa terkekeh kecil. "Kalau yang ini harganya berapa?" Nazwa akhirnya memilih kemeja polos dengan bahan lebih tebal dan berwarna navy. "Itu empat ratus ribu, Mbak." "Boleh, deh. Dua, ya. Navy sama hitam, deh." "Oke, Mbak." Sambil menunggu pesanannya dikemas. Nazwa berkeliling melihat barang-barang lain, bagian sepatu
Nazwa membelalak. "Da-dari mana kamu dapat foto itu, Mas?" "Nggak penting aku dapat foto ini dari mana." Reza menggeleng. "Jadi dari tadi kamu lama karena asyik berduaan sama laki-laki ini? Siapa dia?!" Reza menatap Nazwa penuh intimidasi. Matanya berkilat-kilat marah. Nazwa membalas dengan pandangan tak percaya. "Tega sekali kamu menuduhku seperti itu, Mas? Harusnya kamu tahu gimana sifat istrimu." "Aku tanya siapa dia?!" Suara Reza makin meninggi dan terdengar menakutkan. Nazwa ingin menangis. Sesak rasa dadanya melihat sikap suaminya barusan. Meski begitu, dia tetap berusaha menjelaskan. Karena jika tidak, yang ada suaminya makin marah. "Dia cuman teman lamaku, Mas. Kami bertemu di seminar tadi. Sama sepertiku, dia juga diundang jadi pembicara. Aku sama dia tadi cuma ngobrol sebentar." "Ngobrol apa harus pegangan tangan kayak gini?!" "Dia nolongin aku yang mau jatuh, Mas. Itu doang, nggak lebih. Aku juga nggak punya niatan buruk seperti yang kamu tuduhkan. Dia pun tahu aku uda
Entah sudah berapa lama Nazwa menangis dan jatuh tertidur ketika dia mendengar sayup-sayup suara membangunkannya. "Nazwa, Sayang ... bangun dulu, yuk ...." Nazwa membuka mata perlahan. Mata wanita itu menyipit kemudian mengerjap-ngerjap untuk memperjelas pandangan. Wajah suaminya tengah tersenyum terpampang di hadapannya. Nazwa pun menegakkan posisi duduknya, bersandar di pinggir tempat tidur. "Mas ...." Dia spontan menjauhkan tubuhnya dan menatap suaminya takut-takut. Dia melarikan tangan ketika Reza memegangnya. Reza pun mengerti. "Nggak usah takut-takut gitu, Sayang, aku nggak marah lagi, kok." Reza tersenyum meyakinkan. Nazwa diam memerhatikan suaminya. Dia merasa aneh dengan sikap suaminya. Dia masih ingat jelas bagaimana tadi kasarnya Reza ketika marah. Lalu tiba-tiba kenapa berubah baik dalam sekajap? "Kasihan kamu jadi ketiduran di sini. Bangun dulu yuk. Kita bicarakan semuanya baik-baik," ucap Reza lagi. "Mas apa pertengkaran yang tadi cuman mimpi?" Nazwa memutuskan b
Mati-matian Reza menahan amarahnya ketika berusaha membujuk Nazwa. Kini pria itu berdiam diri merenung di sofa ruang tamu, mengingat apa yang membuatnya mengubah keputusan. Saat dia keluar kamar tadi, dia berpapasan dengan Pak Rahman. Dan orang tua itu mencurigai gerak-geriknya yang menahan amarah. Bertanya apakah ada masalah? Untungnya waktu itu Nazwa tak lagi berteriak-teriak menggedor pintu. Melihat orang tua itu membuat Reza teringat dengan niat awalnya. Bahwa dia tidak akan membiarkan bapak mertuanya sakit lagi karena menyaksikan mereka bertengkar. Dia harus berusaha sebisa mungkin menghindari masalah. Dia tak mau bapak mertuanya curiga. Dia pun meyakinkan Pak Rahman bahwa dia tak punya masalah apa pun, semuanya baik-baik saja. Dan dia mengingat percakapannya dengan Nabila via telepon. "Gimana? Kamu udah liat fotonya?" tanya Nabila di seberang. "Sudah, tapi dari mana kamu dapat foto itu?" "Aku juga ada di acara yang sama dengan Nazwa. Tadi aku jemput adikku yang juga merupa
Sore itu sehari sebelum keberangkatan Nabila ke New York, Nabila mengajak Reza ketemuan di bawah jembatan kota. Sembari melihat pemandangan sunset, mereka berdua bercakap-cakap. "Sebelum aku pergi, aku mau kita menciptakan moment indah. Biar nanti pas aku kangen kamu di sana, aku bisa liat sunset kayak gini, jadi ke ingat kamu." Nabila melempar pandang pada matahari yang tampak bundar. Sejauh mata memandang, terlihat bola merah itu seperti hendak memasuki lautan. Reza tersenyum. Ikut menatap ke objek yang sama. "Kalau kamu kangen aku tinggal chat dan vc aja." "Hmm itu pasti." Nabila tak melepas pandang dari sunset. "Nanti di sana kamu harus selalu kasih kabar ke aku, ya." Nabila lalu menatap Reza. "Pastinya. Janji, ya, kita akan terus sama-sama walau jarak memisahkan. Makasih udah dukung aku dan ngerti aku." "Janji." Reza mengangguk. "Jangan berpaling ke lain hati." "Aku bisa aja berpaling ke lain hati." Ucapan Reza demikian membuat wajah Nabila kecut, sebelum akhirnya pria itu